Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUNGA KENIKIR ²
Wigardakusuma semakin terperangah, seolah tak percaya apa yang dipertontonkan pemuda satu ini, persis sekali, tidak ada bedanya, siapa dia, dalam hati bertanya-tanya, menunggu Rangsam selesai bersenandung, aku terungkap siapa pemuda di hadapannya ini.
“ Mohon maaf gusti, hamba telah lancang, mohon ampuni hamba”, Rangsam membungkuk kepada Wigardakusuma sesuai menyelesaikan tembang.
“ anak muda, siapa kau sebenarnya”.
“ hamba Rangsam gusti, pemuda dari pulau Bawean”.
Sambil gemetar, Wigardakusuma menghampiri Rangsam yang sekarang sudah berlutut, dengan tangan yang gemetaran, Wigardakusuma memegang kedua bahu Rangsam
“ anak muda, aku ingin bertanya padamu, aku mohon kau jawab dengan segenap kejujuran yang kau punyai”
“ jika kejujuran hamba begitu berarti, maka akan hamba serahkan sepenuhnya tanpa ada noda dusta”.
“ anak muda... Siapa yang mengajarimu...
Siapa yang mengajarimu tembang Hikayat kembang kenikir persis seperti si penggubahnya?”.
“ ayah, ayahanda yang mengajarinya, ia mengasuh hamba saat kecil, karena ibunda sudah wafat ketika melahirkan hamba”.
“ Si.. Siapa ayahandamu nak? “.
“ Ayah hamba bernama Wiya, wiyakrakusuma”.
Sungguh Wigardakusuma terkejut bukan kepalang, pemuda yang ada di hadapannya, adalah putra dari wiyakrakusuma, ya, benar, wiyakrakusuma, orang yang selama ini dirindukannya, yang selama ini dinanti, orang yang membuat Wigardakusuma selalu menatap lautan, dan kini, entah apa rencana Tuhan, orang yang dirindukannya telah berputra, dan putranya tepat berada di genggaman tangannya, Rangsam, seorang prajurit muda, anak dari wiyakrakusuma, kakak dari Wigardakusuma, dan juga kakak dari Wibawakusuma, Sultan Bintara.
“ anakku, tahukah kamu siapa wiyakrakusuma itu?”. Wigardakusuma masih gemetaran, lidahnya kelu, susah sekali untuk berucap.
“ Yang hamba tau, bliau adalah ayah hamba, seorang nelayan dari tanah Jawa “.
“ Bukan hanya itu anakku, ia adalah putra dari kusumabuwana”.
“ Hamba tidak mengetahui perihal kakek hamba, mungkin bliau pernah mengabdi kepada kerajaan, sehingga gusti mengenalnya sangat baik”.
“ Bukan, kau salah, ia tidak mengabdi kepada kerajaan, justru seluruh nusantara yang mengabdi padanya”.
“hamba tidak mengerti apa yang gusti katakan, hamba semakin bingung “.
“ya, kau memang tidak mengerti, ayah mu adalah orang yang rendah hati, tidak mungkin ia mau membuat putranya menjadi besar diri”.
“ mohon ceritakan kepada hamba jika gusti berkenan “.
“ pasti, aku akan menceritakannya, Kusumabuwana adalah kakekmu, ayah dari wiyakrakusuma, dan juga ayah dari Wigardakusuma dan Wibawakusuma, ya, aku, aku dan Sultanmu adalah pamanmu nak, kau adalah kemenakanku, kau juga darah daging ku, sama seperti pangeran Unus, pangeran adipati Nuswakusuma”.
Rangsam sangat terkejut, serasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan gusti pangeran Wigardakusuma, benar-benar fakta yang belum pernah ia sangka sebelumnya, memang ia sedikit curiga dengan nama yang hampir sama dengan nama ayahnya, namun ia pikir nama seperti itu lumrah di daratan Jawa, sungguh tidak dinyana dan diduga.
“ Benarkah yang gusti katakan barusan? “.
“ Benar anakku, kau adalah kemenakanku, siapa nama aslimu wahai anakku? Apakah ayahmu memberikan namanya kepadamu? “.
“ Alhamdulillah gusti, ayah memberiku nama lahir Warangkakusuma, dan aku baru mengerti kenapa ayah memanggilku Warangkakusuma jika tidak ada siapapun di sekitar kami”.
Wigardakusuma memeluk Rangsam dengan erat, seakan tidak ingin kehilangan lagi, padahal mereka baru bertemu beberapa pekan. Rangsam pun ikut menangis bersama Wigardakusuma, seraya Wigardakusuma mengangkat tubuh Rangsam untuk berdiri, sungguh mengharukan, pertemuan yang tidak terduga, jika Allah sudah berkehendak, tidak ada suatu apapun di dunia ini dapat menutupinya.
Gusti pangeran Wigardakusuma memerintahkan kapitan Joko keker mengirimkan sinyal sandi ke kapal utama melalui tiang kapal, sinyal sandi diterima oleh kapal utama, seketika kapal utama mengirimkan sandi ke kapal-kapal lain sehingga beruntun diteruskan oleh kapal yang menerimanya kepada kapal yang jauh, serentak semua kapal menurunkan layar.
Rangsam dan pangeran Wigardakusuma turun dari kapal menaiki perahu kecil, menuju kapal utama yang di komando langsung pangeran Unus, tidak banyak prajurit regu karang yang mengetahui hal ini, terlihat juga para kapitan dari regu bajul dan pesut turun dari kapal, menuju kapal utama, kapitan Joko keker ikut menyertai Rangsam dan raden Wigardakusuma menuju kapal utama.
“ Maafkan pamanmu ini nak yang tidak bisa mengenalimu”, sambil memegang pundak Rangsam, di wajahnya masih menyiratkan ketidakpercayaan.
“aku pun tidak menyangka bahwa ayah adalah orang sepenting itu”, Rangsam masih tertunduk melihat lantai perahu, rasa canggung menghinggapi dirinya.
“ ayahmu adalah adipati terung, sebuah negeri dekat dengan pusat kerajaan lama, setelah kepergiannya, pamanmu yang lainlah yang bertakhta di sana, ayahmu belum sempat menikah di terung, selama kepemimpinannya, terung menjadi daerah yang subur, ramai dan sejahtera, banyak pedagang asing ikut meramaikan terung, itulah gambaran Kadipaten terung, sebuah kerajaan kecil yang ayahmu pimpin”.
Rangsam hanya bisa tertunduk dan mengangguk, gerak dan geriknya terbatas, ia tidak tau bagaimana harus bersikap. Perahu sudah merapat, empat tali penarik sudah diturunkan, perlahan perahu naik ke atas kapal utama, kapal terbesar dan termegah diantara kapal-kapal lain. Perlahan geladak terlihat, dan di sana sudah ada pangeran Unus berdiri menanti dan menyambut, perahu sudah sempurna terangkat, Wigardakusuma merangkul Rangsam, mempersilahkan Rangsam, Rangsam masih canggung dan malu-malu, yang ia bisa hanya menurut.
“ Ada apakah gerangan paman menghentikan perjalanan, adakah suatu yang penting? Ada masalah apa dengan prajurit muda yang paman bawa ini? “, pangeran Unus masih terheran dengan pamannya.
“ Mari kita bicarakan di dalam saja, para kapitan boleh silahkan ikut berkumpul bersama”.
Tiba-tiba kapitan Oerip menyelak, “ Hai Rangsam, apalagi yang kau perbuat, sehingga gusti adipati membawamu ke hadapan pangeran Unus!!, kau ini, selalu saja membuat onar, beberapa hari yang lalu kau membuat Suta pingsan karena ia takut cacing, dan juga kau pernah hampir membuat dapur umum terbakar, sekarang baru saja kita berlayar, apa lagi yang kau perbuat, sebagai gurumu aku merasa malu Rangsam, gusti adipati, mohon maafkan hamba, hamba gagal menasihati anak ini, maafkan hamba gusti “.
“ A.. Aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu guru, aku tidak melakukan apa-apa, jangan kau asal menghukumku nanti “.
“ Aku akan menghukummu, akan ku gantung terbalik kau di tiang layar, kapitan keker, setelah ini biarkan Rangsam masuk dalam pengawasanku, akan ku tukar dengan satu prajurit ku yang terlatih “. Nampaknya kapitan Oerip sangat geram sekali, sepertinya hubungan kapitan Oerip dan Rangsam benar-benar dekat, Rangsam pun merasa sangat ketakutan mendengar ancaman itu.
Kapitan keker menjawab sambil tergagap “ ba.. baiklah, kita lihat saja nanti hehe “ .
Wigardakusuma pun memotong pembicaraan mereka “ sudah-sudah, mari kita masuk, biar nanti aku jelaskan di dalam “.
Mereka memasuki ruangan utama, pangeran Unus mempersilahkan para kapitan dan paman raden adipati Wigardakusuma untuk duduk, begitu pula dengan Rangsam, Rangsam memilih duduk di sebelah kapitan raden Mas Oerip dan kapitan raden Mas Adji Soemitro, sedangkan kapitan Joko keker berada di samping kapitan Oerip, mereka berempat duduk sila menghadap pangeran Unus dan pangeran adipati Wigardakusuma.
“ wahai anakku, pangeran Unus Abdurrahman Nuswakusuma, maafkan pamanmu ini yang tiba-tiba memberhentikan perjalanan kita menuju Malaka, paman ingin memberikan kabar baik kepada ananda, sekaligus kepada para kapitan, bahwasanya aku, dan Kesultanan bintara telah menemukan bagian kerangka keluarga yang hilang “.
“ apa yang sedang paman bicarakan, aku tidak mengerti “, pangeran Unus terheran dengan pernyataan pamannya, sedangkan para kapitan saling berpandangan, dan bersama-sama melihat ke arah Rangsam yang tertunduk.