Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RENCANA
Julian tak berhenti, dengan harga dirinya yang tergadaikan, ia semakin memeluk kedua kaki Rhys, menggoyahkan dan merengek layaknya bocah.
"Lepaskan sekarang tanganmu dari—"
"Tidak! Kumohon... jangan sebarkan noda hitamku ke media! Bagaimana nasibku nantinya? Semua yang telah kubangun selama ini akan hancur dalam waktu sekejap."
Rhys berdecih. Jengah sekali melihat rengekan itu; air mata buaya dan isak tangis seolah dibuat-buat terasa begitu menjijikkan. Jika saja ia tak memiliki hati, mungkin pria di bawahnya sudah diinjak dengan pantofel hitam miliknya.
"Ambil dia dari kakiku. Aku muak melihatnya merengek seperti ini."
"Baik, signor."
Dua pengawal Rhys segera maju, dan mengangkat tubuh Julian yang masih berusaha tetap di posisinya dengan menahan kedua kaki Rhys. Julian terus berteriak, suaranya yang besar bergema di ruangan luas dengan minim penerangan, tanpa adanya kehidupan lain. Namun, banyak sekali perabotan mahal di sana. Tempat ini terlihat seperti ruang eksklusi yang di desain sedemikian rupa oleh Rhys untuk melakukan pertemuan dengan rivalnya yang menjadi terget penting, seperti kasino tapi jauh lebih pribadi.
"Le—lepaskan! Tidak! Kumohon Rhys... berikan aku kesempatan!"
Rhys menatap lambat punggung Julian yang dibawa paksa menjauh oleh pengawalnya, ekspresi wajahnya datar, tanpa adanya rasa iba. Teriakkan penuh permohonan itu dianggap angin yang bertiup, yang menghilang tanpa adanya jejak. Rhys tetap kuat berada di pendiriannya, yang tak dapat tergoyah oleh apapun, bahkan jika orang terkasihnya yang meminta. Dan untuk Julian? Ancaman saja belum cukup untuk pria tua itu. Setidaknya hancur perlahan, dan esoknya Rhys dapat bernafas dengan lega.
"Thomas, lakukan sekarang. Pilih media yang tepat, yang akan memberikan dampak paling besar untuk kehancuran Julian."
"Bagaimana dengan putranya, signor?"
Rhys beralih menatap kosong ke luar jendela, tetapi di balik tatapan hampa itu, pikirannya bekerja keras. "Dia pun harus merasakan kehancuran juga. Tetapi, pastikan lebih dulu nama Amber tidak akan terseret dalam kasus ini," tandasnya.
..............
"Bahan instan masih banyak di gudang. Tapi kenapa keranjang daging dan sayuran hanya sedikit sekali? Apa bibi Margareth salah mencatat keperluan yang harus di beli?" ucap Eden aneh, setelah menghitung setiap kardus dan keranjang besar kiriman yang diantar oleh truk boks. Keningnya berkerut, memperhatikan tumpukan kardus yang sebagian besar berukuran kecil.
Ruby mengangguk, membenarkan. "Pasti karena umur bibi yang semakin senja, ingatannya tidak setajam dulu, jadi dia bisa saja lupa."
"Kalian benar. Tapi sekarang juga kita perlu membawa ini semua ke dalam," timpal Mira, pelayan wanita seusia Eden. Dengan kedua tangannya, mendorong Ruby dan juga Eden mendekat pada truk, untuk ikut membantu pelayan yang lain.
"Tanpa kau suruh pun kita berdua sudah berencana membawanya ke dalam."
Mira menarik kardus-kardus itu sedikit mendekat, mempermudah Eden dan Ruby untuk mengambilnya. "Tapi kau malah membahas Bibi Margareth, bukan langsung membawanya."
"Ya karena aku dan Ruby ingin memastikan saja, apakah bibi salah mencatat keperluan dapur lagi."
Ruby memulai mengambil beberapa kardus terakhir yang bebannya tidak terlalu berat. Langkahnya sedikit cepat, berusaha mengimbangi Eden dan juga Mira. Wajahnya terlihat gusar, ia khawatir sekarang. "Apa Bibi Margareth akan dimarahi oleh Nyonya Beatrice?"
"Ini hanya masalah kecil bagi nyonya. Nyonya juga tidak sekejam itu untuk memarahi bibi. Lagipula bumbu-bumbu ini mampu bertahan sangat lama, jadi tidak akan terbuang sia-sia."
"Benar." Tatapan Eden beralih pada Ruby, yang berjalan beriringan dengannya. "Kau sudah tahu, Brenda, koki lama di mansion ini akan kembali bekerja? Mungkin besok atau lusa."
"Aku baru tahu setelah kau mengatakan ini. Bukankan itu bagus? Jadi aku bisa ada yang membantu." Ruby membalas dengan senyum yang terlihat berbeda, dan itu tidak akan dimengerti oleh Eden.
"Benar juga, tapi... dia sangat menyebalkan. Bahkan aku dulu pernah di marahi oleh Tuan Rhys karena dia, padahal aku tidak sepenuhnya salah. Aku masih kesal kalau mengingatnya."
"Kau juga ceroboh," bantah Mira.
"Tapi kenapa dia tidak dimarahi, hanya aku, aku Mira! Padahal kita sama-sama ceroboh. Setelah kejadian itu pun, aku didiami olehnya, dia bilang aku tidak becus membantu. Sialan memang, sudah dibantu tidak tahu diri nenek lampir itu!" Eden hanya mampu menggerutu, menahan diri untuk tidak melemparkan tumpukan kardus ke lantai yang masih ada di tangannya itu.
"Sudah beberapa tahun lamanya, kau masih mengungkit itu? Bahkan Tuan Rhys saja mungkin sudah lupa," kata Mira, suaranya terdengar jengah dan malas.
"Mana mungkin aku bisa melupakan hal yang memalukan sekaligus menyakitkan untukku, Mira."
"Memang Eden melakukan apa hingga Tuan Rhys marah?" Ruby menyambar, benar-benar tidak mengerti apa yang sedang mereka berdua bicarakan.
"Rambut palsu kesayangannya tidak sengaja terbakar saat Brenda melelehkan keju dengan obor gas. Dan entah bagaimana bisa, rambut yang terbakar itu jatuh kedalam salad yang disiapkan sendiri olehnya untuk Tuan Rhys. Akhirnya, Eden hingga sekarang trauma dengan rambut palsu dan tidak sudi lagi memakainya."
"Gaya rambutku tidak berubah hingga sekarang, jadi dulu aku memakai rambut palsu ketika bosan," sahut Eden malu.
Memelankan langkahnya, Ruby membulat tak percaya sekaligus geli mendengar kenyataan yang diceritakan Mira. Ia mengamati Eden dari belakang; wanita itu tampak malu dan kesal. Rambutnya memang dipotong pendek bergaya pixie cut, hampir seperti potongan pria. Meskipun seperti itu, Eden masih terlihat feminim dan tetap cantik dengan gaya rambutnya yang berbeda dari kebanyakan.
"Mengapa terdengar lucu? Ah—aku tidak bermaksud mengejekmu, Eden. Tapi itu lucu jika dibayangkan."
"Kau hanya bisa membayangkan, aku di saat itu bersamanya. Wajahnya sangat lucu seperti ingin menangis, aku hampir mengasihaninya, sebelum dia menggigit ujung rambut pink terangnya itu ketika dimarahi."
Ruby berbinar dan terkekeh. "Aku tak percaya Eden memiliki kebiasan buruk seperti itu kala di marahi. Rambut pinknya pasti sangat menggemaskan," lontarnya lucu.
"Tidak. Justru lebih terlihat norak dari pada menggemaskan."
Eden merenggut sebal. Ia banting kecil tumpukan kardus berisi saus keju pada rak besi. Kini mereka bertiga sudah berada di gudang penyimpanan bahan makanan. Bukan sekedar gudang biasa, tempat ini seperti supermarket mini yang tersembunyi di dalam mansion— tertata rapi, lengkap dan luas.
"Mira, kumohon hentikan. Dan untuk Ruby, tidak perlu didengar apapun yang keluar dari mulutnya, karena itu semua tidak benar. Ya, tidak benar karena..." Eden menggantungkan kalimatnya, matanya menyipit berganti memperhatikan Ruby dan Mira canggung.
"Tidak bisa beralasan lagi. Saranku, lebih baiknya kau ikut aku sekarang ke ruang laundry. Aku hampir lupa masih banyak tumpukan baju yang harus dicuci."
"Kenapa harus aku? Masih banyak pelayan yang lain. Lagipula Nyonya sebelum pergi bersama Tuan Ellard memintaku untuk membersihkan ruang perpustakaan yang kosong. Sepertinya Nyonya berencana ingin menambah lebih banyak koleksi buku setelah kembali ke Chicago."
"Masih beberapa hari lagi, Eden. Ayo pergi, aku tidak ingin mendengar alasanmu, karena ini benar-benar genting."
Meskipun enggan, Eden menerima ajakan Mira. Setelah melemparkan senyum dan lambaian kecil pada Ruby—keduanya meninggalkan ruangan.
Ruby tidak langsung pergi karena harus mengambil beberapa bahan masakan. Hanya untuk Rhys, yang telah melewatkan makan pagi bersama yang lain. Ruby tidak mengetahui alasan jelasnya, tetapi Beatrice sebelumnya pernah mengatakan bahwa Rhys sering bersikap demikian di akhir pekan, bekerja agak siang. Mungkin saja Rhys tidur lebih lama untuk beristirahat sejenak di tengah kesibukannya.
Bak sebuah setrika yang bergerak tak ada tujuan di depan rak penyimpanan. Pikiran Ruby bekerja keras; memilih masakan yang cocok untuk Rhys ternyata sungguh sulit. Pria itu pemilih, dan sangat menjaga pola makannya. Saat ia berdiri cukup lama di rak buah yang bersandingan degan lemari pendingin, senyumnya merekah perlahan saat sebuah ide muncul.
Avocado Toast dan salmon asap sepertinya akan bagus untuk mengembalikan energi serta mood pria itu.
Baiklah, ia akan mengambil bahan yang dibutuhkan dulu sebelum mengeksekusinya nanti di dapur.