Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
*📝** Diary Mentari – Bab 12**
“Langit tak pernah ingkar memberi mentari, walau malam tak berhenti menyakitinya. Maka aku percaya, siapa pun yang bertahan akan mendapat sinar di waktu yang tepat.”***
...****************...
Semester pertama telah usai. Hari yang ditunggu akhirnya datang juga—hari pengumuman beasiswa. Dari awal aku sudah menanamkan dalam hati, jangan berharap terlalu banyak, karena dari sekitar 150 siswa di angkatanku, hampir semuanya terlihat lebih berani, lebih percaya diri, dan kelihatannya juga pintar-pintar. Tapi tetap saja, degup jantung ini tak bisa dibohongi.
Enam bulan di kelas yang sama sudah cukup membuatku mengenal siapa yang sekadar kenal dan siapa yang bisa jadi teman. Aku belajar banyak tentang dunia yang lebih luas daripada Kampung Karet. Tentang gaya bicara, gaya pakaian, cara mereka membawa diri. Tentang bagaimana anak-anak dari keluarga berada bisa makan enak setiap hari di kantin, atau punya sepatu yang berganti-ganti setiap minggu. Tapi aku juga belajar, bahwa di antara mereka, masih ada yang selevel denganku—yang hemat, yang sederhana, dan yang punya mimpi besar meski langkahnya terseok.
Aku masih tidak percaya diri dalam pergaulan. Aku tahu aku jutek. Banyak yang bilang begitu. Wajahku, kata mereka, susah diajak akrab. Tapi siapa peduli? Aku lebih percaya diri saat menyimak pelajaran, saat menyampaikan pendapat, atau saat menulis catatan rapi yang bahkan beberapa temanku rela fotokopi. Kalau soal dibully, aku sudah biasa. Rambutku yang panjang dan kaku dianggap kampungan. Warna kulitku yang gelap dan kasar karena sering terpapar matahari dan tidak pernah mengenal body lotion sering jadi bahan ejekan. Tapi aku punya sesuatu yang tidak mereka miliki: semangat yang tak pernah padam.
Tuhan masih memberiku senyuman yang manis lewat lesung pipi di pipi kananku. Itu cukup. Satu hal kecil yang membuatku merasa masih punya sesuatu yang indah dari tubuh ini. Tapi lebih dari itu, aku tahu aku punya tekad. Dan tekad itu, sejak dulu, tak pernah berhasil dipatahkan oleh siapa pun. Bahkan oleh keadaan.
Hari itu, ketika semua siswa berkumpul di lapangan untuk pengumuman beasiswa, aku menggenggam erat kertas di sakuku. Di situ ada jadwal les tambahan dari guru yang ingin aku ikuti kalau-kalau aku tidak dapat beasiswa. Tapi ketika nama pertama dipanggil, jantungku serasa ikut loncat.
Suasana lapangan terasa sunyi, padahal ratusan pasang kaki berdiri di sana. Ketika nama kedua dipanggil, harapanku sudah hampir padam.
Tapi saat nama ketiga disebut—“Kadek Mentari Intania, dari kelas X-A”—aku seolah tidak percaya dengan pendengaranku sendiri.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Mungkin ada yang bernama sama.
Tapi ketika seluruh kepala di kelas X-A menoleh padaku, aku baru sadar. Itu aku. Aku!
Kakiku bergerak pelan, lalu cepat, lalu pelan lagi. Langkahku terasa ringan sekaligus berat. Ringan karena bahagia, berat karena menahan tangis.
Aku berdiri di depan, menerima piagam dan amplop berisi surat keputusan beasiswa. Kepalaku menunduk, tapi aku tahu air mataku jatuh. Bukan karena hadiah. Tapi karena perjuangan selama ini akhirnya diakui. Bukan oleh semua orang, tapi cukup oleh semesta.
Aku kembali ke tempat berdiri sambil terus menunduk. Ada tepuk tangan kecil dari teman-teman. Bahkan salah satu temanku memelukku sambil berbisik, “Kamu pantas, Tar. Aku lihat kamu paling rajin nyatet, paling serius belajar.” Aku hanya bisa tersenyum.
Hari itu terasa seperti hari kemenangan. Tapi sesampainya di rumah, aku menyimpan amplop itu pelan-pelan. Lalu membantu ibu menyiapkan makan malam seperti biasa. Tidak aku ceritakan dulu. Aku ingin mencari waktu yang tepat.
Malamnya, saat semua sudah berkumpul di dapur, aku keluarkan amplop itu dan serahkan ke ayah. Ibu yang sedang menyiangi sayur menatapku tajam.
“Apa ini?” tanya Ayah pelan.
“Beasiswa sekolah, Pak,” jawabku pelan.
Ibu menoleh sejenak, lalu kembali menyiangi.
“Berapa nilainya?” tanya ayah lagi.
Aku menjawab jumlahnya. Tidak besar, tapi cukup untuk meringankan sedikit beban uang sekolahku. Dan itu cukup berarti buatku.
Ibu tetap diam. Tapi aku tahu, diamnya itu bukan berarti dia tidak bangga. Mungkin dia hanya bingung harus bersikap bagaimana. Dalam dunia ibu, semua yang tidak menghasilkan uang secara langsung dianggap tidak penting. Tapi malam itu, ketika aku menaruh piagam penghargaan di atas meja, aku melihat ibu berhenti sejenak menatapnya.
“Aku cuma mau sekolah, Bu. Nggak minta apa-apa,” kataku akhirnya.
Ibu tidak menjawab.
Tapi malam itu, sepulang dari sungai, aku dapati bajuku yang akan kupakai ke sekolah sudah dicuci bersih oleh ibu. Disetrika rapi. Disimpan di gantungan pintu kamarku.
Aku menatapnya lama.
Lalu tersenyum.
Mungkin ibu tidak mengucapkan kata-kata selamat.
Tapi dengan caranya sendiri, ia mengakuiku.
Aku tidur malam itu dengan hati hangat. Beasiswa bukan sekadar bantuan uang. Tapi pengakuan, bahwa anak kampung seperti aku juga bisa punya tempat di dunia yang luas ini. Bahwa perjuanganku tidak sia-sia. Bahwa kesabaran, kerja keras, dan mimpi yang disimpan rapi dalam lembaran diary bisa menjadi nyata.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku percaya—mimpiku bisa aku perjuangkan sendiri.
Aku, Mentari dari Kampung Karet, mulai percaya bahwa aku memang terlahir untuk menjadi cahaya. Bahkan kalau harus bertarung dengan gelap sekalipun.
“Aku mungkin datang dari tanah yang sunyi dan tubuh yang sering diremehkan,
tapi langkahku tidak pernah gentar.
Karena aku tahu,
cahaya yang paling terang justru lahir dari kegelapan yang paling pekat.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.