Sudah tahu tak akan pernah bisa bersatu, tapi masih menjalin kisah yang salah. Itulah yang dilakukan oleh Rafandra Ardana Wiguna dengan Lyora Angelica.
Di tengah rasa yang belum menemukan jalan keluar karena sebuah perbedaan yang tak bisa disatukan, yakni iman. Sebuah kejutan Rafandra Ardana Wiguna dapatkan. Dia menyaksikan perempuan yang amat dia kenal berdiri di altar pernikahan. Padahal, baru tadi pagi mereka berpelukan.
Di tengah kepedihan yang menyelimuti, air mata tak terasa meniti. Tetiba sapu tangan karakter lucu disodori. Senyum dari seorang perempuan yang tak Rafandra kenali menyapanya dengan penuh arti.
"Air mata adalah deskripsi kesakitan luar biasa yang tak bisa diucapkan dengan kata."
Siapakah perempuan itu? Apakah dia yang nantinya akan bisa menghapus air mata Rafandra? Atau Lyora akan kembali kepada Rafandra dengan iman serta amin yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Titik Terlelah
Menunggu di depan IGD sambil menghela napas yang begitu kasar. Rafandra meyakini akan ada ending penuh emosi nantinya. Tiba-tiba botol air mineral ada di hadapannya.
"Minum dulu, Pak."
Rafandra membawa Lily tak sendiri. Dia ditemani oleh Talia yang memang belum pulang kantor dan akan menjadi saksi.
"Keluarga Nyonya Lyora." Pintu ruang IGD sudah terbuka.
"Saya ayahnya."
Atensi perawat juga Rafandra serta Talia beralih. Seorang pria dengan wajah cemas berjalan begitu cepat mengikuti perawat masuk ke dalam IGD.
Talia menatap ke arah Rafandra yang menghembuskan napas begitu berat. Tangannya mulai mengusap pundak Rafandra. Pandangan Rafandra pun beralih. Senyum teduh nan menenangkan terukir di wajah perempuan tersebut.
Tak lama kemudian pintu ruang IGD terbuka. Fokus Rafandra beralih dan tanpa aba sebuah bogeman mentah mendarat di wajah tampannya.
"Pak Rafandra!" teriak Talia ketika tubuh Rafandra jatuh ke lantai.
Pria paruh baya itu hendak menghajar Rafandra lagi, tapi Talia menghalangi hingga punggung Talia-lah yang terkena bogeman yang cukup menyakitkan.
"Kembalikan calon cucuku!" pekikan suara pria itu menggema.
Pihak security pun akhirnya berdatangan untuk melerai keributan. Talia segera membawa pergi sang atasan ke tempat yang lebih aman. Bergegas mencari tisu di tas untuk mengelap darah di ujung bibir lelaki tersebut. Ringisan kecil pun terdengar.
"Tahan ya, Pak."
Pandangan Rafandra malah terfokus pada Talia. Siluet kecemasan terlihat cukup jelas.
"Apa perlu kita ke IGD untuk--"
"Tidak usah. Saya baik-baik saja."
Kalimat itu membuat hati Talia ngilu. Selalu bersembunyi di balik kata baik-baik saja. Padahal, hatinya porak poranda dan hancur tak bersisa.
Talia mengajak Rafandra untuk pulang. Dia takut lelaki itu kembali diserang. Padahal, Rafandra tak salah apa-apa dan sudah mau berbaik hati membawa Lily ke rumah sakit.
"Bagaimana dengan punggung kamu?" tanya Rafandra sebelum mereka keluar dari rumah sakit.
"Aman kok, Pak."
.
Rafandra memilih untuk tidur di apartment Gyan. Tidak mungkin pulang dalam kondisi babak belur.
"Selalu salah di mata Om Thomas," gumamnya sembari tersenyum perih.
Rafandra mulai merebahkan tubuh. Sengaja lampu tidak dia nyalakan. Perlahan matanya mulai dipejamkan. Bayang wajah Talia yang hadir.
"Pak, tidak selamanya semua beban di hati harus dipendam sendiri. Tak apa sedikit berbagi."
Talia seakan mengerti beban yang tengah dia pikul. Tak bercerita kepada siapapun karena Rafandra tidak ingin ada orang yang dibenci atas apa yang sudah terjadi. Walaupun, pada kejadian yang menimpa Lily dialah yang dibenci.
.
Datang ke kantor dengan luka lebam di ujung bibir. Baru saja masuk ke dalam lobi suara teriakan seseorang sangat dia kenali memecah gendang telinga.
"Pecat manager tak berguna itu!" Siapa lagi jika bukan Thomas, ayahnya Lily.
Rafandra mulai mendekat. Dia bukan di pecundang yang akan kabur. Kini, dia sudah berada di depan Thomas. Mata semua orang melebar ketika kerah kemeja Rafandra ditarik dengan sangat keras.
"Andai kamu tidak selalu menyuruh anak saya lembur. Calon cucu saya pasti masih sehat di dalam perut Lily."
Rafandra sudah menduga ini akan terjadi. Orang yang tak menyukainya pasti akan selalu mencari celah untuk menjatuhkannya. Tak ada tenaga untuk menyanggah. Tak akan didengar juga. Menjelaskan pada orang yang emosi akan semakin menjadi.
Pihak security segera menarik paksa Thomas. Sumpah serapah tak terima pun keluar dari bibir pria arogan tersebut. Rafandra hanya bisa menghela napas begitu kasar. Dan semua mata kini tertuju padanya.
Talia yang mendengar ada keributan bergegas menuju lantai bawah. Baru saja pintu lift terbuka, wajah Rafandra sudah dia lihat. Jika, dia bertanya pasti jawabannya akan tetap sama, baik-baik saja.
Tepat jam sebelas siang, sebuah kabar mencengangkan menjadi trending topik berita online. Di mana Rafandra dituduh sebagai atasan yang kejam hingga mengakibatkan karyawannya keguguran. Dalam waktu satu jam berita itu menjadi top one.
"Ternyata belum puas," gumamnya seraya tersenyum lelah.
Ponselnya bergetar, dan nama sang paman tertera di sana. Rafandra menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum menjawabnya.
"Ke ruangan Uncle sekarang."
Jika, sudah seperti ini Rafandra tak bisa berbuat apa-apa. Pamannya yang satu ini sama tegas dan garangnya seperti sang kakek.
Tatapan tajam sang paman membuat Rafandra menunduk dalam. Tak ada keberanian untuk menegakkan kepala. Apalagi suara pulpen yang diketukkan di atas meja sudah terdengar.
"I'm so sorry, Uncle." Lemah dan nyaris tak terdengar.
Mas Agha mulai berdiri dari tempatnya. Dia menegakkan kepala Rafandra dan menelisik setiap inchi wajah sang keponakan. Tak ada satu buah katapun yang keluar dari bibirnya. Dan Sebuah amplop Mas Agha berikan.
"Apa Uncle meme--"
"Itu surat ijin cuti." Rafandra tercengang.
"Kamu sudah berada di titik terlelah. Jadi, istirahatlah!"
Mata Rafandra sudah mulai merah. Mas Agha mulai mendekat dan memeluk tubuh sang keponakan tersayang. Tanpa perlu menjelaskan, Mas Agha sudah dapat merasakan.
Rafandra memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia sudah berada di titik terlelah dan ingin menyelesaikan semuanya. Kedatangannya disambut hangat oleh Nael.
"Terimakasih sudah mengantarkan istri saya semalam."
Tak disangka Nael akan mengatakan itu. Tidak menyalahkannya seperti Thomas. Sedangkan Lily sudah menatapnya penuh arti. Namun, tak diindahkan. .
"Mau apa kamu ke sini? Dasar pembunuh!"
Nael terkejut mendengar ucapan sang mertua yang baru saja datang. "Ayah, tolong jaga bicara Ayah," pinta Nael dengan begitu sopan.
"Dijaga? Kamu kenapa membela dia?" tunjuknya pada Rafandra. "Kamu sudah kehilangan calon anak, Nael."
"Saya membawa Lily sudah dalam keadaan pendarahan. Dan atas apa yang Om Thomas tuduhkan itu tidaklah benar," terangnya tanpa menggebu. Nael nampak terkejut ketika mengetahui Rafandra mengenal sang mertua.
"Saya juga sudah mengikuti keinginan suami Lily untuk tidak memberikan pekerjaan yang berat. Bahkan sebagian pekerjaan Lily saya berikan kepada karyawan lain. Masihkah itu terbilang kejam dan jahat?" Mata Rafandra begitu berani menatap ke arah Thomas.
"Jangan ngelak kamu. Buktinya Lily sudah tiga hari pulang malam terus." Masih dengan kepala batu.
"Coba tanya kepada anak Om sendiri," balasnya sembari melirik ke arah Lily yang menegang.
"Jangan terus menyalahkan saya. Padahal, saya sudah berusaha sekali menjaga nama baik anak Om. Rela mengorbankan diri bahkan hati saya yang terluka." Wajahnya sangat serius dan suasana mendadak hening.
"Jika, Om ingin menghancurkan mental saya, ada ibu saya yang akan menyembuhkannya karena Ibu saya seorang psikolog," paparnya dengan raut semakin serius.
"Dan jika Om berharap saya dipecat dari Wiguna Grup, saya tidak akan jadi pengangguran. Posisi direktur utama RAP corporate sudah menanti karena ayah saya CEO-nya," tutupnya.
Thomas pun terdiam. Begitu juga dengan Lily yang baru mengetahui fakta yang sesungguhnya. Selama mengenal Rafandra, lelaki itu tidak pernah membahas pekerjaan kedua orang tuanya. Lily hanya tahu jika kedua orang tua Rafandra orang sibuk.
"Kedatangan saya ke sini pun ingin menyelesaikan semuanya." Tatapannya kini tertuju pada Lily.
"Lily, hubungan kita sudah aku anggap berakhir setelah kamu berdiri di altar pernikahan." Nael terkejut mendengar ucapan Rafandra. Ketika dia melihat ke arah sang istri, matanya sudah merah.
“Kamu yang melukai, harusnya kamu yang lebih dulu meletakkan hati. Bukan malah merasa yang paling tersakiti."
Nael semakin tidak mengerti. Beralih ditatapnya Rafandra. Meminta penjelasan, tapi sebuah kalimat yang dia dapatkan.
"Jangan biarkan Lily mengejar saya lagi karena Lily sudah menjadi milik kamu sepenuhnya."
...*** BERSAMBUNG ***...
Coba atuh tinggalin komennya ..
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
gak papa mah kalo msih belom sadar ma perasaan masing2,pelan2 aja deh bang rafa &talia...
sehat selalu ya fie🤗