Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berkunjung ke rumah nayla
Malam harinya, di sebuah kos, Ardi sedang dilanda kebingungan. Ia bimbang antara menerima tawaran pekerjaan dari Nayla atau menolaknya, padahal saat ini ia benar-benar membutuhkan pekerjaan.
"Apa sebaiknya aku menerima tawaran pekerjaan dari Mbak Nayla? Tapi nanti kalau aku terima, apa kata Mbak Nayla? Bisa-bisa dia berpikir aku memanfaatkan kesempatan. Tapi kalau nggak menerimanya, aku nggak tahu lagi harus bagaimana buat bayar wisudaku nanti, karena aku memang butuh pekerjaan." gumam Ardi bimbang.
Akhirnya, setelah lama bimbang, Ardi memutuskan untuk menelepon Nayla dan menerima tawaran pekerjaannya.
Setelah panggilan tersambung...
Di dalam kamarnya, Nayla yang sedang mengerjakan tugas kuliah mengernyitkan kening. Ponselnya tiba-tiba berdering.
Saat melihat layar HP-nya, Nayla bergumam, "Siapa yang nelpon? Nomor baru lagi. Apa jangan-jangan..." gumam Nayla yang menduga Ardi.
Ia berharap ini sesuai dugaannya. Dengan sedikit ragu, ia menggeser layar dan menjawab panggilan itu.
"Halo, siapa ya?"
Ardi yang mendengar suara Nayla langsung menyahut.
"Halo Mbak, ini saya, Ardi."
Nayla yang sadar siapa peneleponnya langsung menjawab, "Oh, Mas Ardi. Ada apa, Mas?"
"Jadi begini, Mbak Nay, soal tawaran Mbak kemarin itu..."
Sebelum Ardi selesai bicara, Nayla sudah menyela, "Oh, soal tawaran itu. Iya Mas, ada yang mau saya jelaskan lagi tentang tawaran itu." imbuh Nayla.
"Oh iya, silakan Mbak. Saya akan mendengarkan."
"Jadi begini Mas Ar, kemarin saya sudah ngomong sama Papa saya. Tapi Papa juga nyuruh Mas Ardi memilih, mau kerja di kantor atau mau jadi sopir pribadi saya. Kata Papa, itu keputusan Mas."
Ardi terdiam sesaat mendengar tawaran lain dari Nayla.
"Oh begitu ya Mbak. Kalau boleh, saya minta waktu lagi untuk berpikir. Soalnya saya jadi makin bingung kalau begini."
Nayla langsung menanggapinya dengan cepat, "Nggak bisa, Mas. Papa saya nggak suka memperkerjakan orang yang kebanyakan mikir. Maaf, ya. Dan satu lagi, kalau bisa, cepat kasih jawaban, biar rasa bersalah saya ke Mas nggak terus menghantui saya!"
Ardi menghela napas, lalu menjawab, "Ya udah, Mbak. Kasih saya waktu satu jam untuk mikirin ini semua, ya. Saya juga nggak enak sama Mbak Nayla."
Nayla mendesah, lalu berkata, "Emang nggak enak gimana, sih, Mas? Mas Ardi udah saya anggap teman sendiri kok, jadi jangan merasa nggak enak."
"Jadi begini, Mbak Nay, tadi saya sudah memutuskan untuk menolak tawaran kerja di kantor. Saya rencana menolak karena saya nggak punya pengalaman soal perusahaan. Takutnya nanti saya malah jadi beban buat Mbak. Tapi setelah Mbak Nay nawarin saya jadi sopir juga... Boleh nggak saya pikirin lagi?"
Nayla tersenyum tipis. "Oh, soal itu, Mas tenang aja. Mas Ardi nggak bakal membebani saya kok. Lagian, ini juga keputusan Papa untuk balas budi ke Mas, karena sudah nolong saya kemarin."
Ardi masih ragu. "Tapi Mbak, saya tetep nggak enak. Tapi boleh nggak saya minta satu jam buat mikirin tawaran kedua ini?"
"Ya udah, satu jam, ya. Jangan lebih," sahut Nayla akhirnya.
"Iya, Mbak, satu jam. Setelah itu pasti saya hubungi Mbak lagi."
"Oke, sekarang Mas Ardi pikirin aja dulu. Saya tunggu kabarnya satu jam lagi."
Sebenarnya, Nayla pura-pura bersikap tenang, padahal dia cemas kalau Ardi menolak tawaran itu.
Setelah telepon berakhir, Nayla mondar-mandir di kamarnya sambil bergumam, "Kenapa sih Mas Ardi nolak kerja di kantor? Aduh, pusing emang ngurusin cowok satu ini. Nggak bisa ditebak pikirannya. Mudah-mudahan aja dia nggak nolak jadi sopirku."
Setelah satu jam, akhirnya Ardi menelepon Nayla kembali.
"Halo, Mas," sahut Nayla.
"Iya, halo Mbak Nayla," jawab Ardi.
"Gimana, Mas? Udah ada keputusannya?"
"Udah, Mbak. Tapi kalau boleh tahu, kenapa saya juga ditawarin jadi sopir Mbak Nayla?"
"Oh, soal itu! Itu saran Papa saya, Mas. Katanya biar Mas bisa fokus sambil kuliah juga."
Padahal, sebenarnya Papa Nayla curiga sama Ardi, tapi Nayla tidak menceritakan kecurigaan itu.
"Oh, jadi begitu ya, Mbak."
"Iya, Mas. Itu hanya saran dari Papa."
"Kalau begitu, saya udah ambil keputusan, Mbak," kata Ardi.
Di balik telepon, Nayla semakin serius. "Iya, Mas? Gimana keputusan Mas soal tawaran Papa?"
"Jadi begini, Mbak. Setelah saya pikir-pikir, saya sanggup jadi sopir Mbak. Tapi sebelum itu, saya mau minta maaf dulu."
Nayla mengernyitkan kening. "Minta maaf buat apa lagi, Mas?"
"Begini, Mbak. Saya minta maaf kalau nanti saya malah bikin Mbak risih saat jadi sopir."
Nayla terkekeh. "Iya nggak apa-apa, Mas. Mas Ardi nggak bikin saya risih kok, tenang aja."
"Ya udah deh, Mbak. Kalau gitu, saya siap jadi sopir Mbak. Kalau boleh tahu, kapan saya mulai kerja?"
Nayla lega mendengar jawaban Ardi. "Nanti Mas datang aja ke rumah besok. Temui Papa, nanti beliau yang urus."
"Baik, Mbak. Kebetulan besok saya nggak ada kelas."
"Oke, saya tunggu kedatangan Mas."
"Tapi, Mbak..."
Nayla mendengus. "Tapi apa lagi sih, Mas?"
"Saya nggak tahu alamat rumah Mbak."
Nayla tertawa kecil. "Maaf, Mas. Saya lupa ngasih tahu. Saya kira tadi apaan. Habisnya Mas banyak 'tapi'-nya. Nanti saya kirim lewat WA, ya."
"Baik, Mbak. Saya tunggu."
Setelah telepon berakhir, Nayla terkikik sendiri. "Gue kira apaan, ternyata dia cuma nggak tahu alamat rumah. Emang cowok satu ini susah ditebak."
Lalu Nayla segera mengirimkan alamatnya ke Ardi melalui chat WA.
Ardi membaca pesannya dan langsung membalas, "Iya, Mbak."
Sementara itu, di rumah mewah Nayla, ia buru-buru mencari Papanya, Reza. Setelah menemukannya di ruang kerja, ia langsung memanggilnya.
"Pa?"
Reza menoleh. "Iya, ada apa, Nay?"
Nayla langsung menceritakan soal Ardi.
Setelah mendengar keputusan Ardi, Reza semakin curiga. Dalam hati ia membatin, "Anak ini pasti ada maunya..."
"Besok Papa tunggu dia jam 9. Kalau telat, Papa nggak mau kasih dia kerja," tegas Reza.
Nayla langsung mengirim chat ke Ardi, "Mas Ar, Papa nunggu besok jam 9, jangan telat."
Ardi membaca pesan itu dan segera membalas, "Baik Mbak."