MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Untuk Andika
Mobil itu melaju menjauh dari mansion dengan kecepatan tinggi, membelah kegelapan malam yang terasa semakin mencekam. Di dalam kabin, bau parfum Black Opium yang tadi terasa menggoda kini bercampur dengan aroma keringat dingin dan kepanikan.
Andika mencengkeram kemudi dengan tangan gemetar. Setiap kali ia menginjak pedal gas, tulang keringnya yang dihantam tongkat Rahayu berdenyut hebat, mengirimkan rasa nyeri yang menusuk hingga ke ubun-ubun.
"Aduh... sakit banget, Mas. Punggungku... rasanya ada yang patah," rintih Santi sambil terisak. Ia menyentuh bahunya yang mulai membiru.
"Perempuan itu benar-benar gila! Dia itu monster, bukan manusia!"
"Diamlah, San! Kepalaku mau pecah!" bentak Andika kasar. Rasa sakit di rusuknya membuat napasnya pendek-pendek.
Ego Andika yang hancur berkeping-keping kini berubah menjadi kebencian yang mendarah daging. Ia tidak pernah menyangka bahwa wanita yang selama ini ia injak-injak harga dirinya bisa memberikan perlawanan sebrutal itu. Rahayu telah mempermalukannya di depan selingkuhannya sendiri.
"Ini semua gara-gara kamu yang minta masuk ke rumah itu!" geram Andika, melimpahkan kesalahannya pada Santi.
"Kok aku? Mas yang bilang dia cuma wanita buta yang nggak bisa apa-apa! Sekarang lihat hasilnya!" balas Santi tidak terima, meski suaranya masih parau karena tangis.
Saat mobil mendekati kawasan perumahan elit yang menuju ke arah mansion pribadi milik Papa Rio tempat yang selama ini menjadi simbol kekuasaan ayah mertuanya Andika mendadak menginjak rem dengan keras.
Santi tersentak ke depan. "Kenapa berhenti? Rumahku masih jauh di depan, Mas."
"Turun," ucap Andika dingin, matanya menatap lurus ke depan tanpa menoleh.
"Apa? Mas, ini tengah malam! Dan badanku sakit semua!"
"Aku bilang TURUN!" suara Andika meninggi, penuh penekanan yang tak terbantahkan.
"Kalau Papa Rio atau anak buahnya melihatku mengantarmu pulang dengan kondisi kita yang babak belur begini, habis aku. Dia bisa menghancurkan sisa-sisa perusahaan keluargaku dalam semalam."
Andika tahu persis bahwa Papa Rio adalah sosok yang sangat protektif terhadap Rahayu, meskipun ia sendiri jarang berada di rumah.
Membawa Santi pulang ke lingkungan yang dipantau oleh keluarga besar Rahayu adalah tindakan bunuh diri.
"Mas tega? Aku begini karena membelamu!"
Santi menatap Andika dengan tidak percaya.
"Cukup, Santi! Cari taksi atau apa pun. Aku harus memikirkan cara agar Papa Rio gak tahu kejadian malam ini sebelum aku sempat menyusun rencana balas dendam," ujar Andika sambil membukakan kunci pintu mobil secara otomatis.
Dengan perasaan dongkol yang meluap, Santi keluar dari mobil sambil tertatih-tatih. Ia berdiri di pinggir jalan yang sepi, menenteng sepatu hak tingginya yang kini terasa seperti beban. Begitu pintu tertutup, Andika langsung tancap gas, meninggalkan Santi sendirian di kegelapan.
Andika memukul setir mobil dengan tangan kirinya.
"Sialan kau, Rahayu! Kamu pikir kamu udah menang? Aku akan membuatmu memohon ampun karena udah berani menyentuhku."
Andika membelokkan mobilnya kembali menuju arah mansionnya bersama Rahayu. Pikirannya kalut, namun satu hal yang pasti. Ia butuh obat-obatan di laci kamar dan tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang remuk.
"Rahayu pasti udah tidur," gumamnya menenangkan diri.
"Dia hanya wanita buta. Setelah ledakan emosi tadi, dia pasti kelelahan dan meringkuk di pojok kamar."
Namun, saat mobilnya memasuki gerbang depan, pemandangan di depannya membuat jantung Andika mencelos. Mansion itu tampak seperti benteng logam yang dingin. Lampu-lampu taman padam, menyisakan kegelapan pekat yang hanya sesekali dibelah oleh sambaran petir di langit.
Andika turun dari mobil dengan langkah pincang. Hujan mulai turun, awalnya hanya rintik-rintik, namun dalam sekejap berubah menjadi badai yang menderu. Ia segera berlari menuju pintu utama, merogoh saku untuk mengambil kunci.
Kunci itu tidak mau berputar. Andika mengerutkan kening, lalu mencoba menempelkan ibu jarinya pada pemindai biometrik di gagang pintu.
"Access Denied," bunyi suara robotik yang dingin dari mesin tersebut.
"Apa-apaan ini?"
Andika menggedor pintu.
"Rahayu! Buka pintunya! Ini aku!"
Ia berlari ke pintu samping, lalu ke pintu dapur. Semuanya sama. Bahkan jendela-jendela besar yang biasanya bisa digeser kini telah tertutup rapat oleh rolling shutter baja otomatis yang baru disadari Andika telah terpasang beberapa bulan lalu dengan alasan keamanan tambahan.
Hujan kini turun begitu lebatnya hingga pandangan Andika kabur. Angin kencang menghantam tubuhnya yang hanya terbalut kemeja tipis yang sudah robek. Rasa nyeri di rusuk dan tulang keringnya semakin menjadi-jadi karena suhu dingin yang menusuk tulang.
"RAHAYU! JANGAN GILA! BUKA PINTUNYA!" teriaknya parau, kalah telak oleh suara guntur yang menggelegar.
Melalui celah kecil di jendela lantai atas, ia melihat siluet Rahayu. Istrinya itu berdiri tegak di balik kaca, memegang sebuah perangkat kendali kecil di tangannya. Rahayu tidak menoleh, tidak juga tampak kasihan.
Ia hanya berdiri di sana, menatap kosong ke arah kegelapan seolah-olah ia sedang menikmati simfoni penderitaan Andika yang terdengar lewat sistem CCTV luar.
Andika mencoba kembali ke mobilnya untuk berlindung, namun sial baginya karena terburu-buru dan panik tadi, ia menjatuhkan kunci mobil yang sulit dicari di tengah guyuran air hujan.
Terpaksa, pria yang biasanya tampil necis itu kini meringkuk di bawah emperan teras. Air hujan tetap mencipratinya, membuat tubuhnya menggigil hebat.
Demam mulai menyerang, denyut di tulang keringnya terasa seperti dihantam palu setiap detiknya.
Harga dirinya sudah tidak ada lagi. Ia merasa seperti anjing yang diusir pemiliknya di tengah badai.
Setiap kali kilat menyambar, Andika bisa melihat bayangan dirinya di pantulan kaca pintu pucat, kotor, dan hancur. Ia yang tadinya berencana menyusun balas dendam, kini hanya bisa memohon agar pagi segera datang. Namun, di dalam mansion yang hangat, Rahayu tersenyum senang.
Fajar menyingsing dengan warna abu-abu pucat yang tertutup sisa-sisa awan mendung. Suara hujan telah berganti menjadi tetesan air dari atap yang jatuh secara ritmis ke lantai marmer teras.
Andika terbangun dengan tubuh yang kaku luar biasa setiap inci ototnya terasa seperti ditarik paksa, dan kepalanya berdenyut seirama dengan detak jantungnya yang lemah.
Terdengar suara klik mekanis yang halus. Pintu utama yang semalam terasa seperti dinding benteng yang mustahil ditembus, kini terbuka sedikit.
Andika masih meringkuk dengan kemeja basah yang menempel dingin di kulitnya ketika ia mendengar suara langkah kaki yang ringan. Ia berusaha membuka mata, namun kelopaknya terasa berat karena panas demam yang membakar.
"Mas... Mas Andika?"
Suara itu lembut, begitu jernih, dan penuh nada kecemasan yang seolah tulus. Andika mendongak dengan susah payah. Di ambang pintu, Rahayu berdiri dengan gaun rumah yang rapi, wajahnya tampak segar seolah kejadian brutal semalam hanyalah mimpi buruk yang ia lupakan.
"Ra... Rahayu..." suara Andika parau, nyaris hilang. Ia terbatuk keras, membuat dadanya yang cedera terasa seperti ditusuk belati.
"Ya ampun, badan Mas panas sekali!" Rahayu berlutut di sampingnya. Tangannya yang halus menyentuh dahi Andika.
"Ayo masuk, Mas."
Andika hanya bisa pasrah saat Rahayu membantunya berdiri. Pria itu tertatih-tatih, menyandarkan seluruh beban tubuhnya pada pundak wanita buta yang semalam baru saja menghajarnya habis-habisan.
Di dalam ruang tengah yang hangat, Rahayu mendudukkan Andika di sofa beludru. Ia menyelimuti suaminya dengan kain wol tebal dan pergi ke dapur sebentar.
Tak lama kemudian, aroma harum kopi yang baru diseduh menyeruak, bercampur dengan aroma kayu manis yang menenangkan.
"Ini, minum dulu supaya badanmu hangat," ujar Rahayu sambil menyodorkan cangkir keramik ke tangan Andika yang masih gemetar.
Andika menyesap kopi itu. Rasa hangatnya mengalir turun ke tenggorokan, memberikan sedikit tenaga pada tubuhnya yang remuk.
Ia menatap wajah Rahayu yang tenang mata yang tampak kosong namun seolah mampu melihat langsung ke dalam rasa malunya.
Mungkin semalam dia hanya membela diri, pikir Andika dalam benaknya yang mulai kacau karena demam.
Ego Andika yang sempat hancur kini mulai mencari pembenaran. Ia merasa sedikit tersentuh melihat perhatian Rahayu. Ia lupa sejenak pada siluet dingin di balik jendela semalam.
"Mas, maafin aku soal tulang keringmu," ucap Rahayu pelan sambil mengompres dahi Andika dengan air hangat.
"Aku sangat takut semalam. Aku merasa terancam, jadi aku mengayunkan tongkat itu tanpa arah. Aku gak nyangka akan sekeras itu."
Andika mengangguk lemah, mencoba tersenyum meskipun bibirnya pecah-pecah.
Rahayu tersenyum sangat tipis sebuah senyuman yang tidak mencapai matanya.
"Iya, Mas. Kita berdua salah. Tapi tenang saja, Mas istirahat aja dulu sampai Mas pulih."
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏