"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ellisa terdiam
"Ellisa, maaf aku harus pergi. Ada urusan kantor mendadak," ujar Sam buru-buru setelah menutup teleponnya.
"Tapi, Kak, aku kan harus--" Ellisa mencoba menahan, namun suaranya terputus oleh langkah cepat Sam yang sudah menuju pintu.
"Tolong jagain Elmira, ya," pintanya tegas sebelum melangkah keluar dan tancap gas meninggalkan rumah.
Ellisa terdiam di ambang pintu, menatap mobil Sam yang semakin menjauh. Dia menoleh ke arah Elmira yang sedang ia gendong. "Om kamu apa emang gitu ya orangnya, Elmira? Selalu buru-buru dan ninggalin kita begitu aja," gumamnya.
Elmira meraih-raih ke arahnya dengan tangan mungilnya. "Ih, gemes banget kamu ini," kata Ellisa sambil menangkan tangan mungil itu.
Dia membawa Elmira ke ruang tengah dan mendudukkannya di sofa. Ellisa lalu berjongkok di depan bayi itu, menatap mata kecil Elmira yang cerah dan penasaran.
"Trus, kita harus ngapain donk sekarang? Rumah ini gede banget, tapi sepi dan hening," ujarnya sambil menggoyang-goyangkan jari di depan Elmira, yang langsung tertawa kecil.
Ellisa tersenyum, tapi hatinya terasa hampa. "Kalau aku bilang, aku takut sendirian, kamu bakal ngerti nggak ya, Elmira?" tanyanya pelan.
Elmira hanya membalas dengan suara gumaman bayi yang tak jelas, tapi entah kenapa itu cukup untuk membuat Ellisa merasa sedikit lebih baik.
Dia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi rumah bersama Elmira, mencoba menghilangkan perasaan sepinya.
Rumah besar itu terasa begitu luas dan kosong. Setiap sudutnya bersih dan tertata, tapi juga terasa dingin, tanpa suara kehidupan kecuali mereka berdua.
"Kayaknya, kita harus bikin suasana jadi lebih seru deh," kata Ellisa dengan nada riang.
Dia mengambil mainan Elmira dari boks bayi dan mulai menggoyangkannya di depan Elmira, yang langsung tertawa ceria.
"Tuh, kamu udah bikin rumah ini nggak sepi lagi, kan. Kamu tahu nggak, Elmira? Senyummu aja udah cukup bikin aku lupa kalau aku lagi sendirian," ujarnya sambil mencium pipi Elmira.
Namun, di balik tawa dan senyum mereka, Ellisa tahu ada perasaan yang tak bisa diabaikan.
Sebuah pertanyaan besar yang muncul di benaknya: apakah dia benar-benar bisa menyesuaikan diri di dunia yang begitu berbeda ini, jauh dari kehidupan panti yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga?
Saat Ellisa bermain dengan Elmira, tanpa sadar tatapannya menerawang jauh. Senyum kecil yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar, tergantikan oleh pandangan kosong yang penuh dengan kenangan.
Bayang-bayang rumah dan sosok keluarga tiba-tiba hadir samar dalam pikirannya, seperti film yang lama tak diputar ulang.
"Aku jadi mikirin rumah... Udah lama banget aku nggak mikirin Ayah--" gumamnya pelan.
Seperti sebuah tetesan air yang membuka pintu memori, satu kenangan berjatuhan, dan tanpa sadar, setitik air mata meluncur di pipinya.
"Eh?" Ellisa tersentak, "Kok aku nangis?" pikirnya.
Hatinya terasa campur aduk—rindu, kehilangan, dan kekosongan yang selama ini ia tutupi, tiba-tiba menyeruak keluar.
Suara gumaman Elmira tiba-tiba memecah lamunannya. "Ma ma ma... nya nya nya," celoteh bayi itu, diselingi suara mainan yang digigitnya.
Elmira tampak asyik mengunyah mainan itu, dengan pipi mungilnya yang memerah karena gigitan.
"Astaga, Elmira! Basah semua mulut kamu, ih!" Ellisa terkekeh kecil, cepat-cepat mengambil tisu untuk mengelap mulut Elmira yang belepotan air liur.
Wajahnya yang tadi penuh kesedihan perlahan berubah. "Bilang aaa," ujar Ellisa lembut, sambil mencoba membuka mulut Elmira dengan hati-hati.
Dia sedikit terkejut ketika melihat sesuatu yang berbeda. "Ih, lucu banget! Gigi kecil kamu tumbuh satu!" serunya penuh antusias.
Elmira hanya tertawa kecil, memperlihatkan gigi kecil barunya yang baru muncul di gusi bawah. "Hebat, ya! Kamu udah mulai besar. Awas, jangan gigit Kak Ellisa, ya!" goda Ellisa sambil mencium pipi Elmira.
Elmira yang polos dan ceria seolah menjadi pengingat bagi Ellisa bahwa hidup terus berjalan, meski berat sekalipun.
"Kamu tahu nggak, Elmira? Aku senang bisa ada di sini sama kamu dan Kak Sam. Kalian adalah rumah baruku sekarang," bisiknya pelan.
Elmira tak menjawab, tentu saja, tapi senyumnya yang tulus seolah mengiyakan ucapan Ellisa.
"Kita makan dulu yuk," ajak Ellisa sambil menggendong Elmira dengan penuh kelembutan.
Langkahnya mengarah ke dapur yang masih terasa asing baginya, tapi ia berusaha mencari sesuatu untuk mengisi perut.
"Emm... ada makanan apa aja ya di dapur ini?" gumam Ellisa sembari membuka lemari dan memeriksa isi kulkas.
"Nen nen nen..." suara mungil itu keluar dari bibir Elmira, diiringi dengan tangannya yang menyentuh dada Ellisa.
"Eh?" Ellisa tersentak sejenak. Tatapannya jatuh ke arah dada sendiri.
Dalam diam, ia menyadari bahwa tubuhnya terasa lebih ringan. Dadanya yang semula penuh dan tegang kini terasa jauh lebih nyaman.
Ingatan tentang Sam kembali melintas di pikirannya, membuatnya sedikit tersenyum malu. "Kak Sam..." gumam Ellisa pelan, senyum hangat menghiasi wajahnya.
Ia merasakan rasa syukur yang tak terucap atas perhatian dan bantuannya. Tangan lembutnya menyentuh dadanya sendiri, seolah memastikan kenyamanan yang kini ia rasakan bukanlah mimpi.
Ellisa kemudian duduk di kursi dekat meja makan, mempersiapkan diri untuk menyusui Elmira.
Bayi mungil itu dengan antusias menyambut sentuhan 'ibunya', mulut kecilnya mencari kehangatan yang ia butuhkan.
Sentuhan Elmira di dadanya membawa ketenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ellisa merasakan getaran lembut dalam hatinya, seolah setiap isapan Elmira bukan hanya mengalirkan kehidupan, tetapi juga menenangkan luka-luka emosionalnya.
"Kamu tahu nggak, Elmira? Rasanya kamu ini seperti malaikat kecil buat aku," bisiknya sambil mengusap kepala bayi itu dengan lembut. "Aku jadi sadar, mungkin ini adalah salah satu cara Tuhan buat bikin aku tetap bertahan."
Elmira menggenggam jari Ellisa dengan tangan mungilnya, membuat Ellisa semakin terenyuh. Elmira bukan hanya seorang bayi, tapi juga pengingat bahwa cinta dan harapan selalu ada, bahkan di tengah kesulitan.
Sementara itu, Sam tiba di kantornya dengan langkah cepat dan sorot mata yang menandakan amarah tertahan.
Aura tegangnya terasa hingga ke lorong-lorong kantor, membuat para pegawai yang semula beres-beres mau pulang mulai saling berbisik.
“Bos datang! Bos datang. Ada apa ini?!” bisik salah satu karyawan, wajahnya penuh tanda tanya.
Seorang staf yang lebih senior mencoba memberanikan diri mendekati Sam, namun langkah bosnya tidak melambat sedikit pun. "Ada yang bisa saya bantu, Bos?"
“Ah, minggir!” sergah Sam singkat, suaranya tajam.
"Gawat, bos lagi mode tempur!" celetuk salah satu karyawan, membuat mereka yang mendengar langsung gugup.
“Apa kita salah input data atau ada laporan yang keliru?” seorang pegawai pria berbisik cemas.
"Duh, padahal ini udah jam kita pulang."
“Cek semua laporan keuangan dan email klien. Teliti semua!” seru staf senior, menginstruksikan anak buahnya.
"Haaaa..." keluar semua karyawan.
"Esa! Dimana lo, Esa!!"
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/