Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Ponselku bergetar di meja saat aku selesai sarapan. Nama Raka tertera di layar, dan aku segera menjawab panggilan itu.
"Dhis," suara Raka terdengar serak. "Kamu bisa datang ke kantor sekarang?"
Aku mengerutkan kening, mencoba menebak apa yang sedang terjadi. "Ada apa, Mas? Kamu kenapa?" tanyaku khawatir.
Dia terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku hanya... butuh kamu di sini. Tolong datang, ya."
Nada suaranya membuatku tidak bisa menolak. Aku segera bersiap, mengenakan pakaian rapi, dan melangkah keluar rumah. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Mas Raka pernah mengatakan kalau dirinya mengalami sindrom couvade. Mungkin saja, suamiku itu membutuhkan kehadiranku karena hal tersebut.
Ketika aku sampai di kantor Raka, suasananya terlihat seperti biasa. Para karyawan sibuk dengan tugas masing-masing, tapi aku tetap merasa ada ketegangan di udara. Aku melangkah menuju ruangannya, mencoba menenangkan diri.
Namun, sebelum aku sempat mengetuk pintu, aku melihat seorang wanita yang sangat familiar. Clara. Dia berdiri tidak jauh dari pintu ruang kerja Raka, dengan sikap yang terlihat terlalu santai untuk seorang bawahan.
Dari mana aku tahu rupa Clara? Tentu saja aku mencari tahu tentang bawahanku itu. Sejak memutuskan kembali ke pelukan suamiku. Aku tidak akan pernah melepaskannya, bahkan bila mantan cinta pertamanya kembali. Apalagi hanya karena serangga kecil yang tampaknya memandang remeh kehadiranku.
Dia menyadari kehadiranku, dan aku bisa melihat perubahan di ekspresinya. Tatapan terkejutnya berubah menjadi senyum tipis yang tidak tulus. Dia memandangku dengan tatapan menilai.
"Oh, ini pasti Mbak Gendhis," katanya dengan nada ramah yang terdengar palsu.
Aku hanya tersenyum kecil. "Benar. Kamu Clara, kan?"
Dia mengangguk. "Iya, saya Clara, asisten Pak Raka."
Aku menatapnya tajam, berusaha tetap tenang. "Terima kasih sudah membantu suami saya selama ini. Tapi, saya dengar belakangan ini Raka sering merasa tidak enak badan. Apa kamu tahu sesuatu tentang itu?"
Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku, tapi cepat-cepat memasang wajah polos. "Oh, saya tidak tahu, Mbak. Mungkin Pak Raka terlalu lelah sehabis cuti panjangnya."
Ada nada sindiran yang terpatri di setiap ucapannya. Aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Aku mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke ruang kerja Raka tanpa memedulikan Clara lebih lama.
Di dalam ruangan, Raka sedang duduk di kursinya, terlihat pucat dan lelah. Begitu melihatku, dia langsung berdiri dan menghampiriku.
"Dhis," katanya pelan, menggenggam tanganku. "Kamu datang."
Aku menatapnya penuh khawatir. "Kamu kenapa, Mas? Kamu terlihat tidak sehat."
Dia menggeleng. "Aku baik-baik saja sekarang. Cuma... aku ingin kamu berada di sampingku."
Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, Clara masuk tanpa mengetuk. "Pak Raka, saya ingin—"
Aku memotong ucapannya dengan nada tegas. "Clara, bisakah kamu keluar? Saya perlu bicara dengan suami saya secara pribadi."
Clara terkejut dengan nadaku, tetapi dia tidak punya pilihan selain menurut. Aku menunggu sampai pintu tertutup sebelum menoleh ke Raka.
"Dia sumber masalahnya, kan?" tanyaku langsung.
Raka terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Dia terlalu sering mendekat. Aku sudah menolak berkali-kali, tapi dia tidak menyerah. Dan setiap kali dia ada di dekatku, aku merasa mual. Kurasa baby tidak ingin aku berdekatan dengan Clara. Belum lagi, bau parfumnya membuatku muntah."
Aku menghela napas panjang. "Baik. Kalau begitu, biar aku yang mengurusnya. Kamu tunggu di sini.
Aku keluar dari ruangan Raka dan langsung mendatangi Clara yang masih berdiri di luar. Beberapa karyawan lain memperhatikan, tapi aku tidak peduli. Biarlah aku dikatakan sebagai istri yang posesif. Pada kenyataannya, perempuan ini bisa mengancam rumah tanggaku.
"Clara," panggilku.
Dia menoleh dengan ragu. "Iya, Mbak Gendhis?"
Aku melipat tangan di depan dada, menatapnya tajam. "Mulai sekarang, aku ingin kamu menjaga jarak dari suamiku. Jika ada urusan pekerjaan, lakukan sesuai prosedur, dan jangan pernah mencoba mencari alasan untuk mendekati dia di luar itu."
Clara tampak terkejut, tapi dia mencoba membela diri. "Saya hanya menjalankan tugas, Mbak."
"Tugas seorang asisten bukan mendekatinya tanpa alasan," potongku tegas. "Aku tidak ingin ada insiden seperti ini lagi. Jika kamu tidak bisa bersikap profesional, mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk bekerja di tempat lain. Jangan lupa untuk mengetuk pintu bila ingin masuk ke ruangan suamiku."
Beberapa karyawan yang mendengar mulai berbisik-bisik, tapi aku tidak peduli. Yang penting sekarang adalah melindungi Raka dan keluargaku. Clara akhirnya pergi dengan wajah kesal, dan aku kembali masuk ke ruangan Raka.
Begitu pintu tertutup, Raka langsung mendekatiku.
"Terima kasih, Dhis," katanya dengan nada lembut.
Aku tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan sebagai istrimu. Seharusnya, kamu bisa lebih tegas padanya."
Dia menatapku dalam-dalam, lalu tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. "Aku sudah mengusirnya, tetapi dia bersikeras mendekatiku. Sudahlah, Sayang. Aku butuh kamu, Dhis."
Sebelum aku sempat menjawab, dia menunduk dan menciumku dengan lembut. Aku terkejut, tapi tidak menolak. Aku tahu ini caranya menunjukkan betapa pentingnya aku baginya.
Setelah beberapa saat, dia melepaskan ciumannya dan menatapku dengan penuh rasa sayang. "Tiba-tiba aku ingin kita melakukannya di kantor," ucap Raka membuat mataku membulat
Sontak aku menggeleng seraya menolak keinginannya. "Kita lakukan di rumah, selesaikan pekerjaanmu, Kak. Lalu, kita pulang," tolakku.
Dia tersenyum, lalu kembali memelukku erat. Aku bisa merasakan ketulusan dan rasa sayangnya yang begitu besar. "Baiklah, tapi jangan jauh dariku."
Mas Raka menarik diriku untuk duduk dipangkuannya. Tentu saja dia mencari kesempatan dengan beberapa kali mengecupku. Akan tetapi, aku berusaha untuk menahan dirinya agar tidak melakukan hal lebih.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..
sekarang bisa bilang begitu ga mau menikah, belum ketemu aja kamu sama pawang yg klop, bakal lebih bucin nanti.