"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Luka Lama dan Salep Ajaib
Ruang VIP Rumah Sakit itu hening, hanya terdengar bunyi beep berirama dari monitor jantung. Bau antiseptik dan dinginnya AC menyelimuti ruangan.
Rian duduk di kursi penunggu, memandangi Pak Teguh yang terbaring pingsan dengan selang infus di tangan. Wajah tua itu bengkak, bibirnya pecah, dan tulang rusuknya mungkin retak.
Dokter bilang butuh minimal 3 bulan untuk pulih total. Tapi Rian tidak punya waktu sebanyak itu.
Pelan-pelan, Rian mengeluarkan tabung kecil seukuran lipstik dari sakunya. Tabung itu berwarna perak futuristik tanpa merek.
[Salep Regenerasi Sel (Level 1)]
Rian membuka tutupnya. Gel bening berwarna biru muda terlihat di dalamnya, memancarkan aroma mint yang menyegarkan.
"Maaf ya, Pak. Mungkin agak dingin," bisik Rian.
Ia mengoleskan gel itu ke lebam di wajah dan lengan Pak Teguh. Ajaib. Begitu menyentuh kulit, gel itu meresap hilang seperti air di gurun pasir. Warna ungu lebam perlahan memudar menjadi kemerahan, lalu samar-samar kembali ke warna kulit asli hanya dalam hitungan detik.
Saat Rian sedang fokus mengobati, Pak Teguh mulai bergerak gelisah dalam tidurnya. Alam bawah sadarnya menyeretnya kembali ke memori satu tahun yang lalu.
(Flashback - POV Pak Teguh)
Parkiran Bank Swasta, Jakarta Pusat. Setahun lalu.
Matahari siang itu serasa berada tepat di atas ubun-ubun. Aspal parkiran menguap panas. Aku berdiri tegak dengan seragam satpam, meski punggungku rasanya mau patah karena encok kambuh.
Di pojokan pos, ada seorang anak muda kurus—Rian—sedang memakan nasi bungkus lauk orek tempe. Dia tukang parkir liar di sini. Sebenarnya kehadirannya dilarang manajemen, tapi aku membiarkannya. Kenapa? Karena dia rajin. Dia tidak cuma minta duit, dia bantu nasabah menyeberang, dia rapikan motor sesuai merek, dia bahkan memayungi ibu-ibu saat hujan.
Tiba-tiba, suara klakson mobil mewah memecah siang.
TIIINNN!
Sebuah sedan hitam mengkilap berhenti. Pemiliknya, seorang pria muda necis dengan jas mahal, turun sambil marah-marah.
"Heh! Tukang parkir gembel! Sini lo!" bentak pria itu.
Rian yang sedang makan tersedak, buru-buru meletakkan nasinya dan lari mendekat. "Iya, Pak? Ada apa?"
"Liat ini!" Pria kaya itu menunjuk goresan tipis di pintu mobilnya. "Lo gores mobil gue pas parkir tadi kan?! Ngaku lo!"
"Demi Allah nggak, Pak. Saya tadi arahin Bapak dari jauh. Saya nggak pegang mobil Bapak," jawab Rian sopan tapi gemetar.
"Halah, alasan! Tangan lo kotor! Ganti rugi! Ini cat impor, biayanya 5 juta! Kalau nggak gue laporin polisi biar lo busuk di penjara!"
Rian pucat. Uang dari mana? Sehari dapat 50 ribu saja sudah syukur.
Aku melihat anak itu menunduk, siap menerima nasib. Pemandangan itu... entah kenapa menusuk hatiku.
Aku teringat Andra, anak kandungku sendiri. Umurnya sama dengan Rian. Tapi Andra kerjaannya cuma minta duit buat top up game atau judi. Kalau dimarahin, dia malah banting pintu. Andra nggak pernah mau kerja kasar. "Malu, Pak," katanya.
Tapi Rian? Anak ini kerja di bawah matahari, dimaki orang, tapi tetap sopan. Dia punya tulang punggung yang kuat, sesuatu yang tidak dimiliki anakku.
Tanpa sadar, kakiku melangkah maju. Aku berdiri di antara si Bos Kaya dan Rian.
"Maaf, Pak," suaraku tegas. "Saya saksi matanya. Anak ini nggak nyentuh mobil Bapak. Goresan itu sudah ada waktu Bapak masuk gerbang tadi. Saya liat sendiri di CCTV pos."
Padahal aku bohong. CCTV pos mati total sejak bulan lalu.
Pria kaya itu melotot ke arahku. "Eh, Satpam tua! Lo bela gembel ini? Lo tahu siapa gue? Gue bisa bikin lo dipecat hari ini juga!"
Jantungku berdegup kencang. Aku butuh pekerjaan ini. Cicilan motor Andra belum lunas. Tapi melihat mata Rian yang ketakutan... aku melihat bayangan anak muda yang sedang berjuang sendirian melawan dunia yang jahat.
Kalau bukan aku yang bela dia, siapa lagi?
Aku melepas topi satpamku, menatap mata pria kaya itu.
"Silakan pecat saya, Pak. Tapi jangan fitnah anak yang lagi cari rezeki halal. Bapak orang kaya, mobil bapak banyak. Anak ini cuma punya harga dirinya. Jangan diinjak."
Pria itu terdiam. Mungkin kaget melihat keberanianku, atau malu karena mulai banyak orang menonton.
"Cih! Dasar orang-orang miskin mental keroyokan!" Pria itu meludah ke aspal, lalu masuk mobil dan tancap gas.
Hening.
Rian menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Pak Teguh... Bapak kenapa ngelawan dia? Nanti Bapak kena masalah..."
Aku menepuk bahu kurusnya. Keras dan tulang belulang.
"Yan, inget ya. Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin nyali. Selama kamu bener, jangan nunduk."
Lalu aku merogoh saku, mengeluarkan uang 20 ribu. "Nih, beli es teh. Nasi lu udah dikerubutin semut tuh."
Rian menerimanya sambil menangis.
Saat itu aku membatin: Andai saja anakku punya mental sepertimu, Yan. Bapak rela mati sekarang juga.
(Present Time - Kembali ke Ruang RS)
"Pak... Pak Teguh..."
Suara panggilan itu menarik Pak Teguh dari alam mimpi. Matanya terbuka perlahan. Silau.
Hal pertama yang ia rasakan adalah... tidak sakit.
Seharusnya badannya remuk redam setelah dihajar di pasar malam tadi. Tapi kenapa badannya terasa ringan? Rasa nyeri di rusuknya hilang, hanya menyisakan rasa gatal samar di kulit.
Ia menoleh. Dilihatnya Rian sedang menutup kembali tabung perak kecil itu.
"Rian...?" Pak Teguh mencoba duduk. Ia kaget sendiri karena bisa bangun tanpa rasa sakit. "Lho? Kok saya bisa bangun? Bukannya tadi saya..."
Ia meraba wajahnya. Bengkaknya kempes.
"Jangan banyak gerak dulu, Pak. Obatnya baru meresap," kata Rian sambil tersenyum santai, lalu menuangkan segelas air.
"Obat apa yang kamu pake, Yan? Perasaan tadi rusuk Bapak mau patah..." Pak Teguh masih bingung.
"Obat impor, Pak. Teman saya ada yang kerja di riset militer," bohong Rian lancar. "Harganya lumayan, tapi ampuh."
Pak Teguh terdiam menatap Rian. Anak kurus tukang parkir itu kini berubah. Pakaiannya bagus, auranya tenang, dan tatapannya... tatapan seorang pemimpin.
"Yan... kenapa kamu tolong Bapak?" tanya Pak Teguh lirih. "Utang Bapak 50 juta... itu bukan uang sedikit. Bapak nggak tahu cara gantinya. Nyawa Bapak pun kalau dijual nggak laku segitu."
Rian duduk di tepi ranjang. Wajahnya serius.
"Ingat waktu di parkiran bank setahun lalu, Pak? Waktu Bapak pasang badan buat saya di depan orang kaya itu?"
Pak Teguh mengangguk pelan.
"Waktu itu Bapak bilang: Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin nyali. Kata-kata itu yang bikin saya bertahan hidup sampai sekarang," kata Rian.
"Dan sekarang, saya lagi butuh orang yang punya nyali itu, Pak. Saya lagi bangun usaha. Duit saya banyak, tapi musuh saya juga bakal banyak. Saya nggak butuh preman bayaran. Saya butuh orang jujur yang berani pasang badan buat yang bener."
Rian mengulurkan tangannya.
"Pak Teguh, mau nggak jadi Kepala Keamanan di perusahaan saya? Gajinya 15 juta per bulan. Utang Bapak lunas, anggap aja bonus tanda tangan kontrak. Tugas Bapak cuma satu: Pastikan nggak ada orang jahat yang ganggu dapur kita."
Pak Teguh menatap tangan itu.
Ia teringat anaknya sendiri yang justru menjerumuskannya ke hutang.
Lalu ia menatap Rian, anak orang lain yang justru mengangkat derajatnya kembali.
Air mata tua menetes lagi. Pak Teguh menyambut tangan Rian, menggenggamnya erat dengan tangan kasarnya.
"Yan... eh, Bos Rian. Sisa hidup Bapak ini... Bapak wakafkan buat jaga kamu. Siapapun yang mau nyentuh kamu, harus langkahi mayat Bapak dulu."
[Ting!]
[Loyalitas Target (Teguh): MAX (Unbreakable)]
[Karakter Teguh telah berevolusi menjadi: "The Loyal Guardian"]
[Poin Keamanan Wilayah meningkat drastis.]
Rian tersenyum lebar.
"Istirahat, Pak. Besok pagi kita pulang. Ada preman pasar yang harus kita kasih pelajaran sopan santun."
Di luar jendela rumah sakit, fajar mulai menyingsing. Tim Rian kini sudah lengkap.
Rudi si Manajer Operasional.
Bu Ningsih si Dewa Dapur.
Pak Teguh si Perisai Besi.
Warung Nasi "Bahagia" siap dibuka. Dan dunia belum siap menghadapi apa yang akan terjadi.