Terlahir dan tumbuh di pantai asuhan membuat Rani begitu mengharapkan kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan dari siapapun.
Pertemuan dengan sosok laki-laki yang bernama Arka, membuat Rani merasakan dekapan hangat dari seseorang yang berjanji akan menjadikannya ratu di hidupnya.
Namum, seiring waktu berjalan sikap Arka dan keluarga membuat Rani seakan tertekan. Tapi pernah mereka mengerti apa keinginan Rani, yang mereka tahu hanya uang saja.
Akankah kehidupan rumah tangga Rani akan berjalan dengan lancar? Atau sebaliknya.
Jangan lupa ikuti keseruan novel ini dan support.
Terimakasih 💙
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deva Melani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10-Dapat Mobil
Setelah keluar dari kamar Rani, Arka melangkah ke belakang rumah ia terduduk di bawah pohon dengan menopang dagu. Perasaan kalut memikirkan barang berharga yang hilang tiba-tiba membuat Arka kesal sekaligus pusing.
“Siapa yang berani-beraninya mengambilnya?” tanya Arka dengan diri sendiri, ia kebingungan kemana perginya barang berharganya.
Bu Sandra duduk di samping Arka yang terlihat kacau, entah apa gerangannya.
“kamu kenapa Ka? Keramik pakai di rusak segala. Kamu pikir pasang keramik murah!” gerutu Bu Sandra.
“Ma, semua barang berharga yang Arka beli selama ini aku simpan di dalam tanah. Tadi saat Arka mau mengambilnya tiba-tiba barang tersebut udah nggak ada,” ujar Arka putus asa.
Bu Sandra melotot mendengarnya. “Syukurin, itu karma namanya! Jadi anak jangan pelit sama orang tua, giliran hilang pusing sendirikan?”
“Lagian sebegitu nggak percaya banget sama Mama! Coba kalau Mama yang simpan nggak akan hilang. Emang barang berharga apa saja yang kamu simpan?”
Mata Arka mengereling mendengar ucapan Ibunya. Bukan tanpa alasan Arka menyembunyikannya, ia tahu betul seperti apa perangai buruk Ibunya yang hanya menghambur uang dan menjual apa saja agar tetap bermain ju*i.
“Simpan sama Mama? Sama saja memberikan secara gratis. Mama, pikir aku nggak tahu jika selama ini Mama diam-diam sudah menjualkan tanah yang dibeli Rani saat ia masih gadis. Mama, menjualnya karena berhutang gara-gara ju*i sialan itukan?”
Tuk..
Kepala Arka di pukul Bu Sandra dengan sapu yang bertengger dekatnya dengan kesal. Ia berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Arka. “Udah berani melawan kau sekarang, kau pikir siapa yang menghidupimu hingga sebesar ini ha? Sejak Bapakmu meninggal aku yang menghidupi kalian, jadi wajar jika aku sekarang menikmati masa tuaku. Tak usahlah berkata yang tidak-tidak, Arka!” ujar Bu Sandra berlalu pergi.
Arka terduduk diam tanpa menjawab ucapan Bu Sandra. Kehilangan barang berharganya membuat ia shock berat. Namun, terdengar getaran di saku celananya.
Saat menghidupkan tombol ponsel, terlihat Siska mengirimkan pesan kepadanya dibukanya aplikasi berlogo gagang telepon itu.
[Mas, jam berapa kamu ke sini? Jangan lama dong! Aku mau ajak Ibu sama Bapak sekalian jalan-jalan nih.] bunyi pesan Siska.
Arka mengusap wajahnya dengan kasar, decakan kesal masih saja terdengar. Ia begitu yakin bahwa selama ini tidak pernah memindahkan surat-surat berharga itu. Tapi secara tiba-tiba surat-surat itu tak ada di tempatnya.
Ting…
Bunyi pesan kembali masuk ke ponsel Arka yang hanya menatap lantai dengan pandangan kosong tanpa membalas pesan kekasih gelapnya.
[Mas, jangan di baca aja dong! Balas pesan aku, jam berapa kamu kesini?] bunyi pesan Siska bernada kesal.
[Iya sabar, sebentar lagi Mas kesana.] balas Arka cepat.
Setelah membalas pesan Siska, Arka berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Biasanya jika Arka akan keluar bersama Siska ia akan bernyanyi dan bersiul di dalam kamar mandi tapi tidak untuk hari ini. Ia begitu galau memikirkan kemana hilangnya harta karun yang selama ini ia beli diam-diam.
Setelah lima menitan Arka keluar dan melangkah ke arah kamar dengan lesu tak ada semangatnya. Selesai berpakaian Arka terlihat kebingungan mencari keberadaan kunci mobil. Bahkan kamar yang sudah seperti kapal pecah, berserakan dimana-mana.
“Ma.. Ma, kesini sebentar,” panggil Arka dari kamar tamu keras.
Mendengar panggilan Arka membuat Bu Sandra datang menghampirinya. Melihat kondisi kamar Arka seperti itu membuat Bu Sandra berdecak kesal.
“Ada apa sih, masih butuh Mama?”
Arka berdecak mendengar respon Ibunya. “Mama, lihat kunci mobil aku nggak?”
“Nggak, lagian yang pakai mobil cuman dong. Mungkin nyelip.”
“Nggak ada, Ma! Mama, lihat sendiri kamar saja sudah berantakan seperti ini,” ujar Arka bertambah kesal.
“Coba tanya sama Rani, mungkin dia yang mengambil.”
Ia berlalu dari kamar dan melihat Rani sedang duduk santai di bawah pohon mangga, tampak Rani tertawa sambil menatap layar ponselnya.
“Rani,” panggil Arka kencang.
Rani menoleh menatap ke arah suaminya dengan pandangan bingung. Ia tetap melangkah mendekat kearah Arka. “Ada apa, Mas?”
“Mana kunci mobil?” tanya Arka tak sabaran. Ia melirik jam yang melingkar di tangan waktu terus berjalan dan Arka sudah terlambat ke rumah Siska. Bahkan dari tadi ponselnya berdering tanpa henti.
“Loh kok nanya sama aku, Mas, kan kau yang pakai mobil selama ini,” sahut Rani santai.
“Udahlah, nggak usah ngeles pasti kamukan yang mengambil kunci mobil di kamar?”
“Jangan asal nuduh dong, Mas! Emang kau punya bukti aku yang mengambilnya? Sebenarnya wajar saja kalau aku mau mobil itu, kan waktu beli pakai uang aku semua nggak ada tuh uang kau.”
“Memang nggak punya bukti, tapi nggak mungkinkan kunci mobil bisa jalan sendiri!”
“Siapa tahu kunci mobil punya kakikan? Lagian kita juga nggak tahu bisa saja mobil itu di ambil atau di kasih sama orang lain.”
“Udahlah, nggak usah ngomong ngelantur. Sini kembalikan kunci mobil aku udah telat ni. Bisa marah temanku jika telat,” terang Arka.
“Nggak ada! Cari aja sendiri, lagian selama ini yang pakai mobilkan cuman situ.”
Arka kembali masuk kedalam rumah dan mencari kunci mobil yang tiba-tiba raib entah kemana, ia terduduk di kursi depan TV dengan keringat bercucuran. Deringan dari ponselnya terus saja berbunyi, bahkan jika dilihat sudah puluh kali Siska menghubunginya.
Akhirnya Arka menyerah mencari kunci mobil dan berlalu pergi ke garasi rumah. Tak ada pilihan lain selain pergi ke rumah Siska dengan sepeda motor.
Lagi dan lagi Arka di buat kesal karena tak menemukan dimana keberadaan sepeda motor yang selalu digunakan Rani saat masih bekerja.
Arka mengusap wajahnya dengan kasar dan memanggil Rani dengan keras.
“RANI!”
Mendengar namanya di sebut membuat Rani berlari ke asal suara, tampak di sudut ruangan Arka bersandar di tembok dengan mata yang tertutup. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya.
“Dimana motor yang kau pakai selama ini kenapa tidak ada di garasi”?
“Oh motor? Sudah aku jual, Mas, sama Mbak Yuyun kemarin,” ujar Rani enteng.
Aku terkejut mendengar ucapan Rani. Berani-beraninya ia menjual motor tanpa sepengetahuanku. “Kok main jual aja sih? Harusnya kompromi dulu dong! Emang kau kira beli motor gampang ha?”
“Terserah aku! Lagian aku yang belinya pakai uangku sendiri.”
“Iya Mas tahu, tapi setidaknya kau harus kasih tahu. Oh iya, bagi sedikit uang motor itu,” tutur Rani
“Walaupun pakai uang kau, tapi aku ini masih suamimu Ran! Cepat berikan Mas uang penjualan sepeda motor itu, nggak banyak cuman lima juta aja kok.”
Rani terkekeh geli melihat kepedean Arka.” Nggak ada! Seribu rupiah pun tak akan aku berikan untuk dirimu. Lebih baik pergi dari sini, bukankah teman-temanmu lebih penting?”
“Ayolah Ran, lima juta saja ya. Nggak banyak itu sayang, Mas lagi butuh banget ni. Lagian Mas sekarang nggak punya pegangan lagi mau beli rokok saja cuman ketengan sekarang.”
“Bodo amat aku nggak peduli!” ketus Rani berlalu pergi meninggalkan Arka yang mencak-mencak di depan pintu garasi.
Arka terduduk lelah sambil menatap motor butut peninggalan Bapaknya yang masih terparkir rapi di sudut garasi. Ia menelan ludah membayangkan reaksi Siska jika ia nekat datang tanpa mobil. Untuk memesan grabcar uang pun sudah menipis.
Berambung..
Next?