Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Pertemuan Kembali.
Zenaya terduduk seorang diri di kantin rumah sakit. Kejadian tadi membuat gadis itu mengurungkan niatnya untuk makan siang di luar bersama Grace, apa lagi Grace ikut dalam tim dokter yang menangangi Reagen.
Zenaya tampak melamun. Dia hanya menyibukkan dirinya dengan mengutak-atik makanan yang tersaji di meja.
Pikirannya mendadak melanglang buana, melintasi jarak sepuluh tahun ke belakang di mana rasa sakit akan perlakuan pria membuatnya enggan berurusan dengan mahluk itu lagi.
"Reagen baru saja pergi ke New York, Zen. Kabarnya dia akan menetap di sana."
Zenaya masih mengingat betul perkataan Grace sepuluh tahun lalu, beberapa saat setelah pengambilan ijazah. Zenaya pikir, hidupnya akan jauh lebih tenang setelah pria itu menjauh. Meski nyatanya tak setenang itu, setidaknya dia tidak perlu lagi melihat wajah Reagen. Namun, apa yang terjadi sekarang? Apa yang semesta inginkan hingga dia tanpa sengaja berpapasan dengan pria itu lagi?
Zenaya mengeratkan genggaman tangannya pada sendok yang dia gunakan. Kemarahan gadis itu kembali muncul. Ada sepercik gemuruh yang timbul dalam batinnya.
...***...
Grace baru keluar dari ruang operasi bersama Dokter John untuk menemui keluarga Reagen yang sedang menunggu.
"Keluarga Walker?" panggil Dokter John sembari menghampiri salah seorang dari mereka.
Jennia, ibu Reagen, segera berdiri dari kursinya, diikuti oleh sang suami, Craig, dan anak sulungnya, Noah.
"Putra saya, bagaimana keadaan putra saya, Dok?" tanya Jennia parau. Jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di pipi wanita cantik itu.
"Operasi berjalan dengan sukses. Pendarahan di otaknya berhasil dihentikan. Namun, akibat benturan hebat yang dia alami membuat sebagian syaraf yang menghubungkan tubuh bagian kanannya mengalami penurunan fungsi." Dengan sangat berhati-hati Dokter John memberi penjelasan terkait kondisi Reagen saat ini.
Kaki Jennia melemah, dia nyaris terhuyung jatuh jika saja Noah tidak segera menopangnya.
"Tapi kalian tidak perlu khawatir, dengan fisioterapi dia akan bisa kembali beraktifitas seperti biasa. Sekarang kami akan segera memindahkannya ke ruang ICU untuk diobservasi." Dokter John dan Grace tersenyum ramah demi menenangkan hati keluarga Reagen. Keduanya pun undur diri meninggalkan tempat.
Noah memapah sang ibu untuk kembali duduk. "Rey akan baik-baik saja, Ma," ucapnya menenangkan.
Jennia memeluk sang putra sulung, sementara Craig bersandar pada dinding seraya memejamkan matanya. Pria paruh baya itu sama sekali tidak menyangka kejadian nahas akan langsung menimpa anak sulungnya yang baru saja pulang ke rumah.
Mereka baru saja bertemu. Craig bahkan belum sempat memeluk putra bungsunya tersebut.
...***...
Zenaya baru saja selesai bersiap-siap untuk pulang ke rumah, saat Grace masuk ke ruangannya tanpa permisi.
"Zen," panggil Grace. Matanya menelisik raut wajah Zenaya yang terlihat biasa-biasa saja.
Zenaya memakai mantel hangatnya lalu menjawab panggilan sang sahabat dengan gumaman tak jelas. Udara malam akhir-akhir ini semakin dingin. Maklum saja, mereka akan memasuki musim salju sebentar lagi.
Grace menutup pintu ruangan Zenaya dan bersandar di sana. Dengan sangat berhati-hati wanita itu pun berkata, "aku baru saja selesai operasi."
"Hmm." Lagi-lagi Zenaya hanya bergumam menanggapi perkataan Grace.
Grace mendengkus samar. "Dia baru saja kembali dari New York dan mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan ke rumah."
Zenaya terdiam. Tidak ada sedikit pun niat untuk menanggapi ocehan sahabatnya, meski tanpa sadar gadis itu memasang kedua telinganya baik-baik.
"Mobil yang dikendarainya hancur tertimpa Dump Truck saat berusaha mendahuluinya. Atap mobil ringsek hingga menyebabkan tubuhnya terhimpit selama beberapa saat." Grace menghentikan perkataannya sejenak untuk melihat reaksi Zenaya.
"Otaknya mengalami pendarahan. Syaraf pada tubuh bagian kanannya pun mengalami penurunan fungsi. Presentasi keberhasilannya hanya 50:50." Grace kembali bersuara sembari menunggu. Namun, Zenaya tetap diam di tempat. Wanita itu memang tampak tersentak, tetapi dia mencoba menahan raut wajahnya agar tetap terlihat biasa.
"Untuk apa kamu beritahu kondisi pasienmu yang tidak aku kenal." Kata-kata itulah yang akhirnya keluar dari mulut Zenaya.
Suasana mendadak hening. Grace memandang sahabat baiknya itu dalam-dalam guna mencari sebongkah dusta di wajah cantiknya.
Grace paham tidak mudah menghilangkan rasa sakit yang sudah tertanam sekian lama. Apa lagi jika rasa sakit itu didapat dari orang tercinta. Namun, mau sampai kapan?
"Zen." Grace kembali bersuara.
"Aku ingin pulang, Grace." Zenaya melangkah dan berhenti tepat di hadapan Grace yang masih setia bersandar di pintu.
"Kamu ... tidak mau menem–"
"Jangan bicara macam-macam Grace, aku sama sekali tidak kenal dan tidak peduli pada pasienmu itu!" jawab Zenaya cepat.
"Dia belum sadarkan diri. Saat ini dia sedang berada di ruang ICU." Entah mengapa Grace ingin sekali Zenaya mengetahui kondisi pria itu.
Zenaya terdiam lalu mulai mengembuskan napasnya perlahan.
Grace bisa mendengar jelas suara getaran pada embusan napas Zenaya.
"Pria itu tidak ada hubungannya denganku, Grace, jadi kamu tidak perlu repot-repot memberitahukan kondisinya! Bukankah seharusnya kamu satu-satunya manusia yang paling paham akan diriku?"
Grace mendengkus kesal. "Ya, aku memang paling paham soal kamu, karena itu aku tidak ingin melihatmu terus-terusan terjebak di masa lalu, Zen! Lihat bagaimana hidupmu sekarang!"
Zenaya melebarkan senyumnya. "Memangnya apa yang salah dari hidupku? Hidupku selama ini baik-baik saja."
"Kamu terluka, Zen!"
"Ya, aku memang terluka dan kamu malah membuat luka itu semakin basah karena telah membicarakannya!" teriak Zenaya seketika.
Grace tersentak saat melihat setetes air mata lolos membasahi pipi sahabatnya itu. Pertahanannya goya, dia membiarkan Zenaya menerobos pergi meninggalkan ruangan.
"Bukan itu maksudku, Zen," gumam Grace lirih.
Zenaya melangkah terburu-buru sembari sibuk menghapus jejak-jejak air matanya. Ada setitik kekecewaan yang hadir memenuhi batin gadis itu terhadap sahabat baiknya. Kekecewaan yang datang hanya karena seorang pria yang dilihatnya selama beberapa detik itu.
"Brengsek, berhenti mengalir, sialan!" umpat Zenaya.