"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Woi!! Apa-apaan lo?!”
Hana buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya masih melebar seperti rusa yang terjebak di lampu mobil. “K-Kenapa lo nggak pakai baju?!” teriaknya panik, meski suaranya serak.
Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, lalu menunjuk kaos yang tergantung di sebelahnya. “lo nggak inget apa yang lo lakuin sebelum lo kobam semalem?"
“Hah?” Hana mengerjap beberapa kali, kebingungan. Otaknya masih terasa berat, mencoba menyusun potongan-potongan memori dari malam sebelumnya. Namun, ketika ingatannya mulai kembali—vodka, klub, dan pingsan—dia langsung terjaga.
Sontak, dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, memeriksa dengan panik. Pikirannya dipenuhi bayangan terburuk, terutama melihat pria shirtless berdiri santai di depannya.
Pria itu, Ares, langsung mengangkat tangan, seolah menyerah pada tuduhan tak kasat mata. “Gue nggak ngapa-ngapain lo, Cil! Tenang aja!” ucapnya dengan nada setengah jengkel.
Hana menatapnya tajam, masih menutupi tubuhnya dengan selimut meskipun pakaiannya masih lengkap. “Lo yakin?” tanyanya curiga, matanya menyipit mencari kebohongan pada pria itu. "Lo nggak nyari kesempatan saat gue pingsan, kan?"
Ares mendesah panjang, lalu menunjuk ke arah sofa di sudut ruangan. “Lo pingsan, muntah di kaos gue. Terus gue taruh lo di kasur biar lo nggak mati kedinginan. Gue sendiri tidur di sofa itu semalaman tanpa baju. Puas lo?”
Hana melirik sofa yang dia tunjuk, melihat bantal yang terlihat berantakan. Tatapannya kembali pada Ares, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya.
“Lo serius?” kata Hana akhirnya, meski rasa malu mulai merayap ke wajahnya. “Sorry. Gue cuma…”
Ares terkekeh pelan. “Gue ngerti. Tapi, percayalah, gue punya banyak hal lain yang lebih penting daripada iseng ngurusin bocil kayak lo. Lagian ngapain sih lo suka banget keliaran di tempat seperti itu? Apa yang lo cari, hah?"
"Bukan urusan lo." Hana melirik Ares yang masih berdiri shirtless di depannya. “Ngomong-ngomong, lo nggak ada niatan pakai baju?”
“Kenapa? Lo terpesona lihat perut kotak-kotak gue?"
"Idih najong!" Wajah Hana langsung memerah.
Ares tertawa lepas, lalu berjalan mengambil kaosnya yang tergantung. “Oke-oke, Cil. Bocil seperti lo emang belum boleh lihat yang beginian,” katanya sambil mengenakan kaos dengan gerakan santai, seolah sengaja memperpanjang waktu hanya untuk menggodanya.
Hana memutar matanya, berusaha menahan rasa kesal. “Gue bukan bocil. Dan lo bukan model majalah fitness, jadi berhenti bertingkah,” balasnya sinis.
“Ya—ya, tapi gue lihat lo suka lihat otot perut gue tadi, mau pegang?"
“Najis.... gue mau pulang,” kata Hana sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. Namun, tubuhnya langsung limbung begitu kakinya menyentuh lantai.
Beruntung, Ares sigap menangkapnya sebelum dia jatuh. “Eh, pelan-pelan dong. Lo pikir badan lo udah fit buat jalan setelah hangover semalem? Lo minum berapa gelas sih?” katanya sambil menopang tubuh Hana dengan satu tangan.
Hana memandangnya dengan tatapan setengah kesal, setengah malu. “Gue nggak selemah itu…”
“Yakin?” balas Ares sambil menaikkan sebelah alisnya. “Baru berdiri aja lo udah kayak bambu kena angin."
"Apa sih lo, jangan pegang-pegang gue, lo kira gue cewek apaan."
"Dih, ya udah." Ares melepas tautan tangannya segera. Namun, karena terlalu mendadak Hana yang masih pusing, kembali limbung dan jatuh ke lantai.
Bugh!
Pantat Hana lebih dahulu membentur lantai.
"Arrggghhh..." Ringis gadis itu menahan sakit. "Lo—"
"Apa? Tadi lo bilang jangan pegang-pegang. Sekarang mau marah sama gue, hah?"
Hana mencoba bangun, sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah.
"Sini." Ares menawarkan tangannya kembali. "Mau gue bantuin nggak?"
"Nggak usah!" Tolak gadis itu, sambil menepis tangan Ares dengan keras.
"Ya udin."
"Lo kenapa bawa gue ke sini, sih? Lo nggak niat buat macem-macem sama gue kan? Ingat lo udah punya—"
"Zahra, gue inget cil! Lo nggak usah lebay. Lagian lo juga bukan tipe gue. Kalau nggak gue bawa kesini, emang lo mau gue tinggalin di sana biar dibungkus sama anak-anak nakal itu?"
"Kenapa nggak lo anterin gue ke rumah aja?"
Tuing!
Ares menoyor kepala Hana pelan, tapi cukup untuk membuat gadis itu meringis. “Dodol, emang gue tahu rumah lo di mana? Otaknya dipakai dikit dong, cil!"
Hana membuka mulut untuk membalas, tapi terdiam sejenak. Dia ingin marah, tapi harus mengakui kalau Ares benar. Pria itu memang tidak tahu di mana dia tinggal.
“Iya sih, sorry,” gumam Hana pelan, matanya menghindari tatapan Ares.
“Nah, gitu dong. Jangan selalu defensif,” balas Ares sambil berjalan ke meja kecil di sudut ruangan mengambil segelas air hangat di tangannya, lalu menyodorkannya pada Hana.
“Nih, minum dulu biar nggak bego!” katanya dengan nada menggoda.
"Apa ini?"
"Obat perangsang."
Mata Hana melotot tajam, “Lo gila!”
"Lo yang bego, kalau mau udah dari semalam gue unboxing lo, cil!"
“Lo—!”
“Minum aja,” potong Ares sebelum Hana sempat melancarkan serangan verbal. “Itu cuma air lemon. Bagus buat redain hangover. Gue nggak segila yang lo pikirin.”
Hana memandangi gelas itu dengan ragu, tapi akhirnya menyesapnya perlahan. Rasa asam lemon bercampur dengan hangatnya air sedikit meredakan pusing di kepalanya. Dia mendesah pelan, merasa lebih baik.
“Hmm,” gumamnya sambil melirik Ares. “Kenapa lo bantu gue?"
“Gue cuma benci ngeliat orang yang lebih tolol daripada gue di tempat yang salah.”
“Wow, terima kasih,” balas Hana dengan sarkasme kental. “Itu pujian paling aneh yang pernah gue terima.”
Ares terkekeh lagi, lalu duduk di sofa sambil melipat tangan di belakang kepala. “Santai aja, Cil. Gue nggak seburuk yang lo kira. Dan lo, jangan terlalu cepat ngambil kesimpulan tentang orang lain.”
Hana terdiam, merenung sejenak. Meski Ares sering melontarkan komentar tajam, ada sesuatu yang membuatnya merasa pria ini bisa dipercaya—setidaknya untuk sekarang.
“Jujur sama gue, lo ngapain di tempat kayak Inferno? Tempat itu bukan untuk orang-orang kayak lo.”
"Bukan urusan lo!"
“Kalau lo nyari masalah sama Red Dragon, gue saranin lo pikir ulang. Lo tahu kan, itu geng nggak main-main? Mereka nggak segan-segan ngeberesin siapa aja yang bikin masalah.”
“Gue nggak peduli,” jawab Hana tegas. “Gue punya alasan gue sendiri untuk mendekati mereka.”
“Alasan apa?”
Rahang Hana mengeras. “Gue harus tahu siapa orang yang ada di belakang Red Dragon, sekarang.”
Ares mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya berubah menjadi waspada. “Lo tahu tentang…” Dia menggantungkan kalimatnya, seolah mempertimbangkan apakah dia harus melanjutkannya atau tidak.
“Tahu apa?” Hana mendesak.
“Red Dragon itu bukan geng jalanan biasa, cil."
"Ya gue tahu, ada seseorang yang mengerakkan Welly bukan?"
"Lo tahu Welly?"
Hana mengangguk, "gue yang masukin dia kedalam penjara."
Ares tertegun, menatap Hana dengan ekspresi campuran antara penasaran dan waspada. “Jadi… lo bagian dari anak-anak Speed Demon?” tanyanya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Ares, Hana malah balik bertanya, “Lo tahu?”
Ares menghela napas berat, mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum menjatuhkan diri di sofa di sebelah Hana dengan wajah penuh pikiran.
“Woi, lo tahu sesuatu?” desak Hana, tubuhnya condong ke depan, menuntut jawaban.
Ares menatapnya sebentar sebelum akhirnya berbicara. “Mereka lebih besar dari apa yang kelihatan di permukaan, Han. Kalau lo main-main sama mereka, lo nggak cuma ngehadapin preman. Lo bisa ngehadapin sesuatu yang jauh lebih besar dan gelap. Welly dan pengikutnya cuma pion, seseorang dibelakangnya punya kuasa.”
“Gue nggak takut,” jawab Hana cepat.
“Berani aja nggak cukup, Hana. Lo butuh akal. Dan lo butuh tahu kapan harus mundur.”
“Gue nggak akan mundur, gue harus tahu siapa dalang di balik semua ini. Siapa yang mengendalikan mereka. Itu penting buat gue.”
Ares menyipitkan mata, memperhatikan Hana dengan lebih saksama, seolah mencoba menembus dinding tebal yang dia pasang. Akhirnya, dia bertanya dengan suara rendah, “Apa yang mereka ambil dari lo?”
Hana terdiam, bibirnya menipis seperti sedang menahan sesuatu. Dia menunduk, menatap lantai dengan kosong. “Mereka ngambil hidup gue.”
“Maksud lo apa?”
Bersambung...