NovelToon NovelToon
MY BELOVED PIAN

MY BELOVED PIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:932
Nilai: 5
Nama Author: fchrvlr0zak

sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.

hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika

ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian

kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PIAN DENGAN SEJUTA CARA

Ini sudah memasuki bulan September akhir di tahun 2007. September yang datang dengan sejuta kebahagiaan di hati Pian karena Pika tidak melupakan janjinya untuk menjadi guru Privat Pian dan teman-temannya.

September yang selalu punya cerita setiap sore. Setiap kali mereka mengikuti pelajaran tambahan sambil mendengar alunan rintik hujan dari balik jendela kelas.

September yang sudah memasuki bulan puasa. Tapi sejak puasa pertama sampai detik ini, Pian tidak pernah full menjalakan ibadah puasa-nya. Maksudnya, Pian dan teman-temannya tidak pernah puasa. Kecuali di hadapan Pika.

"Yaaah, hujan lagi. Jadi ingat indomie," tutur Pian sambil menempelkan wajahnya di jendela kelas. Mencium kaca-kaca kelas seperti ikan sapu-sapu.

"Duduk yang bener!" Pika senang menjadi guru privat mereka. Itu berarti Pika bisa melakukan apa saja yang dia suka. Termasuk memukul murid nakal dengan penggaris panjang. Tepat mengenai bokong Pian. Pian mengusap bokongnya seraya meringis.

"Siap cikgu!" Pian memberi hormat. (arti Cikgu:guru) Pian kembali duduk di kursinya dan menatap papan tulis sambil melengos kesal.

"Masih tetep nggak ngerti," kata Pian untuk yang kesepuluh kalinya. Dihitung sebelum hujan turun.

"Mungkin sampai lebaran monyet," tutur Pian lagi. "Apa gunanya sih kita belajar Aljabar? Kalau udah kerja nanti, bos nggak bakalan kasih kerjaan rumit ini. Dia pasti juga nggak akan ngerti. Iya nggak Tris?"

Yang dipanggil mengangguk mantap. "Aku calon bos besar, Pik. Tapi sampai sekarang masih nggak ngerti pelajaran kayak gini."

Pika menghela napas berat. "Kalian tau apa gunanya belajar semua ini?"

Mereka diam.

"Gunanya supaya nilai matematika kalian nggak jeblok. Coba deh kamu, Tris, katanya kamu pengin jadi bos besar di perusahaan Ayah kamu. Kalau misalnya nilai matematika di ijazah kamu berantakan, memangnya kamu nggak malu sama bawahan? Apa kata karyawan kamu kalau ternyata mereka punya bos yang bego."

Tristan diam. Menyikut lengan Pian. "Kamu sih, Yan!."

Sedangkan Pian malah menutup buku di hadapannya. "Tau ah, angkanya muter-muter. Bikin sakit kepala." Secara dramatis Pian menyentuh kepalanya. "Aduh, kayaknya aku butuh dipijit deh. Agen Pika, tolong pijitin kepalaku sebelum pecah."

Sandi melempar kepala Pian dengan segumpal

kertas. "Alasan ente, dasar bahlul!"

Pika hanya mendengus lelah. "Kapan sih kalian itu bisa nangkep pelajaran yang gue kasih selama ini. Dan lo, Pian, kapan lo itu bisa serius!"

Sejurus kemudian wajah Pian langsung berubah jadi serius. "Aku bisa serius mencintai kamu."

"Is!" Pika kesal, memukul meja Pian dengan penggaris panjang. "Memangnya kamu bisa lulus Cuma dengan modal cinta doang?"

Pian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu melebarkan kelopak matanya dengan jari. Melotot ke arah papan tulis. "Rab, akar dari 4 berapa coba?"

Sandi menjawab. "2 bro!"

"Kalau akar dari 9 berapa, Rab?" tanya Pian lagi.

"3 Bro!"

"Nah, kalau temannya akar itu siapa, Rab?"

Sandi diam. Hanya beberapa detik kembali menjawab. "Si tanah Bro!"

"Bagus! Liat agen Pika, kami bisa jawab semuanya kan? Gampang!" Pian menepuk dadanya bangga.

"Satu pertanyaan lagi ya, Rab. Akar, akar apa yang udah selesai belajar?"

Sandi tampak berpikir keras. Pian menoleh ke arah Tristan. "Tau nggak Tris?"

Tapi Tristan hanya menggeleng.

Lantas Pian segera bangkit dari kursi dan menyandang ranselnya di atas bahu.

"AKAR-ang waktunya kita pulang. Kabuuuurr, udah

bedug!"

Pian langsung berlari terbirit-birit nyaris terpeleset di lantai depan. Begitu pula dengan Sandi yang ikut kegirangan.

"Yesss, pulang!" Dan Sandi pun mengikuti jejak Pian.

Amarah sudah menjalar di sekujur tubuh Pika. Hampir saja kepala dan kedua telinga Pika mengeluarkan asap. Kedua tangan Pika terkepal geram, sudah cukup sabar menghadapi tingkah laku Pian.

Kecuali Ttristan. Cowo itu masih duduk di tempat sambil cengengesan.

"Ngapain ketawa-ketawa gitu? Ada yang lucu?"

Tristan menutup mulutnya dengan tangan yang dikepal. Dia menggeleng. "Kamu lucu. Apalagi kalau marah kayak gitu."

Kemarahan Pika mengikis akibat semburat merah yang mendadak muncul di pipi.

"Gue kesel sama mereka. Kenapa sih mereka nggak bisa berubah. Selalu aja main-main. Memangnya hidup bakal bisa berjalan mulus kalau Cuma main-main doang." Pika ngomel.

"Maklumin aja ya, Pik. Mereka memang suka begitu. Tapi kalau nggak ada manusia-manusia aneh di sekolah, sekolah pasti bakalan sepi. Apalagi orang-orang seperti itu tuh, yang akan dikangenin saat udah tamat dari sekolah nanti."

Tristan berbicara dengan tenang. Entah mengapa rasanya begitu mengademkan hati Pika. Membuat amarah Pika lenyap begitu saja.

"Iya Tris." Suara Pika berubah lembut. Ia menyusun beberapa bukunya dan menyimpannya ke dalam tas. Sebelum keluar dari kelas, Pika kembali melihat bangku kosong di kelasnya. Napasnya terhela berat.

"Kenapa Pik? Ada yang aneh? Atau ada yang kamu cari di kelas?" Tristan ikut melihat ke arah mata Pika memandang.

Pika menggeleng pelan. "Udah sebulan kita belajar tambahan kayak gini, tapi selama itu juga Henrik masih nggak mau masuk tambahan sama gue."

Pika ingat. Saat pertama kali Henrik tahu kalau ternyata guru privatnya adalah Pika. Henrik langsung memukul meja kelas dan memberikan perlawanan keras.

"Aku nggak mau diajar samna cewek kayak dia! Mending aku bodoh sekalian daripada diajar sama si pengadu! Cewek sok pahlawan!" Sambil menunjuk Pika dengan jarinya. Sambil menatap Pika dengan matanya yang tajam. Kemudian berlalu pergi, bahkan enggan balik lagi untuk keesokan harinya.

Beruntung suasana yang awalnya tegang langsung dihalau oleh kekonyolan Pian.

"Udah Agen Pika, biarin aja. Diamin aja. Mungkin si Henrik lagi datang bulan, makanya sensitif kayak gitu. Dia pasti rugi nggak bisa belajar sama cewek cantik dan pintar seperti Agen Pika. Dia pasti menyesal terus mimpi-mimpi sampai basah."

Pika hanya tersenyu miris meski dalam hati ketakutan. Sebegitu benci kah Henrik sama Pika?

Ternyata Henrik masih menyimpan dendam teramat dalam kepada Pika.

"Hujannya lebat, Pik," desis Tristan saat mereka sudah berdiri di teras kelas. Menyaksikan hujan lebat yang menghentak bumi.

"Iya, lebat, Tris." Pika menjulurkan telapak tangannya guna merasakan deras air hujan.

"Pulang naik apa Pik?" Tanya Tristan.

"Biasanya sih gue dijemput. Tapi kayaknya Mas gue belum dateng deh."

"Oh kalau gitu bareng aja sama aku gimana? Aku bawa mobil. Mobilku di parkiran depan. Nggak jauh-jauh kali kok."

"Ha?" Pika melongo. "Nggak usah repot-repot Tris."

Tristan tidak bicara apa-apa lagi. Dia langsung menyentuh pundak Pika, menarik Pika lebih dekat dengan Tristan dan membawa Pika berlari bersamanya. Hanya ada tas ransel Tristan yang menjadi payung di atas kepala mereka.

Entahlah. Tapi bagi Pika, itu adalah moment romantis yang ia alami selama sekolah di sini. Bersama dengan cowok paling ganteng di sekolah. Tidak perlu modus-modusan harus nyanyi India atau joget ala India segala. Tristan punya cara sendiri bikin Pika terpesona.

"Jadi kamu beneran pacaran sama Pian, Pik?" Tristan melontarkan pertanyaan pertama saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.

Bisa berada dalam satu mobil bersama Tristan itu impian banyak cewek. Dan Pika nggak perlu mimpi dulu, sudah diajak langsung oleh Tirstan.

"Ih, demi Tuhan enggak. Gue nggak pacaran sama Pian, dia aja tuh yang nyebar gosip nggak penting." Pika langsung menjawab telak.

"Sampai bawa nama Tuhan segala. Segitu nggak sukanya ya, sama Pian?"

Pika diam, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Takut Tristan akan marah karena dia teman dekatnya Pian. Tapi Pika tetap masa bodo. Toh, dia hanya ingin berbicara jujur.

"Pian itu udah sering bikin gue malu. Gue nggak respect sama dia."

"Bagus deh," kata Tristan cepat.

Pika mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Ya, bagus kalau kamu ternyata nggak suka sama Pian. Jadi cowok-cowok lain masih punya kesempatan buat dekati kamu." Tristan berbicara kalem dengan maksud tertentu.

Meski Pika curiga, tapi dia berusaha bersikap biasa saja. Harusnya ini menjadi moment romantis juga bagi Pika, ketika tanpa sengaja jari mereka saling bersentuhan saat mereka berdua sama-sama ingin mengganti lagu di tape mobil.

Seketika suasana canggung berpendar di sekeliling

mereka. Dan keadaan canggung itu langsung menghilang saat sosok cowok muncul. Berdiri di tengah-tengah jalan sambil merentangkan tangannya.

Tristan rem mendadak. Ternyata itu Pian. Pian mengetuk jendela Pika, dan jendela mobil langsung terbuka.

"Kenapa Yan, hujan-hujanan di tengah jalan?" tanya Tristan panik.

Pian tidak langsung menjawab. Matanya terbelalak melihat Pika berada satu mobil dengan Tristan. Tapi dia tidak berkomentar.

"Si Napi rusak." Pian menunjuk motor miliknya yang terparkir di pinggir jalan. "Gara-gara si Sarab ikutan nebeng," lanjutnya kemudian kali ini menunjuk si Sandi yang duduk tenang di atas motor Pian. Mereka pada nggak takut hujan.

"Yaudah masuk aja ke mobil buruan. Motornya

ditinggal di sini aja," pintah Tristan.

Pian langsung teriak memanggil Sandi. Hanya butuh beberapa detik untuk mereka bisa masuk ke mobil Tristan dan duduk di kursi belakang dalam keadaan baju basah kuyub.

"Basah, basah, basah, seluruh tubuh. Ah, Ah, Ah, menyentuh kalbu." Pian malah bernyanyi di mobil. Kemudian kepalanya melongok ke depan, mendekat pada Pika. "Lagi puasa Agen. Nggak boleh hujan-hujanan. Nanti air hujannya keminum."

Pika hanya bisa geleng-geleng kepala. Mulai tidak nyaman.

"Kita ke rumah sakit yuk Agen Pika." Pian bersuara lagi.

"Buat apa?"

"Buat periksa kadar hati, jiwa dan perasaan kamu. Mau nanya sama dokter, kalau cewek yang suka marah, sombong dan nggak pernah senyum itu kira-kira obatnya apa ya?" Pian tampak berpikir. Gurat wajahnya sok serius.

"Obatnya menghilang dari kota ini biar nggak ketemu sama orang aneh sejenis lo!" seru Pika judes.

"Hm. Tapi aku tau di mana tempat persembunyian yang paling aman supaya kamu nggak ketemu sama aku lagi."

"Di mana?"

"Di luar angkasa. Nanti aku pinjamkan kamu si Napi. Kamu bisa terbang sendirian ke luar angkasa. Dan kalau kamu ketemu sama alien di sana, tolong bilangin ya... Pian titip salam, jaga Pika baik-baik. Pian pasti nyusul kalau Pika udah sembuh dari penyakit hati."

Tristan dan Sandi tertawa.

"Udahlah Yan, kalau cewek nggak suka itu jangan diganggu lagi," kata Tristan. Tapi tidak mematahkan semangat Pian.

"Siapa bilang Pika nggak suka Pian. Suka kok. Pasti. Tapi semuanya butuh waktu. Benar tidak? Ya kan, Rab?" Pian menyikut Sandi. Sandi hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Agen Pika, kamu percaya nggak kalau aku bisa bikin kamu suka sama aku?"

"Enggak!" seru Pika angsung tanpa berpikir panjang.

"Tapi aku yakin. Tuhan juga yakin. Sekuat apa pun usaha kamu buat bilang enggak, tapi kalau Tuhan udah bilang iya. Kamunya bisa apa? Aku juga nggak bisa apa-apa." Jeda lima menit. Pian menyodorkan secarik kertas pada Pika.

"Satu hari menjalankan misi Agen PiPi." Pika membaca tulisan di kertas tersebut. "Maksudnya apa?"

"Besok, aku mau nunjukin sama kamu tentang isi Kota yang paling kamu benci ini. Aku akan buktikan sama kamu kalau kota ini punya kenangan manis jika dikelilingi oleh dua insan yang saling merajut kasih. Tapi sayang kali ini kasihku Cuma bertepuk sebelah tangan. Tapi nggak apa-apa. Sebelum janur kuning melengkung jangan datang ke kondangan. Soalnya lagi nggak ada yang nikah."

Pika nyaris tertawa. Tapi pura-pura jutek kembali.

"Maksudnya lo mau bawa gue jalan-jalan?"

Pian mengangguk mantap. "Anggap itu semacam challange. Pian lagi berusaha bikin Pika nggak membenci Pian dan Kota ini."

"Udah Pik, ikuti aja apa maunya Pian. Dia lagi usaha tuh!" seru si Sandi.

Pika hanya terdiam bingung.

"Gue nggak bisa jawab sekarang."

"Kenapa? Gerogi ya dilihatin sama Tristan dan Sandi." Pian mendekatkan telinganya ke wajah Pika. "Sini bisikin biar romantis."

Pika mendorong Pian. "Apaan sih!"

Pian terkekeh. "Yaudah, ntar malam aku hubungi kamu untuk memastikan."

"Dih, emang lo punya nomor ponsel gue?"

"Cinta itu Cuma butuh perjuangan." Pian berbisik.

"Asal kamu tau aja ya, Pik. Bukan mau pamer. Tapi Cuma mau bilang kalau akhir-akhir ini aku jadi rajin salat semenjak sering liat sepatu kamu di musalah sekolah." jeda sedetik. "Semua itu aku lakukan karena aku yakin kalau Tuhan pasti menggenggam semua doa, dan akan dilepaskan pada waktu yang tepat. Tuhan masih ingin melihat seberapa keras usaha aku buat perjuangin kamu.

***

1
Esti Purwanti Sajidin
taraaaa langsung nge vote ka syemangaddd
Hitagi Senjougahara
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Dennis Rodriguez
OMG! Gemes banget!
Alison Noemi Zetina Sepulveda
Aku jadi terbawa suasana dengan ceritanya, bagus sekali! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!