Akibat kenakalan dari Raya dan selalu berbuat onar saat masih sekolah membuat kedua orangtuanya memasukkan Raya ke ponpes. setelah lulus sekolah.
Tiba disana, bukannya jadi santri seperti pada umumnya malah dijadikan istri kedua secara dadakan. Hal itu membuat orangtua Raya marah. Lalu apakah Raya benar-benar memilih atau menolak tawaran seperti orangtuanya?
Tingkah laku Raya yang bikin elus dada membuat Arsyad harus memiliki stok kesabaran yang banyak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkberryss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip
Sorenya Raya keliling ponpes, tak terkecuali mau itu pondok putra sekalipun. Dia hanya ingin melihat-lihat sekitar dengan sendirian.
"Eh ini calonnya Gus Arsyad ya?" seorang wanita paruh baya mendatanginya dan bertanya.
"Iya anda siapa?" Raya menatap bingung.
"Saya salah satu guru di sekolah ini,"
"Oh, tapi kok masih disini? Maksudnya bukannya hari libur ya?"
"Iya benar, kami dewan guru habis rapat jam dua tadi," jawabnya tersenyum melihat wajah Raya.
"Kamu cantik juga ya Ning kok mau sama Gus Arsyad. Umur kalian beda jauh loh padahal,"
Astaga si ibu ini tidak tahu saja kalau dia dijodohkan begini, ya mungkin awalnya disuruh jadi yang kedua kan tetap saja apa namanya kalau bukan dijodohkan.
"Bukan hanya saya saja Bu yang mau menikah dengan umur yang lebih jauh, ada juga loh tapi mungkin jarang,"
'Ya mau gimana lagi bu, lah anaknya pak kyai hanya tersisa Gus Arsyad gue harus gimana? Lagian yang mau juga bukan kehendak gue buat menerima' batinnya.
"Yasudah ya Bu saya balik dulu!" Raya melengos pergi dari hadapan guru paruh baya tadi. Ingin sekali dia membenarkan warna bibir dari ibu-ibu soalnya kelihatan belepotan, dan warnanya terlalu merah, entah lipstik yang bagaimana digunakannya.
"Kesel banget gue diginiin sama ibu-ibu tadi, untung anda paruh baya, guru lagi, kurang hormat gimana lagi gue."
Sebenarnya Raya bisa saja untuk berbicara yang lebih tidak sopan bahkan mengacak acak penampilan juga, kalau mereka yang menghinanya lebih parah sudah habis ditangan Raya. Meski kecil tapi powernya besar.
"Eh kalian tau nggak kalau calon Gus Arsyad cakep banget? Kek semuda itu seumuran sama kita," langkah Raya terhenti sesaat mendengar obrolan mereka tentangnya. Dia mencoba duduk tidak jauh dari mereka berenam yang asik menggosip, termasuk ada salah satu pengurus yang ikut nimbrung.
"Iya memang cantik aku aja kalah sama dia walau seumuran, soalnya wajahku boros banget terus kan aku gendut nih, pas lihat dia jadi termotivasi buat diet. Siapa tahu bakalan mirip sebelas dua belas,"
"Ya ampun meski nanti berhasil diet juga nggak mirip kali," sahut sampingnya.
"Andai saja aku bisa di posisi dia, kalian tau sendiri kalau aku menyukai Gus Arsyad semenjak pertama kali mondok disini. Saat itu Gus Arsyad belum menikah, tapi pas menikah dadakan rasanya sakit banget di hati. Pas ada berita dia cerai aku langsung bahagia soalnya ada kesempatan tapi malah sudah ada calon bahkan sudah lamaran," jawabnya sedih. dia adalah Zalima seorang pengurus pondok yang sudah lima tahun disini.
"Nggak usah sedih mbak zal, banyak lelaki selain Gus Arsyad. Nih ya denger denger calonnya tuh dipilih sendiri sama Gus Arsyad loh!"
"Iya, coba deh nanti aku bawakan makanan buatanku," jawab Zalima, perempuan berusia 21 tahun itu.
"Oh jadi mbak Zalima tadi masak buat Gus Arsyad?" Zalima mengangguk mendengar ucapan Firda.
"Jangan nekat mbak ingat kalau calonnya Gus Arsyad jago bela diri, kalau ketahuan mbak Zalima rebut bakalan babak belur," Zalima bergidik ngeri.
"Iya mbak. Mending cari aman saja itu bukan rumor loh soalnya Bu nyai sendiri pernah cerita sekilas tentang calon Gus Arsyad itu katanya dia bisa gerakan silat,"
"Tapi nanti aku hanya mau anterin ini aja kok. Dulu sempat ditolak makananku tapi sekarang mau ngasih lagi siapa tahu bakal diterima." mereka berlima menatap pengurus pondok dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Oh jadi elo Zalima yang naksir sama Gus Arsyad duda karatan itu? Tunggu gue nanti malam apa yang bakal gue lakuin. Gue bukan cemburu ya, cuma pengen nunjukin kalo gue ini orang penting kesayangan umi dan abi. Enak aja lo mau jadi bibit pelakor, iya kalo suami orang lain istrinya nggak tau, lah ini gue? Nggak bakalan, mulai nanti gue hempas hempas manja calon bibit pelakor."
Raya kemudian melanjutkan langkahnya lagi untuk pulang ke rumah. Disana ada pak Umar yang sedang baca Qur'an, sedangkan Bu Sofiyah sibuk dengan beberapa kitab milik santri untuk ditandatangani.
"Umi lagi sibuk banget Raya perhatiin,"
"Iya nak lagi penilaian,"
"Ada yang bisa Raya bantu?"
"Itu ditutup dan disusun rapi yang sudah umi tandatangani,"
"Oke" Dikira Raya hanya beberapa saja ternyata dia tadi tak melihat samping Bu Sofiyah yang berjejer banyak. Kalau dihitung bisa puluhan lebih.
"Nggak capek umi sebanyak ini loh, kalau Raya sih udah tepar suruh orang lain aja,"
Bu sofiyah terkekeh, "Capek pasti ada nak, cuma kalau nggak diselesaikan dengan segera pasti makin numpuk."
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," jawab serempak.
"Ada apa Inayah?"
"Mau antar bolu kukus umi, tadi saya habis coba-coba mumpung nggak ada kerjaan. Ini dek kamu rasa," dia mulai memberi sepotong kepada Raya untuk di makan.
"Enak banget Ning!"
"Alhamdulillah kalau enak. Umi belum selesai juga ya?"
"Tinggal sedikit lagi, udah dari kemarin tapi belum sempat umi lakukan," Inayah mengangguk.
"Sini coba umi rasakan," ucapnya merasakan tiap gigitan ternyata rasanya pas, tidak terlalu manis.
"Abi kayaknya juga suka beginian, nanti biar umi kasih setengahnya. Sisanya biar Raya yang habiskan,"
"Kenapa umi selalu makam sedikit sih kalau tentang kue atau roti gitu? Lagi diet ya?" celetukan Raya membuat Inayah hampir tersedak.
"Nggak, emang umi tidak suka berlebihan," bibir Raya membentuk huruf o.
"Saya balik dulu umi, dek Raya nggak ikut? Barangkali mau ke rumahku," Raya menggeleng.
"Nanti saja kalau Raya mau."
Malam telah tiba, tak lupa Raya menjalankan aksinya. Dia mencoba mengikuti Arsyad yang mau mengajar malam ini.
Dia memerhatikan Arsyad dari kejauhan. Matanya tak sengaja menangkap Zalima yang bersiap untuk mengikuti Arsyad juga. Dengan gerakan cepat Raya berjalan kearahnya.
"Mas Arsyad!" panggil Raya dengan lantang membuat Zalima membeku ditempat.
Arsyad tak kalah kagetnya ketika Raya memanggilnya dengan sebutan 'mas' apalagi dihadapan ustadz dan ustadzah yang ada disana sembari berbincang-bincang.
"Mas Arsyad," ucap Raya lagi dengan nadanya yang sengaja di haluskan membuat Arsyad bergidik ngeri sepertinya ini bukanlah jiwa Raya. Karena daya yang sesungguhnya adalah bar-bar dan pemberontak bukan lemah lembut.
'Astaghfirullah dia beneran Raya atau makhluk halus yang nyamar ya? Saya merinding'
Raya melambaikan tangannya dihadapan muka Arsyad.
"Kenapa?"
"Kok kenapa sih, nggak boleh ya calon mu ini nemenin ngajar? kalau nggak boleh nggak papa tapi nanti tetep ikut masuk ke kelas ikut duduk di bangku," ucapnya tersenyum memperlihatkan gigi-gigi nya.
Sontak saja membuat ustad dan ustadzah yang ada disitu menahan tawanya, hanya senyuman saja. Raya menunggu jawaban dari Arsyad pun tak kunjung dibalas. Hingga kedatangan Zalima membuat Raya langsung pasang badan.
"Permisi, Gus," ucapannya terhenti tatkala Raya langsung menggandeng lengan Arsyad dengan mesra.
"Em... Saya mau kasih makanan tadi saya masak sendiri, mohon jangan ditolak ya Gus,"
"Untuk apa bawain makanan gitu, kan Gus Arsyad tadi sudah makan otomatis nggak lapar dong!" bukan Arsyad menjawab tapi Raya. Dia mendramatisir keadaan dengan kelakuannya yang bikin orang disitu menggeleng-geleng kepalanya.
'Sepertinya Gus Arsyad bakal ada bodyguard baru nih, selain jadi istri. Soalnya lihat saja prilakunya sangat siaga sekali, langsung memberantas siapapun yang mencoba mendekati Gus Arsyad' batin salah satu ustad yang ada disana.
"Kamu nggak belajar ngaji?" Raya menggeleng lalu mengangguk kemudian.
"Habis ngajar ajari ngaji!"
"Yasudah ayo," Arsyad tak ragu menggandeng Raya untuk ikut dia mengajar di kelas. Zalima hanya mematung berdiri melihat kepergian mereka, dia bisa apa lah wong niatnya saja tidak baik.
"Sini mbak biar saya yang makan kayaknya enak yang dibawa,* salah satu ustadzah menyahuti.
Namun tanpa sepatah kata apapun Zalima pergi membuat ustadzah tadi menekuk wajahnya kesal akibat penolakan makanan yang dibawanya.
"Padahal saya teh berbuat baik, iya kan us?"
"Udah nggak usah diladenin, kita masuk ke kelas saja ustadzah." jawabnya.