Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANTARA DINGIN DAN RAPUH
Mobil hitam itu melaju pelan di tengah kota Jakarta yang baru saja tersiram hujan. Jendela-jendela berkabut, lampu jalan memantul di aspal basah. Di kursi penumpang, Maya duduk diam, tubuhnya tertutup jaket blazer Adrian yang tadi sempat ia kenakan kembali. Rambutnya dibiarkan tergerai, mata menatap keluar jendela, tapi pikirannya entah di mana.
Adrian mengemudi tanpa banyak bicara.
Tangannya stabil di kemudi, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi entah kenapa… dadanya terasa sempit.
“Jalanan sepi,” katanya akhirnya, mencoba mengusir kekakuan.
Maya hanya mengangguk. “Iya…”
Satu kata. Tapi suaranya serak.
Biasanya Adrian tidak akan peduli. Tapi malam ini… ada bagian kecil dari dirinya yang terusik. Dia melirik Maya dari sudut mata—wajah itu tenang, tapi lelah. Bukan lelah biasa. Tapi lelah karena kalah.
Dan dia tahu rasa itu. Terlalu tahu.
Mobil berhenti di depan kos Maya—bangunan dua lantai sederhana dengan pagar besi hitam yang sedikit berkarat. Adrian mematikan mesin, tapi tak langsung bicara.
Maya menoleh pelan. “Terima kasih, sudah… mengantar.”
Adrian mengangguk pelan, lalu menjawab, “Kamu perlu istirahat. Sidang pendahuluan lima hari lagi akan jadi tekanan besar.”
Maya menarik napas panjang.
“Aku akan siap,” katanya dengan nada getir.
Lalu, sebelum membuka pintu, ia menatap Adrian sejenak. “Tentang tadi… apa kamu akan tetap menepati janjimu?”
Adrian tidak langsung menjawab.
Pandangan matanya menembus mata Maya, dalam, gelap, penuh sesuatu yang tak terucap. Antara rasa bersalah dan kendali. Antara naluri profesional dan godaan pribadi.
“Aku akan lakukan bagianku,” jawabnya akhirnya, datar. “Dan kamu… sudah melakukan milikmu.”
Kalimat itu menggantung di udara seperti kabut tipis. Maya mengangguk pelan, lalu membuka pintu.
Namun sebelum ia melangkah turun, Adrian tiba-tiba memanggil.
“Maya.”
Ia menoleh, sedikit terkejut.
“Besok malam,” kata Adrian pelan, “aku akan jelaskan semua strategi persidangan. Detailnya. Data-data Reza, kemungkinan tuntutan balik, dan opsi alternatif. Tapi bukan di kantor. Terlalu formal.”
Maya menatapnya, bingung.
“Kita bertemu di mana?”
“Apartemenku,” jawab Adrian datar. “Jam delapan. Jangan terlambat.”
Maya mengerutkan kening, jelas ragu.
Namun Adrian menambahkan, dengan suara lebih rendah,
“Aku tidak akan menyentuhmu... bukan saat kita bicara hukum.”
Diam sejenak.
“Dan bukan kalau kamu tidak ingin.”
Maya tak menjawab. Tapi sorot matanya sedikit berubah. Ada campuran waspada, penasaran, dan sesuatu yang Adrian tidak berani tafsirkan.
Dia turun dari mobil, melangkah ke dalam bangunan. Adrian tetap di sana, duduk di balik kemudi yang sudah mati. Hujan kembali turun, tipis, seolah menyapu sisa-sisa keputusan yang terlalu kelam untuk dibicarakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Adrian bertanya dalam hati:
Apa yang sebenarnya aku cari dari perempuan itu?
Tubuhnya? Persidangannya?
Atau… luka yang sama?
“Dia bilang rela melakukan apa saja… tapi entah kenapa aku ingin tahu, siapa Maya sebenarnya sebelum semua ini?"
Adrian bersandar, mencoba mengalihkan pikiran. "Kenapa aku peduli? Aku sudah melihat ratusan klien, ratusan cerita putus asa. Tapi ekspresinya tadi… saat menyebut nama anak itu…"
"Dia takut… tapi tidak menyerah," pikir Adrian, ujung jarinya mengetuk pelan lututnya.
"Kebanyakan orang akan mundur setelah aku menolak keringanan, apalagi dengan syarat yang kuberikan. Tapi dia… tetap duduk di sini."
Jangan lupa like, subss dan terus ikutin cerita ini ya! Salam hangat dari maya~
kamu harus jujur maya sama adrian.