Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 10
Renjana mendengar suara ketukan pelan pada pintu, diikuti oleh percakapan singkat antara wanita resepsionis dan seseorang di dalam. Beberapa detik kemudian, wanita resepsionis itu menoleh dan memberi isyarat kepada Renjana untuk masuk. "Silakan," katanya dengan suara lembut.
Renjana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah masuk. Begitu pintu terbuka, dia merasa suasana di dalam ruangan itu terasa sangat berbeda—ruangan yang tenang dan serba teratur, dengan pencahayaan lembut yang membuatnya merasa sedikit canggung, namun sekaligus penuh rasa hormat. Di meja besar yang terletak di tengah ruangan, duduk seorang wanita dengan penampilan yang sangat mencolok.
Renjana terdiam sejenak saat melihat sosok perempuan di depannya. Wanita itu tampak sangat berbeda, dengan aura yang misterius dan penuh ketegasan. Penampilannya yang anggun namun tegas, mengenakan gaun panjang berwarna hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menambah kesan kedalaman pada dirinya. Rambutnya yang disanggul rapi dengan sempurna tampak kontras dengan suasana ruangan yang suram dan tenang. Kerah tinggi pada gaun itu membuat wajahnya tampak lebih tegas, menambah kesan kekuatan yang terpancar darinya.
Wajah wanita itu tampak tanpa ekspresi, namun ada ketenangan yang memancarkan kewibawaan. Matanya yang tajam memandang Renjana dengan penuh perhatian, seolah sedang mengukur segala aspek darinya. Renjana merasakan sedikit kegelisahan di dalam dirinya saat tatapan itu tertuju padanya, namun dia mencoba untuk tetap tenang dan melangkah maju.
Di meja di depannya, sebuah papan nama bertuliskan "Helena Kamila - Ketua" menambah kesan formal pada ruangan tersebut. Renjana mengatur napasnya, dan dengan sopan dia maju untuk menjabat tangan wanita itu, sambil memberikan senyuman tipis.
"Selamat datang," suara Helena yang dalam dan tenang mengisi ruangan. "Saya sudah menunggu Anda."
"Selamat pagi, saya Renjana." Renjana dengan sopan memperkenalkan dirinya, sambil duduk perlahan di kursi yang disediakan. Pandangannya seketika tertuju pada lukisan besar yang tergantung di dinding di belakang meja kerja Helena. Lukisan itu menggambarkan sosok wanita yang terlihat persis seperti Helena, dengan mata yang tajam menatap ke arah Renjana, seolah bisa menembus kedalam dirinya. Aura yang ditimbulkan oleh lukisan tersebut semakin memperkuat kesan misterius dan kekuatan yang terpancar dari Helena.
Setelah duduk, Renjana merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan lukisan itu yang terasa seolah terus mengikutinya. Dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Helena yang duduk di seberang meja, dengan ekspresi wajah yang tetap datar, memperhatikan Renjana dengan seksama. Tangannya terlipat rapi di atas meja, tubuhnya tegak dengan postur yang memancarkan kewibawaan. Suasana dalam ruangan itu terasa berat, dengan cahaya yang lembut dari lampu gantung kuning yang memberikan kesan hangat namun tetap misterius.
Helena akhirnya membuka suara, "Saya percaya Anda tahu apa yang diharapkan dari pekerjaan ini. Namun, sebelum kita lanjutkan, saya ingin tahu lebih banyak tentang Anda, Renjana." Suaranya tenang dan penuh perhatian, namun ada ketegasan yang tak terelakkan di dalamnya.
Renjana merasa sedikit penasaran saat melihat benda yang tidak asing itu. Pita merah dengan lis putih yang terbungkus di dalam kotak bening di sudut meja itu seketika mengingatkannya pada sesuatu—yang meski hanya sebuah benda kecil, membawa kembali ingatannya pada pita yang sama dilihatnya pada pergelangan tangan Susan, anak Pak Benos.
Namun, sebelum Renjana bisa lebih lama menatapnya, Helena dengan cepat menyadari arah pandangan Renjana. Tanpa ekspresi apapun, wanita itu mengulurkan tangan dan menutup kotak tersebut dengan gesit, lalu menyembunyikannya ke dalam laci meja. Keheningan pun tercipta sejenak di antara mereka, di mana hanya suara detak jam yang terdengar jelas di ruangan itu.
Renjana, yang sempat terkejut, berusaha menjaga ketenangannya, meskipun ada rasa tidak nyaman yang mulai menjalar di tubuhnya. Pikirannya melayang sejenak, mencoba menghubungkan apa yang baru saja dilihatnya dengan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya ia alami. Namun, dia menahan diri untuk tidak bertanya atau menyatakan apa yang ia rasakan.
Renjana menjawab dengan hati-hati, menjelaskan bahwa dia memiliki pengalaman dua tahun sebagai pengasuh bayi di Kota Besar sebelum memutuskan untuk berhenti karena merawat ibunya yang sakit. Mengenai alasan pindah ke kota kecil ini, Renjana menyebutkan bahwa dia ingin melupakan kenangan pahit dan mencari suasana yang lebih tenang untuk memulai hidup baru.
Helena mendengarkan dengan seksama, matanya tajam dan penuh perhatian, seolah-olah sedang menilai setiap kata yang diucapkan Renjana. Setelah mendengar jawaban tersebut, Helena mengangguk pelan dan kemudian bertanya lebih lanjut mengenai sikap Renjana terhadap anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih, mengingat tugasnya nanti di panti asuhan yang merawat anak-anak yang terkadang memiliki kebutuhan khusus.
Renjana menjelaskan bahwa dia selalu berusaha bersabar dan penuh kasih sayang, meski tantangan sebagai pengasuh tak jarang membuatnya merasa lelah, namun melihat senyum anak-anak adalah hadiah terbesar baginya.
Setelah beberapa pertanyaan lagi, Helena akhirnya menutup percakapan itu dengan mengatakan bahwa mereka membutuhkan orang yang cepat beradaptasi dan memiliki kesabaran yang luar biasa dalam pekerjaan ini.
Renjana merasa sedikit terkejut dengan betapa cepatnya wawancara itu berakhir. Helena tampaknya sudah puas dengan jawaban-jawaban singkat dan to the point yang diberikannya. Setelah Helena memberikan instruksi agar Renjana kembali besok pagi dengan barang-barangnya, dia mengangguk ragu namun berusaha tersenyum.
Helena menambahkan dengan suara yang tenang, “Kami membutuhkan seseorang yang bisa beradaptasi dengan cepat. Tidak ada banyak waktu untuk penyesuaian. Besok pagi, kamu bisa mulai.”
Renjana mengucapkan terima kasih dan berdiri untuk meninggalkan ruangan itu. Saat dia keluar, perasaan campur aduk menghinggapi dirinya. Di satu sisi, dia merasa lega karena akhirnya mendapatkan pekerjaan, namun di sisi lain, dia merasa sedikit cemas tentang apa yang akan dia hadapi di tempat baru itu.
Renjana melangkah keluar dengan perasaan yang agak berat. Ruangan yang baru saja dia tinggalkan terkesan sepi, hampir tanpa jiwa. Hanya ada meja besar dan beberapa perabotan yang tampaknya sengaja dibiarkan kosong, menciptakan kesan luas namun dingin. Foto-foto yang menggantung di dinding itu tampak memberi kesan formal dan serius, mempertegas bahwa tempat ini lebih dari sekadar panti asuhan biasa.
Pandangannya sempat tertuju pada foto Helena yang tampaknya sangat dihormati, bersama beberapa tokoh penting yang tampaknya terhubung dengan institusi ini. Lukisan-lukisan yang mengisi ruang itu, meskipun indah, tampaknya tidak cukup untuk mencairkan suasana. Ruangan itu terasa penuh dengan keheningan yang menekan.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Renjana menyadari betapa besar langkah yang dia ambil. Dia tidak hanya masuk ke dunia yang asing, tetapi juga harus menghadapi tantangan baru. Namun, dia tahu tidak ada jalan lain selain melangkah maju.
Dengan langkah mantap, dia keluar dari gedung itu, mencoba mengusir rasa cemas yang mulai muncul di dadanya. Ada harapan baru, namun juga keraguan yang tak terelakkan.
Renjana berhenti sejenak, matanya berkeliling mencari sumber suara yang tadi sempat dia dengar. Suara tangisan bayi itu begitu jelas, namun begitu ia mendekat, suara itu seakan menghilang begitu saja. Hatinya mulai merasa cemas, dan rasa penasaran membawanya lebih dekat ke ujung lorong yang gelap.
Dia menatap pintu hitam itu yang sedikit menjorok ke dalam, seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya. Suasana di sekitar terasa semakin tegang, dengan lorong yang semakin gelap seiring langkahnya. Dengan hati-hati, Renjana melangkah lebih dekat ke pintu itu. Tangisan bayi yang tadi terdengar hilang, tetapi dia masih merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Tangan Renjana hampir menyentuh gagang pintu, dan di dalam pikirannya muncul pertanyaan—apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu ini? Apakah dia harus membukanya, atau akankah dia menyesal jika melakukannya?