"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Perang dingin pun terjadi. Tatapan Rosidah dan Laras saling bertemu—penuh ketegangan, saling menyimpan rasa kecewa dan dendam. Laras mungkin kecewa kenapa dia dinikahkan dengan Riko sehingga dia harus berpisah dengan Doni selama 4 tahun. Rosidah kecewa dengan Laras karena ketidakpeduliannya pada Ferdi, bapaknya.
Bahkan saat perawat datang dan menyuruh Rosidah membeli obat di luar—karena apotek rumah sakit sedang kehabisan stok—ingin rasanya ia meminta tolong pada Doni.
Namun, saat melihat tatapan tajam Laras, Rosidah mengurungkan niatnya. Dengan kaki yang pegal, ia akhirnya keluar rumah sakit untuk membeli obat yang jaraknya cukup jauh.
Jam sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi obat itu memang harus segera dicari. Di depan rumah sakit memang ada apotek 24 jam. Rosidah berjalan dengan perasaan kesal dan marah.
Belum pernah sebelumnya ia dibuat secapai ini.
Dulu saja, saat Laras melahirkan Melati, yang repot adalah Riko dan Ferdi—sementara dirinya hanya duduk diam, menunggu Laras.
Sesampainya di apotek, Rosidah membeli obat yang diresepkan dokter. Ternyata, harganya tidak murah.
Kekesalan Rosidah semakin membuncah. Namun, dengan enggan ia tetap membelinya.
Setelah itu, ia kembali ke rumah sakit.
Kakinya terasa sangat pegal. Meski malam hari, keringat dingin membasahi tubuhnya.
Ia lelah—lahir dan batin..
Ia marah pada Melati—kenapa anak itu harus ada di dunia?
Ia marah pada Riko—kenapa lelaki itu begitu rela mengurus Melati?
Ia marah pada Laras—kenapa anaknya sendiri tak peduli pada ayahnya?
Ia marah pada Doni—kenapa menantu itu tak sedikit pun memberi perhatian pada Ferdi, mertuanya?
Semuanya terasa melelahkan bagi Rosidah. Tubuhnya letih, hatinya jauh lebih lelah.
Sialnya, lift mati malam itu karena sedang ada perawatan berkala.
Dengan enggan, Rosidah menaiki tangga menuju lantai empat.
Seluruh tubuhnya sudah terasa sangat lelah.
Sesampainya di ruang perawatan kelas tiga, seketika muncul niat jahat dalam benaknya.
Ia masuk mengendap ke kamar kelas tempat Melati dirawat.
Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan.
Tampak semua orang tertidur. Melati pun tampak terlelap sendirian di ranjangnya.
Riko tidak terlihat di mana pun.
Dalam pikirannya, terdengar bisikan setan:
“Singkirkan anak pembawa sial itu.”
“Singkirkan anak pembawa sial.”
“Singkirkan anak pembawa sial...”
“Singkirkan anak pembawa sial...”
Bisikan setan itu terus menggema di telinga Rosidah.
Ia melangkah pelan, hati-hati, jangan sampai membangunkan siapa pun.
Langkahnya mendekati brankar tempat Melati tidur.
Bayangan Ferdi yang terkena strok ringan melintas di benaknya.
“Dia biang keroknya. Singkirkan.” bisik suara itu lagi—menghilangkan logika rosidah yang ada adalah marah benci lelah dan semua itu harus dilampiaskan pada melati.
Rosidah melihat gunting di samping lemari pasien Melati.
Perlahan, ia mengambilnya.
Dengan hati-hati, ia mulai menggunting selang infus berwarna merah jambu.
Jelas, itu adalah cairan obat. Jika dilepas, nyawa pasien bisa terancam.
“Krek.”
Suara pelan terdengar saat Rosidah memotong selang infus.
“Bagus... sebentar lagi anak pembawa sial itu akan hilang,” bisik suara setan di kepalanya.
Cairan obat mengalir, membasahi lantai.
Tubuh Melati tampak mengejang.
Rosidah buru-buru keluar, sebelum siapa pun menyadari perbuatannya. Begitu melangkah keluar dari ruang perawatan kelas tiga, hatinya mulai gelisah. Bayangan tubuh Melati yang menggelinjang terus menghantui pikirannya.
Ia ingin kembali... ingin menyelamatkan melati. Tapi ia takut. Takut jika perbuatannya ketahuan. Dan tentu saja—penjara sudah menantinya.
Rosidah berjalan dengan langkah lelah. Gelisah, takut, marah, dan kesal—semuanya bergantian menyerang batinnya. Kini, rasa penyesalan mulai merayap.
Ia mengetuk-ngetukkan kepalanya sendiri.
“Bodoh... bodoh...” gerutunya pelan.
“Bagaimana kalau aku ketahuan?”
“Kalau ketahuan... aku akan masuk penjara.”
“Ahhh... aku nggak mau masuk penjara!”
Pikirannya terus bergejolak. Rasa takut mulai menguasai dirinya. Tubuhnya gemetar. Langkahnya makin lunglai. Ia benar-benar kelelahan—lahir dan batin.
Dengan tangan gemetar, Rosidah membuka pintu. Pemandangan di dalam membuatnya terbelalak.
Laras dan Doni sedang asyik menonton video di ponsel. Sementara itu, tangan Ferdi terulur lemah ke bawah—sendoknya jatuh ke lantai. Sepertinya ferdi haus dan ingin minum melihat hal ini amarah yang sedari tadi dia tahan akhirnya meledak
“Kalian memang keterlaluan!” bentak Rosidah, kesal dan tak bisa lagi menahan emosi.
“Apaan sih, Bu?” jawab Laras ketus.
“Laras!” bentak Rosidah.
“Lihat bapak kamu! Bapak kamu mau minum, kenapa nggak ada yang bantuin?”
Amarah Rosidah akhirnya meledak.
“Kamu lagi, Doni!” bentaknya sambil menatap tajam.
“Kenapa kamu nggak bantu bapak mertua kamu, hah? Dari tadi kalian berdua nggak ada perhatian sama sekali ke bapak!”
Suara Rosidah pecah. Ia menangis, tak sanggup lagi menahan kecewa dan lelah di hatinya.
“Ibu!” bentak Laras.
Tiba-tiba ia memegang perutnya—wajahnya meringis kesakitan. Luka bekas operasi terasa tertarik saat ia membentak ibunya.
“Ibu... jangan pernah marahi Mas Doni lagi...” ucap Laras dengan suara bergetar.
“Aku nggak mau kehilangan Mas Doni lagi...” lanjutnya sambil terisak.
“Kapan aku menghalangi hubungan kalian, hah?”
“Kapannnnnnnn!!!!!!!!!?” bentak Rosidah, kesal—kesabarannya sudah habis.
“Bahkan saat pria bajingan ini meninggalkan kamu, lalu kembali lagi, pernah aku menghalangi hubungan kalian?”
“Kurang apa bapak kamu sama kamu, hah?”
“Kurang apaaaaaaaaa?!”
Rosidah berteriak sambil menangis. Suaranya menggema sampai terdengar keluar kamar,
Tangis yang pecah Rosidah benar-benar kecewa pada laras dan doni, sedari sore dia lelah sekali bulak balik mengurus administrasi dan barusan dia sudah melakukan tindakan berbahaya pada melati, emosi rosidah sudah tidak bisa dikendalikan, dan sepertinya dia hamir gila dengan semua ini.
“A... a... aku benci Ibu!” ucap Laras dengan tersengal, menahan rasa sakit di perut bekas operasinya—juga menahan sakit hati karena Doni, kekasihnya, dihina.
“Aku juga benci kamu, Larassssssss!” bentak Rosidah, suaranya melengking, penuh amarah dan luka yang meledak tanpa kendali.
Doni hanya diam. Ia menatap tajam ke arah pertengkaran ibu dan anak itu—tanpa berkata apa pun.
Sementara itu, tangan Ferdi terus terulur lemah dari ranjangnya. Ia tak mampu berbicara.
Air matanya mengalir deras. Ia melihat semuanya... tapi tak bisa berbuat apa-apa
“Ada apa ini, sih?” ucap seorang perawat yang masuk ke kamar perawatan.
“Jangan membuat keributan. Masih banyak pasien lain yang butuh istirahat,” sambungnya dengan nada kesal.
Doni segera berusaha menenangkan Laras, yang kembali ingin berbicara kepada ibunya.
Sementara itu, Rosidah terduduk di samping ranjang Ferdi—wajahnya muram, matanya sembab.
Ia menunduk, menatap tangan suaminya yang lemah, seakan ingin meminta maaf tanpa kata.
Dengan berurai air mata, Rosidah memberikan air minum pada Ferdi.
“Bapak, cepat sembuh... Ibu nggak kuat, Pak,” ucap Rosidah lirih, lalu mencium tangan Ferdi dengan penuh haru.
Entah kenapa, ingatannya tiba-tiba melayang ke beberapa tahun yang lalu.
Saat itu, Ferdi juga pernah sakit. Dan yang merawatnya bukan Laras, bukan Doni... tapi Riko.
Ya, Riko. Sesibuk apa pun, Riko selalu menyempatkan diri mengurus Ferdi—tanpa diminta, tanpa mengeluh.
Dulu, Rosidah hanya duduk di kamar perawatan, menunggu Ferdi.
Urusan administrasi, membeli obat, bahkan mengatur kepulangan—semuanya dilakukan oleh Riko.