Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Atap Sekolah Saksi Bisu
Larisa berlari sekencang mungkin, jantungnya berdegup tak beraturan, mencemaskan Keira yang dibawa pergi Violeta. Setibanya di ruang Bimbingan dan Konseling (BP), ia segera menemui Javier, guru yang akrab disapa Jav. Tanpa basa-basi, ia menyampaikan kondisi Keira yang mengkhawatirkan.
Jav, memahami situasi, segera bergegas. Kekhawatiran akan hal yang tidak diinginkan memacu langkah mereka menaiki tangga darurat menuju atap. Namun, sesampainya di ujung, pintu besi itu tertutup rapat. Tanpa pikir panjang, Jav mendobraknya.
Pemandangan di hadapan mereka seketika membekukan darah.
"Hentikan!" Jav berteriak.
Tepat saat itu, sebuah bayangan melesat.
WUSS!
Sebuah jeritan menusuk udara, "Aaakkhh!" Suara Audrey perlahan menghilang ditelan angin.
Dalam sekejap, Audrey tergelincir dan terjun bebas dari atap gedung lantai tiga. Keira, dengan refleks yang terlambat, berusaha meraih tangannya, namun hanya ujung jari yang bersentuhan. Sekejap kemudian, Keira menepi ke tembok pembatas, menyaksikan tubuh Audrey tergeletak di lantai dasar, bersimbah darah.
Keheningan sesaat di atap pecah oleh riuh teriakan histeris dari lantai bawah. Keira hanya bisa menatap iba. Ada penyesalan yang tajam menusuknya, meski di satu sisi terasa sedikit lega karena ancaman itu berakhir. Namun, ia tak pernah benar-benar ingin hal ini terjadi.
Semua mata, mata Violeta menatapnya, menghakiminya. "Lo ... lo udah celakain Audrey," tuduh Violeta gagap, wajahnya pucat pasi.
Keira mengerutkan kening, rahangnya terkatup rapat, menolak tuduhan itu. Namun, sebelum ia sempat membela diri, Pak Jav segera menyela, suaranya dipenuhi otoritas yang mendesak.
"Sudah cukup! Sekarang kita turun. Lihat bagaimana keadaan Audrey," perintah Jav, mencoba menenangkan para siswinya.
Jav dan beberapa siswi, termasuk Violeta, segera menuruni anak tangga dengan langkah terburu-buru, sebagian besar masih terguncang hebat.
Keira masih berdiri mematung di bibir atap, tatapannya terkunci pada keramaian di bawah. Suasana di lantai dasar semakin riuh, kerumunan mulai mengerubungi Audrey. Kemudian, para guru dan tim medis yang baru tiba mendongak, tatapan mereka langsung tertuju padanya. Seketika, tatapan menghakimi itu membuatnya ciut.
Hukuman fisik atau sanksi sekolah tidak pernah menakutinya. Yang membuatnya luruh adalah pikiran tentang masa depan di tubuh ini dan perasaan ayah Marvin.
Saat membayangkan kekecewaan di mata ayah Marvin, tubuh Keira bergetar hebat, kakinya terasa mati rasa. Ia telah berjanji pada Keira untuk membahagiakan dan menjaga ayahnya.
"Bagaimana kalau ayah kecewa padaku?" bisiknya, gemetar.
Larisa, yang sedari tadi mengamati gejolak batin Keira, segera mendekat. "Tenanglah. Ini kecelakaan, Keira. Aku akan membantumu, aku akan jadi saksi di depan mereka."
Keira menatap Larisa, mencari kepastian. 'Benar, ini kecelakaan. Aku gak perlu khawatir, kan?'
Ia memaksa dirinya untuk menegakkan tubuh, diikuti anggukan perlahan yang meyakinkan diri sendiri.
Mereka berdua memutuskan untuk ikut turun. Sepanjang langkah menuruni tangga, pikiran Keira semakin kalut. Dulu, ia bisa menghabisi nyawa seseorang tanpa penyesalan, tanpa guncangan. Ini sangat berbeda. Mereka hanyalah siswa, labil, dan mungkin penuh tekanan batin yang mendorong mereka menjadi perundung.
Keira tidak punya niat mencelakai. Ia hanya ingin mereka sadar. Namun, ia tidak bisa mengabaikan tragedi yang baru saja terjadi.
Setibanya di lantai dasar, tubuh Audrey sudah dinaikkan ke dalam mobil ambulans. Saat melihat mobil itu menjauh, sebuah kelegaan melandanya.
"Syukurlah," gumam Keira lirih, hanya untuk didengarnya sendiri. Audrey, syukurlah, tidak sampai meregang nyawa.
Kelegaan hati Keira segera goyah, sirna ditelan rasa mencekam. Semua mata kini tertuju padanya, tajam dan menuduh. Tatapan mereka seolah berteriak tanpa suara, memvonis bahwa dirinyalah, penyebab Audrey terjatuh.
Keira tahu, kali ini situasinya tidak akan berakhir dengan mudah.
Langkah kaki yang mendekat membuatnya mengangkat pandangan. Sosok pria paruh baya dengan pakaian yang rapi datang menghampiri. Keira meyakini, dari aura formalnya, pria itu adalah Kepala Sekolah.
Keira memperhatikan setiap detail tubuh itu dengan dingin. Pria itu bertubuh pendek dan gempal, perpaduan yang seketika membuatnya ingin tertawa miris. Kulit wajahnya memang tampak glowing dan terawat sempurna, menunjukkan fokus yang berlebihan pada penampilan luar.
Kepala Sekolah. Gelar itu tiba-tiba terasa begitu kosong. Dari penilaian cepat Keira, pria di depannya ini hanyalah sebuah gelar yang dikenakan oleh seseorang yang gagal. Perilaku dan perawakan Kepala Sekolah ini jelas tak mencerminkan wibawa atau ketegasan.
"Apa yang terjadi? Kenapa Audrey sampai jatuh dari atas?" tanya Jordan pada semua orang yang ada di sana.
Sebelum Keira sempat membuka mulutnya, Violeta berlari mendekat dan menunjuk ke arahnya. "Dia! Dia yang sudah dorong Audrey dari atas."
"Bohong!" sela Larisa. "Keira gak nglakuin itu pak."
Violeta semakin mendekat ia memepet Larisa, matanya melirik tajam mengintimidasi. "Kami semua liat, kok. Iya kan?"
Violeta bertanya pada anak buahnya yang lain dan mereka menunduk mengiyakan.
"Sialan! Kalian menuduhku? Jelas-jelas kalian yang mau menghabisi ku," ujar Keira geram.
Wajah Kepala Sekolah, Jordan tampak semakin marah.
"Cukup!" Jordan menyentak, suaranya tinggi. "Nak Keira, ikuti saya ke ruangan sekarang juga. Kita akan putuskan hukuman apa yang tepat untukmu."
Keira hanya menyeringai tipis, lalu berbalik tanpa ragu untuk mengikuti Jordan. Ia tidak takut pada ruangan mana pun, apalagi ruangan yang dipimpin oleh pria gembul yang lemah.
Namun, sebelum langkahnya mencapai lift, dua sosok lain bergerak maju. Larisa meraih lengan Keira, dan Jev berdiri menghadang Jordan.
"Tunggu dulu, Pak Jordan," Larisa angkat bicara, suaranya cemas. "Ini tidak adil! Bapak tidak tahu keseluruhan ceritanya! Keira tidak mungkin ..."
Jev menyambung dengan nada lebih tajam. "Kami melihatnya, Pak. Audrey yang memulai, dia yang mendekat ke tepi. Bapak tidak bisa langsung menuduh Keira tanpa bukti!"
Jordan mengibaskan tangan.
"Tidak ada waktu untuk sandiwara pembelaan teman! Panggil orang tuamu besok, Nak Larisa, jika kalian ingin ikut campur!" Jordan memutar matanya, ekspresi yang sangat tidak pantas untuk seorang Kepala Sekolah.
"Aku gak peduli dengan alasan-alasan kecil kalian. Audrey adalah putri Kepala Komite Sekolah! Titik. Dan dia celaka di bawah pengawasanku."
Wajahnya mengeras, memperlihatkan sisi dirinya yang terbiasa dengan manuver kotor dan suap menyuap untuk mempertahankan posisi.
"Aku tidak akan mendengarkan alasan apa pun tentang kecelakaan. Yang aku tahu, Nona Audrey celaka, dan Nak Keira berada di sana. Itu sudah cukup untuk menguatkan dugaan. Ini bukan pengadilan, ini adalah pertanggungjawaban di hadapan Komite."
Jordan menunjuk ke arahnya. "Keira, besok kau harus membawa Ayahmu. Kau akan diadili oleh Kepala Komite langsung menyangkut hukuman apa yang pantas untukmu karena telah mencelakai Audrey. Siapkan dirimu, Nak. Dan siapkan ayahmu," pungkas Jordan, lalu berbalik memasuki ruangannya tanpa menunggu reaksi.
Larisa mencengkeram tangan Keira, matanya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Jev hanya mengepalkan tangan, amarahnya memuncak melihat ketidakadilan yang begitu kentara dan picik.
Kala, di tengah kepungan rasa jijik dan ancaman serius ini, hanya mengangguk.
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..
btw gimana kabar sekolah lama keira thor, penasaran sama gebrakan keira membuka aib sekolah lamanya😂
apakah dia ketemuan sama pahlawan merah