"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Di tengah persimpangan
Malam itu, Fira tak bisa tidur. Setelah pertemuannya dengan Ezra, pikirannya terus berkecamuk. Kegelisahannya semakin dalam saat ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ezra masih menyimpan banyak misteri, dan meski ia merasakan ada ikatan di antara mereka, ada perasaan yang tak bisa diabaikan—seperti sebuah dinding yang menghalangi mereka untuk benar-benar saling memahami.
Di sisi lain, kembalinya Rangga membuat semuanya semakin rumit. Sosoknya yang familiar membawa perasaan nostalgia yang menenangkan, namun juga membawa kenangan tentang perpisahan mereka yang pahit. Dan sekarang, ketika Rangga tiba-tiba muncul di tengah hubungan yang belum jelas dengan Ezra, Fira merasa seperti terjebak di antara dua pilihan yang tak bisa ia abaikan.
Pagi berikutnya, ketika Fira sampai di sekolah, suasana terasa aneh. Semua orang tampak berbisik-bisik, menatap ke arahnya dengan tatapan penasaran. Fira merasa tidak nyaman, tetapi ia mencoba mengabaikannya dan langsung menuju kelas. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Dinda yang bergegas menghampirinya dengan wajah panik.
"Fira! Lo udah denger belum?" tanya Dinda, napasnya terengah-engah.
Fira mengernyit, merasa ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. "Denger apa?"
Dinda menelan ludah dan menatap Fira dengan cemas. "Ezra dan Rangga… mereka ribut pagi ini di lapangan basket!"
Darah Fira mendesir cepat, dan dadanya terasa sesak mendengar kabar itu. "Apa? Kenapa mereka bisa berantem?"
Dinda menggeleng, matanya penuh kekhawatiran. "Gue nggak tau pasti, tapi semua orang ngomongin soal lo. Kayaknya mereka berantem gara-gara lo, Fir."
Tanpa menunggu lebih lama, Fira segera berlari ke arah lapangan basket. Ketika ia sampai di sana, banyak siswa masih berkumpul di sekitar lapangan, meski kejadian utamanya sudah selesai. Namun, Fira bisa melihat dari kejauhan bahwa Ezra sedang berdiri dengan tangan terbalut perban kecil, sementara Rangga tampak duduk di bangku, wajahnya sedikit lebam.
“Lo serius, Ezra?” suara Rangga terdengar dari kejauhan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Lo pikir lo pantas buat deketin Fira setelah semua yang lo lakuin?”
Ezra menatap Rangga dengan tatapan dingin, tak sedikit pun terpengaruh oleh kata-kata tersebut. “Lo nggak tau apa-apa tentang gue, Rangga. Lo nggak ada hak buat ngehakimin gue atau bilang gue nggak pantas deket sama dia.”
Fira merasa hatinya mencelos melihat mereka berdua. Ia segera menghampiri keduanya, memotong pembicaraan yang jelas-jelas semakin memanas. “Hentikan!” seru Fira, suaranya penuh ketegasan, meski di dalam dirinya ia merasa sangat lemah. “Apa yang kalian lakuin?”
Kedua pria itu menoleh ke arah Fira. Ezra tetap berdiri dengan tenang, namun matanya tampak lebih gelap dari biasanya, sementara Rangga tampak terpukul, tapi masih memelihara tatapan penuh amarah.
“Ini bukan urusan lo, Fir,” Ezra berbicara lebih dulu, suaranya dingin. “Gue dan Rangga cuma perlu nyelesaiin ini.”
Fira menggelengkan kepala. “Nggak ada yang perlu diselesain dengan cara kayak gini. Kalian berdua temen gue, dan gue nggak mau kalian berantem gara-gara gue.”
Rangga berdiri, meski wajahnya terlihat sedikit sakit akibat luka di pipinya. “Temen? Fira, ini lebih dari sekadar temen. Gue nggak bisa diem aja ngeliat lo deket sama orang kayak Ezra. Lo nggak tau apa yang dia sembunyiin dari lo.”
Fira menatap Rangga, matanya dipenuhi dengan keraguan. “Lo juga bilang begitu. Semua orang ngomongin Ezra, tapi gue pengen denger semuanya dari dia sendiri.”
Ezra mengambil langkah maju, mendekati Fira. “Gue udah cerita ke lo, Fir. Gue nggak sembunyiin apa-apa dari lo. Masa lalu gue bukan hal yang gue banggakan, tapi gue udah jauh lebih baik sekarang.”
Fira bisa merasakan ketegangan yang meliputi udara di antara mereka. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dipertaruhkan di sini. Ini bukan hanya soal cinta atau perhatian, tapi soal masa lalu yang belum selesai, luka yang masih terbuka.
"Kenapa kalian harus berantem?" Fira memandang keduanya, mencoba mencari alasan di balik semua ini. "Ezra, Rangga, gue nggak ngerti kenapa lo tiba-tiba kayak gini."
Rangga yang pertama menjawab. "Gue nggak bisa diem, Fir. Gue nggak bisa pura-pura nggak peduli. Gue masih sayang sama lo."
Kata-kata itu mengguncang Fira. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Sementara Ezra menatap Rangga dengan tatapan penuh kemarahan yang ia tahan. “Jadi itu alasan lo, Rangga? Lo pikir lo bisa balik ke dalam hidup Fira dan ngusir gue begitu aja?”
Rangga tidak mundur. “Gue nggak peduli sama lo, Ezra. Yang gue peduliin adalah Fira. Gue nggak mau liat dia tersakiti.”
Ezra tampak semakin tegang. “Lo nggak punya hak buat bilang siapa yang bisa atau nggak bisa bikin dia bahagia.”
Fira mengangkat tangannya, mencoba menghentikan eskalasi ini. "Berhenti! Ini nggak ada gunanya. Kalian berdua—gue nggak bisa pilih salah satu kalau kalian terus-terusan kayak gini."
Rangga menghela napas panjang. “Fira, lo layak dapet yang lebih baik daripada seseorang yang masih bergelut dengan masa lalunya. Gue nggak mau lo terluka.”
Ezra langsung menatap Fira, kali ini lebih lembut. “Gue mungkin punya masa lalu yang buruk, tapi gue nggak akan biarin itu nyakitin lo, Fir. Gue cuma pengen lo tahu kalau gue udah berubah.”
Hati Fira tercabik-cabik di antara dua pilihan. Di satu sisi, Rangga—seseorang yang pernah membuatnya merasa nyaman, stabil, dan aman. Namun, perasaan masa lalu itu telah berakhir karena alasan yang baik. Di sisi lain, ada Ezra—seseorang yang membawanya keluar dari zona nyamannya, seseorang yang penuh tantangan, tetapi juga penuh ketulusan yang sulit ia abaikan.
Namun, sebelum Fira bisa berbicara lagi, seorang guru datang menghampiri mereka. Guru itu tampak marah, mungkin setelah mendengar kabar tentang perkelahian antara Ezra dan Rangga.
“Kalian berdua, ikut saya ke ruang kepala sekolah,” kata guru itu dengan nada tegas. “Fira, kamu juga ikut.”
Mereka bertiga berjalan ke ruang kepala sekolah dengan suasana tegang. Di dalam ruang itu, mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara Ezra dan Rangga masih terasa panas. Fira merasakan kegelisahan yang luar biasa, meski dia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus mereka hadapi bersama.
Kepala sekolah, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis, memandang mereka bertiga dengan tatapan yang tajam. “Saya dengar ada perkelahian di lapangan basket. Bisa jelaskan apa yang terjadi?”
Ezra dan Rangga terdiam sejenak, tampak ragu untuk berbicara lebih dulu. Namun akhirnya, Rangga yang angkat bicara. “Ini cuma kesalahpahaman, Pak. Kami nggak bermaksud bikin keributan.”
Kepala sekolah mengernyit, tak puas dengan jawaban itu. “Kesalahpahaman seperti apa yang sampai membuat kalian berkelahi?”
Ezra kemudian menatap kepala sekolah, suaranya lebih tegas. “Kami punya masalah pribadi, Pak. Ini nggak ada hubungannya sama sekolah.”
“Masalah pribadi atau tidak, kalian tetap membawa perkelahian itu ke lingkungan sekolah. Dan saya tidak bisa mentolerir hal seperti ini,” jawab kepala sekolah dengan nada tegas. “Kalian berdua akan mendapat sanksi untuk perbuatan ini.”
Fira menundukkan kepala, merasa bersalah karena ia tahu bahwa konflik ini terjadi karena dirinya. Namun, ia tidak bisa mengubah kenyataan bahwa mereka berdua telah bertarung, dan sekarang harus menanggung konsekuensinya.
Setelah kepala sekolah memberikan peringatan dan memberitahu tentang hukuman yang akan mereka terima, Fira, Ezra, dan Rangga keluar dari ruangan itu. Suasana di antara mereka terasa semakin canggung.
Ezra menatap Fira dengan penuh harap. “Fir, gue harap lo nggak lihat gue sebagai orang yang cuma bisa bikin masalah. Gue nggak pengen ini terjadi.”
Rangga menghela napas panjang, lalu memandang Fira dengan tatapan yang sama. “Gue juga nggak pengen lo terjebak di antara kami berdua. Tapi, lo harus tau bahwa gue masih peduli sama lo.”
Fira hanya bisa menunduk, tak mampu berkata-kata. Di tengah dua hati yang begitu kuat, ia harus membuat pilihan yang akan menentukan masa