Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Harus Bicara!
Seruni sampai di kontrakannya. Ia pulang dengan banyak sekali yang bertanya kemana saja dia seharian ini. Tentu lingkungan gang sempit tempat Seruni tinggal itu geger melihatnya pulang dengan keadaan yang cukup berantakan. Seruni sendiri tak mau menjawab apapun. Sekarang dia hanya meringkuk, memeluk lututnya, menatap penuh Kebencian pada jam tangan yang tergantung di dinding.
"Oh Tuhan, demi engkau aku sungguh membencinya. Aku benci sekali padanya!" Seruni meraung, menutup telinganya sendiri dan berteriak tertahan dengan airmata merebak seketika.
Kalau dulu Seruni berharap bisa bertemu dengan Bima walau hanya sekali, maka dia bersumpah akan membuat Bima membayar semua kesakitan yang telah diterimanya selama ini. Masa depan yang suram karena tak ada lagi kehormatan yang harus dia jaga sebagai perempuan, kehidupan luluh lantak yang mengantarkannya menjadi seorang pemandu karaoke. Meski, Bima bukan satu-satunya orang yang membuat hatinya terluka parah, tapi di antara banyak orang itu, hanya Bima yang paling mengukir kesan mendalam.
Setiap Seruni ingat kejadian di balik bilik bambu, Bima yang merengkuhnya, Bima yang mengambil kesuciannya lalu meninggalkannya sendirian dengan tubuh telanj*ng, maka hati Seruni seperti kembali dihantam batu berukuran besar.
"Kenapa aku tidak membunuhnya saja tadi?" Seruni mulai menyalahkan dirinya sendiri.
Dendam, kebencian, semua terasa nyata tapi ada satu hal yang tak bisa Seruni tampik ketika mata mereka saling bertemu pandang beberapa saat yang lalu. Di antara benci dan dendam itu, terselip rindu dan perasaan aneh yang seketika membuncah menjadi satu. Karena itulah Seruni tak sanggup meraih pistol di selipan pinggang Bima tadi, padahal dia ingin sekali membunuhnya, padahal Seruni ingin sekali Bima merasakan sakitnya.
Seruni akhirnya beranjak, pergi ke kamar mandi. Di sana, di depan kaca yang tergantung dengan tubuhnya yang basah di siram air barusan dengan luka yang masih tertempel kasa, Seruni memperhatikan tubuhnya yang indah. Hanya Bima yang pernah menyentuh tubuh itu sedemikian dalam.
"Aku ingin sekali membalasmu, Bima! Ingin sekali aku mengoyak dadamu yang bidang itu agar kau tahu bagaimana rasanya jadi aku! Mengapa kau begitu tega kepadaku? Kini kau kembali, melihatmu rasanya aku seperti sedang menyiram tubuhku sendiri dengan lelehan besi panas. Mengapa kita harus kembali bertemu setelah sekian lama, susah payah aku menguburmu bersama luka yang pernah kau beri?" Seruni berseru lantang di dalam kamar mandinya setelah itu ia hanya bisa menangis tersedu-sedu hingga lelah, keluar dari kamar mandi dan tertidur dengan hanya memakai handuk sementara angin berhembus dari jendelanya yang terbuka, membuat tubuhnya kian dingin sedingin hatinya sendiri.
***
Malam hari di penghujung sepuluh malam, Seruni terbangun. Ia masih memakai handuk dan rambutnya masih terasa lembab. Seruni bergegas menyeret tubuhnya yang lelah untuk menghidupkan lampu, lalu menutup jendela kamarnya.
Seruni juga segera membuka handuk, meraih gaun pendek ketat yang langsung membentuk indah tubuh cantiknya. Ia segera memakai make up tipis, mengeringkan rambut dengan hairdryer lalu menguncirnya menjadi ekor kuda.
Seruni juga mengeluarkan sepatu tingginya, ia menatap cermin, tubuh molek idaman setiap lelaki, pujaan pelanggan yang tak sedikit ingin menjadikannya simpanan. Tubuh yang nyatanya telah habis direnggut oleh lelaki berwibawa di hadapan semua orang.
Berjalan Seruni menyusuri lorong gang dengan suitan nakal pemuda-pemuda pengangguran. Seruni hanya menatap mereka tanpa ekspresi. Begitu dingin, tapi membuat mereka semakin penasaran. Tak sedikit di antara mereka menjadikan Seruni sebagai objek fantasi khayalan.
Seruni sampai di tempat kerja, bermaksud hendak pergi ke room tempat pelanggan sudah menunggu tetapi seseorang menarik lengannya. Seruni refleks jadi menoleh sesaat, lalu matanya terbelalak kala pandangan mereka kembali bertemu dengan jarak yang sedekat ini.
"Seruni ... "
"Aku sudah bilang jangan menampakkan wajahmu di depanku lagi!"
"Aku tidak bisa, Seruni, sebelum aku meluruskan semua yang pernah terjadi dulu di antara kita."
"Seno Ari Bimantara, aku hanya ingin kau melepaskan aku sekarang dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" Seruni menggeram, sementara tubuhnya masih begitu menempel kepada Bima yang nampak tampan dengan kaus hitam yang membungkus tubuh atletisnya.
"Tidak, Seruni. Mari bicara baik-baik," sahut Bima tak gentar.
"Aku akan berteriak, Bima! Aku akan berteriak agar para algojo di tempat ini menyeret kau sampai mati keluar dari tempat ini!" ancam Seruni.
Namun, saat Seruni melihat beberapa staff keamanan nampak menunduk hormat kepada Bima dan tampak membiarkan mereka, Seruni berdecak kesal.
"Kau pikir dengan jabatan yang kau punya aku akan sama seperti mereka yang tunduk saja kepadamu? Cukup dulu aku tunduk kepadamu, Bima! Cukup dulu aku menurut hingga rela menanggalkan bajuku dan membiarkan kau menikmatinya lalu kau tinggalkan aku bak seonggok sampah! Sekarang jangan harap! Jangan harap kau ..."
Tak sempat Seruni menyelesaikan kalimatnya yang bernada kebencian sebab Bima sudah mengangkat tubuhnya, menggendong dan membawanya ke dalam room kosong yang sudah ia pesan sejak sore tadi kepada pengelola kelab malam itu.
"Maaf, Seruni, kita betul-betul harus bicara," ujar Bima dengan Seruni yang masih berontak.