Adinda Khairunnisa gadis cantik yang ceria, yang tinggal hanya berdua dengan sang ayah, saat melahirkan Adinda sang bunda pendarahan hebat, dan tidak mampu bertahan, dia kembali kepada sang khaliq, tanpa bisa melihat putri cantiknya.
Semenjak Bundanya tiada, Adinda di besarkan seorang diri oleh sang ayah, ayahnya tidak ingin lagi menikah, katanya hanya ingin berkumpul di alam sana bersama bundanya nanti.
Saat ulang tahun Adinda yang ke 17th dan bertepatan dengan kelulusan Adinda, ayahnya ikut menyusul sang bunda, membuat dunia Adinda hancur saat itu juga.
Yang makin membuat Adinda hancur, sahabat yang sangat dia sayangi dari kecil tega menikung Adinda dari belakang, dia berselingkuh dengan kekasih Adinda.
Sejak saat itu Adinda menjadi gadis yang pendiam dan tidak terlalu percaya sama orang.
Bagaimana kisahnya, yukkk.. baca kisah selanjutnya, jangan lupa kasih like komen dan vote ya, klau kasih bintang jangan satu dua ya, kasih bintang lima, biar ratingnya bagus😁🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon devi oktavia_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di saat Adzan shubuh berkumandang, Adinda terbangun dari tidur nya, dia bangkit dari tempat tidur empuk itu, walau matanya masih berat, namun panggilan sang pencipta sudah datang, dia selalu ingat pesan ayahnya, jangan pernah lalai dari ibadah dan bangun pagi itu bagus untuk kesehatan, selain itu pintu rezeki itu di buka saat pagi hari.
Adinda melangkah kedalam kamar mandi, untuk membersihkan dirinya, sekaligus untuk berwudu', setelahnya Adinda melaksanakan sholat shubuh dengan khusuk dan tidak lupa murojah al quran'an.
"Lus, Lusi bangun, sudah subuh." panggil Adinda, membangunkan Lusi.
"Hmmm... Iya." sahut Lusi serak bangun tidur, dia menggeliat, dan membuka matanya.
Adinda meninggalkan kamar tidur Lusi, dia turun ke dapur untuk membuat sarapan, semenjak ayahnya meninggal baru hari ini dia mulai membuat sarapan sendiri.
Saat sampai di dapur, dadannya berasa sesak mengingat mendiang sang ayah, karena setiap pagi ayahnya lah yang selalu membuatkan sarapan untuk mereka berdua, namun sekarang, suasana sudah berbeda, sanga ayah sudah tidak lagi ada bersamanya.
"Ayah. Dinda janji akan jadi anak yang baik, dan Dinda akan mengikuti permintaan ayah, klau Dinda ngak boleh sedihnya berlarut larut, sekarang Dinda ngak sedih lagi Yah, Dinda berusaha dengan ikhlas menerima takdir yang di tetapkan oleh Tuhan." gumam Adinda dengan mata yang berkaca kaca.
Adinda membuat sarapan simple aja, karena di kulkasnya sudah kehabisan stok bahan makanan, dia hanya membuat nasi goreng dan ceplok telur, karena hanya itu yang tersisa.
"Pagi cantikk.... Wangi amat, masak apa sih." tegur Lusi yang baru turun dari kamarnya.
"Aku cuma bikin nasi goreng, soalnya ngak ada stok masakan lagi." sahut Adinda yang sibuk menata sarapan di atas meja.
"Nanti pulang sekolah kita belanja mingguan." ujar Lusi. Dia juga lansung membuat dua gelas susu coklat, dua kelas air putih dan membawanya kemeja makan.
"Ok lah." sahut Adinda sambil mengangguk.
"Yuk sarapan, abis itu beberes, baru kita berangkat sekolah." ujar Adinda.
"Siap nyonya!" seru Lusi, mengeluarkan bangku dan sarapan dengan tenang.
Kring....
Kring....
Sedang enak enak sarapan, dua gadis cantik itu di kagetkan dengan bunyi hp Adinda.
[ Assalamualaikum.... ]
....
[ Alhamdulillah, sehat om ]
....
[ Hari ini mau ke sekolah om, paling sore baru ada di rumah ]
...
[ Baik om, nanti sore datang aja om, Dinda tinggu ]
.....
[ Wa'alaikum salam. ]
Dinda lansung meletakan kembali hpnya, dan melanjutkan sarapan.
"Siapa Din?" Kepo Lusi.
"Katanya teman kantor ayah, mau datang kesini sama bosnya." jawab Adinda.
Lusi hanya mengangguk anggukan kepalanya tanda mengerti, memang setalah pak Anton meninggal, teman teman dan rekan kerja pak Anton datang kerumah ini, namun belum bisa bicara sama Adinda, dan meraka tau Adinda masih dalam masa berkabung.
Selesai sarapan, mereka lansung beres beres rumah, hanya sekedar menyapu alakadarnya, karena siang nanti juga ada orang yang bersih bersih rumah Adinda datang, dia datang cuma seminggu tiga kali.
"Mau bawa motor apa mobil Din?" tanya Lusi.
"Mobil aja deh, soalnya kita mau belanjakan." sahut Adinda mengunci pintu rumahnya.
"Ok." sahut Lusi lansung memanaskan mobil.
"Lus, kamu ngak pulang?" tanya Adinda, dia tidak enak sama Lusi, karena selama Adinda di tinggal sang Ayah, Lusi tidak pernah pulang kerumah mamanya.
"Ngak, aku mau di sini aja sama kamu." sahut Lusi males.
"Nanti tante nyariin kamu loh, aku jadi ngak enak." seru Adinda.
"Ngak akan, mereka lagi liburan ke singapur," sahut Lusi.
"Haaa... Serius, kamu ngak di ajak." kaget Adinda yang tidak tau.
"Sirius lah, masa bohong, emang siapa yang bisa menolak permintaan anak manja itu, aku di ajak sih, tapi aku nolak, ngapain ikut sama mereka, yang ujung ujungnya mereka akan cuekin aku, mending di sinilah sama kamu." sahut Lusi menatap nanar ke taman rumah Adinda.
"Sabar ya, ada aku, kita akan selalu bersama, jadi ngak usah sedih sedih lagi, dimana ada kamu di situ pasti ada aku." ujar Adinda merangkul bahu sahabatnya.
"Makasih ya, cuma kamu dan ayah yang selalu bisa ngertiin aku, tanpa aku bilang pun kalian pasti tau aku lagi sedih atau senang." balah merangkul Adinda.
"Hh.... Ya udah yuk, kita berangkat, emang mau pelukan terus kaya teletubis." kekeh Adinda yang tidak mau paginya di awali dengan suasana sedih.
"Ck, ngak romantis." cibik Lusi melepaskan pelukannya, dan berjalan ke arah mobil.
"Kamu pikir aku cewek apaan, mau romantis romantisan, aku masih suka pisang loh, walau sudah di hianati, ngak akan pindah jalur ke apem." kekeh Adinda.
"Kecil kecil sudah mesum, ajaran siapa sih." kesal Lusi.
"Kecil kecil gini sudah bisa buat anak kecil loh." ujar Adinda makin menjadi, membuat Lusi ingin mengarunginya.
"Ini nih, akibatnya bergaul sama Rini yang sedeng itu, otak kamu ikut terkontaminasi." dengus Lusi." sebenarnya hatinya senang, karena Adinda sudah kembali ke setelan awal, sudah ceria lagi, tidak seperti seminggu lalu, yang hanya mengurung diri di dalam kamar, dan tidak berhenti menangis.
Puas bercanda ngalor ngidul, akhirnya akhirnya mereka sampai juga di parkiran sekolah, di sana sudah di tunggu oleh ke dua sahabat mereka.
"Kalian lama banget sih." gerutu Sita.
"Biasalah, kita sekarang nginep dulu di rumah." canda Adinda.
Teman temannya senang melihat Adinda yang sudah ceria lagi.
"Wahhh.... Udah ganti profesi sekang." ujar Sita meladeni candaan Adinda.
"Lansung ke kelas apa kemana dulu?" tanya Rini.
"Ke kelas ajalah," sahut Adinda yang memang masih males untuk kemana mana.
"Ok." sahut mereka serempak
"Din, gue turut berduka cita ya, kami kerumah loe waktu itu, tapi loe di dalam kamar aja, kami ngak mau ganggu loe, jadi kami pulang lagi." ucap salah satu teman kelas Adinda.
"Iya, makasih yah udah datang, dan maaf ngak bisa nemuin kalian waktu itu." ujar Adinda tidak enak hati.
"Satai aja Din, kami ngerti kok."
"Loe mau lanjut kuliah dimana abis ini Din? jadi ngambil beasiswa ke kota?" tanya teman temannya.
"In syaa Allah jadi, sayang juga ngak di ambil." sahut Adinda, sebenarnya dia ingin kuliah di sini, biar ngak jauh dari makam orang tuanya, namun dia males untuk ketemu dengan dua manusia yang ngak ada otak itu.
"Iya sih, kan itu kampus ternama loh, gue aja tea masuk sana aja ngak tau deh bisa keterima, padahal gue pengen banget kuliah disana." oceh temannya.
"Mudah mudahan keterima, jadi kita bisa ketemu lagi." do'a Adinda.
"Aamiin..." sahut mereka serempak.
"Ya... Kita pisah dong." rajuk Rini.
"Ngak pa apa, nanti kita bisa ketemu lagi kok, pas liburan aku kan pulang kesini, dan kita juga bisa telponan atau vicall." ujar Dinda, menenangkan sahabatnya.
"Iya sih, tapi kan pengeng kumpul bareng terus." cibik Sita.
"Klau gitu kenapa ngak kuliah di tempat yang sama.!" usul Lusi.
"Ngaco kamu Lus, uang dari mana aku, di sini aja aku lagi cari cari kampus terbuka loh, biar bisa kerj sambil kuliah." cibik Sita, yang memang di antara mereka Sita termasuk teman kurang mampu dari mereka.
"Semangat sayang, pasti kamu bisa, nanti kita bisa kumpul lagi, aku akan sering sering pulang sama Lusi." ujar Adinda menenangkan, andai dia punya uang lebih, pasti dia mau membantu temannya itu, semetara dia juga belum tau nasib hidupnya yang sebatang kara, walau dia punya tabungan, tapi dia juga bisa bertahan hidup sampai tamat kuliah, bisa jadi dia nanti juga akan cari kerja part time seperti temannya, tapi dia masih termasuk beruntung karena dapat beasiswa.
Bersambung....