Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Kehilangan
Di tanah kubur yang sudah mengering dan tidak lagi terlalu timbul, Arsatya mengirimkan doa-doa untuk istrinya yang telah wafat. Dia bercerita panjang tentang hidupnya yang terasa berbeda sejak ditinggalkannya.
“Dulu aku tidak pernah mencurahkan isi hatiku padamu saat kau hidup, tapi sekarang ini yang bisa kulakukan. Bercerita padamu saat kau tidak lagi ada di sisiku, tapi bisakah kau mendengarkanku dari atas sana?” ucapnya sendu menempelkan dahinya pada batu nisan bertuliskan nama sang istri.
“Sayang, beritahu aku bagaimana caranya meminta maaf padamu atas semua kesalahanku? Aku yang tidak pernah menghargai keberadaanmu? Aku yang menyesali perbuatanku padamu. Maafkan aku,” ucapnya terisak-isak.
“Aku salah, aku berdosa besar padamu. Aku baru menyadari jika kau sangat berarti bagiku. Tidak ada wanita yang lebih baik darimu untukku, kau yang terbaik untukku kenapa aku menyia-nyiakan kamu.”
Di tangannya mengeluarkan sebuah laporan hasil pemeriksaan, “Kenapa kau tidak pernah jujur padaku sebelumnya?”
“Kenapa kau tidak pernah mengeluhkan rasa sakitmu padaku? Aku suami zalim padamu, maafkan aku,” rutuknya pada diri sendiri.
“Biarkan aku menanggung rasa sedihku, penyesalanku, kesepianku ini sendiri. Aku pantas merasakan rasa sakit hati ini di sisa hidupku karena telah menyakitimu.”
“Aku berjanji tidak akan mencintai–“
Jeder!
Gemuruh suara petir tiba-tiba datang bersautan, seakan tidak merestui apa yang akan terucap oleh pria yang sedang merasa kehilangan itu. Sautan petir yang menyambar ke bumi secara bertubi-tubi tidak membuat pria itu ketakutan.
Biarlah hujan deras menggguyur tubuhnya, biarlah petir bersaut-sautan. Baginya, hidup adalah sisa waktu yang diberikan Tuhan sampai Sang Kuasa menginginkan dia kembali.
Rasanya, jiwa itu telah pasrah untuk berpulang kapan saja. Dia tetap berada di tempat dan menciumi nisan sang istri yang telah tiada.
“Kamulah cintaku, kamu duniaku. Dunia ini tidak lagi berarti setelah kau telah tiada, aku kehilangan semua warna hidupku, hilang sudah semua cintaku karena telah kau membawa pergi bersamamu. Jemputlah aku sekarang juga, bawa aku bersamamu, Sayangku.”
Selembar laporan resmi berlogo rumah sakit kota diberikan Arsatya pada Suroyo, ayah mertuanya.
“Aku sudah menduga ada yang tidak beres dengan kematian istriku. Dia yang saat meninggal mengalami pendarahan yang keluar dari semua lubang di tubuhnya. Aku curiga dengan itu, Ayah. Sekarang aku mendapatkan catatan medisnya. Dia mengidap penyakit kanker otak stadium 4,” ucap sang menantu yang berdiri di depan ayah mertua yang duduk di ruang kerjanya.
“Ayah pasti tahu tentang ini,” ucapnya.
Ayah mertuanya diam dan dalam keadaan menunduk, dia tidak bisa menjawab apapun.
“Kenapa ayah sembunyikan ini dariku? Kenapa kalian menyembunyikan ini dariku?! Kenapa, Yah?! Sekarang aku benar-benar kehilangan dia!” teriak pemuda itu histeris.
“Kalau saja salah satu dari kalian ada yang memberitahukan ini padaku, pasti Amelia belum mati. Pasti dia masih ada di sini!” ucapnya menjambak rambutnya sendiri.
“Ayah bilang— yang kalian bilang jika itu hanya penyakit masa kecilnya? Tapi, apa semua ini? Kenapa tidak ada yang jujur padaku?!” ucap Arsatya melayangkan pukulan ke dinding terdekat dengannya. Dia menghempaskan punggungnya pada dinding ruangan itu membenturkan kepalanya beberapa kali.
Pria paruh baya itu beranjak dari tempat duduknya, dia merangkul menantunya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. “Memang itu penyakit masa kecilnya, tetapi dua tahun lalu, Amelia mengeluh sakit yang sama dan hasil pemeriksaan menunjukkan penyakitnya lebih parah daripada tumor di masa kecilnya. Amelia berulang kali berpesan pada ayah, tidak boleh mengatakan ini padamu atau dia akan membuatmu semakin membencinya karena menikah dengan wanita penyakitan.”
“Apa?!” Arsatya semakin dibuat tidak menyangka dengan penuturan itu.
“Di sisa-sisa hidupnya, setelah dokter mendiagnosis penyakitnya sudah parah dan kemungkinan tidak dapat disembuhkan lagi, dia minta ayah berjanji padanya untuk tetap merahasiakan penyakitnya darimu.”
“Tidak, ayah seharusnya tetap memberi tahuku,” kaya Arsatya.
“Berulang kali dokter mengatakan jika kehamilannya berisiko mengancam nyawanya, tapi dia tetap dalam tekadnya. Kamu tahu, dia sangat ingin melahirkan anak-anak untukmu karena jika benar dia meninggal nanti, kamu tidak kesepian sendiri,” ucap seorang ayah itu seraya menitikkan air matanya.
“Jadi, dia mengorbankan dirinya hanya demi anak? Ini tidak benar. Andai dia bisa egois pada dirinya sendiri, mungkin ini tidak akan terjadi,"
"Lalu, apa selama ini dia membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuhnya?” tanya Arsatya yang sudah sangat lemas mendengar semua kenyataan pahit tentang istrinya.
“Tidak, ayah dan ibu yang membawa dia rutin berobat. Kami rela melakukan apa saja untuknya, Nak, selama dua tahun ini. Kami bekerja keras dan seolah tidak pernah ada untuk mereka, terutama Anindya yang seringnya kami tinggalkan hanya karena kami butuh banyak biaya untuk pengobatan kakaknya,” pengakuan ayah dua orang putri itu.
Arsatya terisak-isak, “Kenapa ayah tidak pernah memberitahuku? Aku sangat menyesal, Yah.”
“Ayah bisa apa selain menuruti kemauannya, ayah selalu menuruti kemauannya karena ayah takut jika benar itu permintaan terakhirny. Jadi, sebisa mungkin ayah lakukan apapun demi putri-putri ayah. Kamu tahu, dia begitu mencintaimu, tetapi Amelia berkata pada ayah jika kamu tidak mencintainya, kamu mencintai orang lain dan orang–”
“Tidak, itu tidak benar! Aku tidak mencintai siapa pun. Aku hanya mencintainya, aku mencintai istriku, Yah. Amelia, hanya dia yang kumau, tidak ada yang lain!” bantah Arsatya seketika.
“Kembalikan Amelia padaku, Yah. Aku mohon, adakah yang bisa mengembalikan dia padaku, beri aku kesempatan untuk mengatakan aku sangat mencintainya dan tidak akan membiarkan dia pergi,” Arsatya menangis di pelukan ayah mertua.
“Ikhlaskan, Nak. Sekarang ada Anindya di hidupmu, ayah harap dia bisa menjadi penagganti Amelia.”
“Tidak bisa, Yah. Aku mau minta maaf pada ayah karena sampai saat ini aku tidak bisa menerima siapa pun untuk menggantikan Amelia. Aku tidak bisa," ujar pria itu menggelengkan kepalanya.
Sungguh, melupakan Amelia adalah suatu pantangan bagi Arsatya apalagi jika harus menggantikan posisi wanita itu di hatinya. Dia tidak akan sanggup melupakan wanita yang sudah mencintainya begitu besar.
“Ayah menikahkanmu dengan putri ayah bukan tanpa alasan. Kamu pasti akan mengerti suatu hari nanti,” ujar Suroyo menepuk punggung menantunya itu.
“Ayah, apa yang bisa aku lakukan pada dia. Aku tidak bisa mencintai dia, putri kedua ayah. Aku minta maaf.”
“Tapi kalian membutuhkan dia, Anindya gadis yang baik, Nak. Ayah pernah berdosa besar padanya, sering ayah mengecewakannya, seolah mengabaikannya. Ayah selalu tidak ada saat dia membutuhkan ayah. Anindya sudah hilang percaya pada ayah dan ibunya, hanya kamu harapan baru dia, Nak.”
Arsatya mencium tangan ayah mertuanya, “Mohon maaf, Yah. Aku benar-benara tidak bisa.”
Suroyo mengusap bahu menantunya itu, menghela napas panjang, “Baiklah. Tungguhlah sampai anak-anakmu tidak membutuhkan dia, jika waktu itu tiba dan kamu masih belum bisa menerimanya. Maka, kembalikan Anindya pada ayah. Jangan sampai kamu membuatnya jatuh cinta padamu atau dia akan sulit melepaskanmu. Mengerti, Nak?”
“Jangan pernah buat dia menaruh harapan padamu jika kamu tidak bisa menerimanya. Tapi ayah harap, cobalah sekali saja kamu membuka hati untuknya jika kamu mau membuka lembaran baru bersamanya atau tidak usah sama sekali,” nasihat Suroyo.
“Tidak ayah, Satya tidak akan membukanya sama sekali. Biarkan duka ini selamanya ada di hati Satya sebagai hukuman mengabaikan dia yang telah tiada,” jawab Arsatya.
...🦋🦋🦋...
Bucinnya telat, bucin setelah ditinggal mati :(
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano