NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jiwa yang terluka

Hari-hari Tiwi menjadi kian kelabu. Rumah yang dulunya tenang, tentram, kini mulai berubah ramai. Orang datang silih berganti, entah itu yang katanya pegawai sang Bapak, atau sekedar tamu. Pagi, siang dan malam tidak berhenti tamu yang datang. Semuanya laki-laki, dengan berbagai usia dan wajah, ada yang ramah, galak, bahkan ada juga yang sedikit kemayu. Perlahan rumah milik neneknya ini dirubah, dibangun menjadi lebih bagus. Ada teras yang lebar dengan tiang-tiang yang kokoh, lantai semen diganti dengan tegel putih. Ruang tamu menjadi lebih luas, dan ada juga meja kerja kokoh di ruang keluarga yang menjadi Kantor itu. Kamar depan milik ibunya sudah dibangun ada kamar mandi didalamnya, dia diberi sebuah kamar ditengah yang lumayan luas, dan kamar sang Nenek tetap dibagian belakang dekat dengan tivi.

Halaman samping yang dulu tempatnya bermain bersama tiga besti anabulnya sudah disulap menjadi garasi mobil yang lebar, dibelakangnya dibangun kamar untuk tempat tinggal pak sopir.

Tiwi hampir lupa bagaimana bentuk rumah lamanya yang asri dan penuh bunga dulu, kini menjadi lebih modern dengan model yang terlihat kokoh namun kaku. Ada pagar sekeliling rumah yang memisahkan mereka dengan tetangga sebelah. Tiwi merasa seperti hidup dalam penjara sekarang. Belum lagi gunjingan dari para tetangga, mereka kebanyakan heran, dalam waktu singkat keluarga Riyanti bisa berubah seperti itu. Apakah mereka memelihara tuyul?

Tiwi sendiri sudah mulai memaksakan diri mengikuti ritme hidupnya yang semakin monoton ini. Pagi bangun, sholat subuh, cuci baju sendiri, bantu cuci piring, mandi, sarapan, berangkat sekolah, pulang dari sekolah makan siang, istirahat sebentar jam dua siang langsung masuk Madrasah Diniyah, pulang jam empat langsung berangkat mengaji di pak Kyai Rusdi, setelah maghrib makan malam, setelah Isya’ belajar dan mengerjakan PR, jam sepuluh maksimal sudah harus tidur. Begitu terus setiap hari tanpa boleh komplain. Hanya jika sang Bapak tidak ada dirumah maka peraturan itu bisa dia langgar sedikit, seperti terkadang dia akan bolos mengaji dan bermain sepuasnya dengan teman-temannya ke sungai atau sawah. Terkadang dia akan ikut temannya mencuri buah masak milik para tetangga, bahkan juga ikutan mengambil pohon tebu untuk dia bawa pulang dan makan bersama Budi dan Lili, keponakannya itu.

Tak jarang ada saja tetangga yang melaporkan kenakalan Tiwi pada Bu Mirah, yang akhirnya hanya bisa minta maaf dan berjanji untuk menasehati cucu perempuan kecilnya itu. Tiwi yang ditegur pun terkadang patuh, tapi semenjak dia menemui kenyataan Melki salah satu anjing nya mati di selokan depan rumahnya, dia menjadi marah. Seperti halnya saat kehilangan Lupus dulu, dia menangis meraung-raung. Dua anabulnya mati mengenaskan di depan matanya. Kini dia hanya bisa melihat kubur kecil berjajar di bawah pohon coklat di kebun belakang. 

Sore itu dia pulang dari mengaji, entah mengapa, hatinya menyuruhnya untuk melangkah ke belakang rumah. Hari menjelang senja, semua sudah masuk ke dalam rumah, tapi Tiwi dengan langkah kecilnya tanpa ragu berjalan ke arah kebun. Dibawah remang bias matahari senja, disela pohon nangka yang daunnya rimbun, tampak siluet tubuh anjing kesayangannya berdiri lemah, ya, Boy, anjing berjenis Black Golden retriever itu agak sempoyongan memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Tiwi mendekatinya, dilihatnya ada bekas air mata di wajah Boy, yang begitu sedih itu. Kemudian anjing itu roboh, sambil satu kaki depannya diarahkan seolah memanggil Tiwi. Dengan cepat Tiwi memegangnya, memeluknya, tak peduli larangan Bapaknya jika anjing itu najis berat dan harus mandi dengan tanah dan membasuhnya tujuh kali. Yang jelas dia kangen pada anabul nya ini, tinggal dia satu-satunya yang hidup. Tapi? Mengapa sepertinya Boy lelah sekali? Apa yang telah dilakukannya?

“Boy… mengapa kamu jadi seperti ini? Mengapa badanmu kurus sekali? Dan mengapa kamu lemas begini?” tanya Tiwi sembari menangis.

Terdengar rintihan kecil dari mulut Boy, seolah menjawab semua pertanyaan sang majikan kecilnya ini. Pada saat itu lah, sang Bapak muncul dan langsung menariknya menjauh dari Boy, 

“Kamu memang anak yang tidak tau aturan !!! Sama seperti ibumu !! Pulang! Mandi dan ambil segenggam tanah untuk kamu lumurkan ke seluruh tubuhmu lalu basuh tujuh kali. Cepat !!” Bentaknya sembari mendorong tubuh ringkih itu menjauh dari sana, dan memukul kepala Boy dengan sebatang kayu yang dibawanya tadi.

Tapi seperti kesetanan Tiwi malah maju menerjang tangan bapaknya, di tangkisnya tangan yang memegang kayu itu, dia langsung memeluk anjingnya.

“Jangan !!! Kamu sudah membunuh dua anabulku! Sekarang kamu mau membunuh Boy juga? Kamu jahat !!!” Teriaknya kalap.

Mendengar keributan di dekat kebun itu maka semua orang keluar rumah, Riyanti yang sudah memakai mukena, dan bu Mirah yang tergopoh mendekati cucunya.

“Ndhuk..Tiwi..surup Ndhuk.. sabar… ayok muleh..” ajak bu Mirah membujuk cucunya ini.

Tapi Tiwi bergeming dan tetap merangkul anjingnya, sampai sebuah pukulan di kepala Boy membuatnya melengking panjang dan kemudian terdiam kaku di pelukan Tiwi.

“TIDAAAAAAKKKK!!!! BOOOYYY!!!! JANGAN MATIIII!!!!” teriak gadis kecil itu histeris hebat. Kali ini didepan matanya anjing yang sudah lemas itu mati karena pukulan dari lelaki yang disebutnya Bapak itu. Dadanya serasa mau pecah. Kepalanya sakit sekali, dengan sekuat tenaga dia menubruk bapaknya sambil berteriak keras.

“PEMBUN******HHH!!!”

Ismawan mencoba menghindar tapi terlambat, dia pun jatuh terjengkang ke tanah dengan kerasnya.

“Maaaasss…!” teriak Riyanti berlari menolong suaminya.

Reflek tangannya menampar gadis kecil yang masih terengah-engah dengan emosinya itu. Akibatnya Tiwi terjungkal ke tanah juga.

“Tiwiiiii..!!!” Gantian bu Mirah menjerit dan menolong cucunya yang sudah tidak karuan itu.

“Paklik, Bulik, sudah.. kasian Tiwi. Ini salah saya, mungkin saya kurang jauh membuang Boy, hingga dia bisa pulang lagi kemari.” ucap Tris yang merupakan suami Anik dan bapak dari Budi, Lili dan Tri itu, yang sekarang telah ikut bekerja di perusahaan kecil milik Ismawan sang Paman barunya ini.

“Padahal saya taruh dia di pasar Sumawe sana, cukup jauh kan, tapi karena memang dia tergolong jenis anjing pintar makanya bisa kembali pulang…” imbuhnya penuh sesal.

Ismawan menghela nafas panjang, kemudian memerintahkan Tris agar mengubur anjing itu di kebun belakang. Lalu dia berjalan kembali ke rumah diikuti istrinya.

Sementara anak kecil yang baru saja mendapatkan tamparan segitu kerasnya dari sang ibu itu, hanya bisa terdiam, tangisnya hilang seketika. Berganti rasa kaget luar biasa. Betapa wanita yang selama ini begitu mengasihinya, bisa tega menamparnya sampai dia jatuh terjungkal. Anik yang menggendong Tri langsung menutup mulutnya yang menganga, karena menyaksikan bibi nya sanggup menampar anak kesayangannya ini. Bu Mirah yang tanggap langsung mendekap cucunya, mengajaknya bicara dengan nada lembut,

“Wi..ndhuk… hey.. ayok mandi ayok, baju dan badanmu kotor semua loh, lihat itu tasmu kamu lempar begitu saja, ayok pulang ayok Ndhuk…”

Tapi Tiwi masih diam, pandangan matanya kosong, biarpun dicoba disadarkan oleh sang nenek dengan menepuk pelan wajahnya, anak itu tetap diam. Airmata meluncur deras dari matanya, tapi tidak ada suara tangisannya. Anik yang kuatir segera mengambil minyak kayu putih dan membauinya ke hidung sepupu kecilnya ini.

“Wi, Tiwi! Sadar Ndhuk! Hey! Jangan seperti ini! Nanti kamu kesurupan loh! Ndhuk…” Anik pun merangkulnya sambil menangis. Hatinya tidak tega melihat anak kecil yang sedang shock berat seperti itu. 

Bu Mirah segera menggendong cucunya yang tingginya sudah hampir menyamainya ini. Dengan susah payah dia membawa sang cucu pulang. Tidak ada yang berani mengikutinya. Karena takut kena semprot Riyanti atau bahkan Ismawan.

Sesampainya di rumah, Bu Mirah segera menuntun sang cucu ke arah kamar mandi, dimandikannya sang cucu dengan telaten, sambil diambilnya segenggam tanah untuk menghilangkan najis sesuai instruksi menantunya tadi. Setelahnya, dibalurinya tubuh kurus cucunya ini dengan minyak kayu putih, lalu dibaringkannya diatas bale-bale di beranda depan dapur, sembari dipijitinya kaki kecil gadis yang masih diam membisu ini.

“Ndhuk.. maem ya? Tak suapi? Mbah tadi masak sayur kesukaanmu..” tawar sang Nenek.

Tapi Tiwi masih diam, pandangan nya benar-benar kosong. Dia hanya diam berbaring dan menatap langit-langit tanpa berkedip. Bu Mirah yang kuatir cucunya kesurupan segera mengambil segelas air, membacakan mantra apa saja yang dia tau, meniup gelas itu lalu menumpahkannya sedikit di tangannya dan membasuhkan ke muka Tiwi tiga kali.

Tapi masih seperti tadi, Tiwi tetap diam membisu. Malam pun datang, Riyanti mengambilkan makan malam buat suaminya, dia melihat anaknya dan ibunya yang masih cemas disisi gadis kecil itu. Tapi Riyanti seolah tidak peduli, setelah selesai mengambil nasi dan juga lauk serta sayur, dia masuk ke dalam rumah, tanpa mempedulikan Tiwi anaknya.

'Ya Allah…Ti. Apa yang membuatmu berubah Ndhuk. Segitu hebatkah pengaruh Ismawan padamu sehingga kamu sanggup untuk mengacuhkan putrimu yang sedang shock ini’ batin bu Mirah sedih.

Setelah Tiwi terlelap, maka dengan susah payah digendongnya gadis kecil itu ke kamarnya, dan di peluknya sang cucu penuh kasih sampai pagi menjelang.

—---------

Seperti biasa sebelum adzan subuh berkumandang, bu Mirah sudah bangun, dan menyalakan api di dapurnya untuk menanak nasi dan merebus air membuat minuman buat seluruh orang yang datang nanti. Sudah ada sekitar dua puluh orang pegawai di perusahaan kecil milik Ismawan yang dibangun dengan bantuan modal dari Riyanti itu, yang merupakan uang tabungan dari almarhum suaminya untuk sekolah Tiwi kelak. Dan pekerjaan bu Mirah pun bertambah dengan memasak dalam jumlah banyak untuk makan para pegawai Riyanti itu. Perusahaan mereka bergerak di bidang perkayuan, dimana Ismawan dan orang-orang nya akan keliling mencari pohon kayu milik rakyat atau penduduk, yang jenisnya termasuk dalam daftar yang dibutuhkan, kemudian akan ditebangnya, ditampung, dan dikirim dengan truk besar keluar kota.

Setelah berkutat di dapur cukup lama, bu Mirah baru sadar jika Tiwi belum bangun, padahal biasanya anak itu rajin bangun pagi dan membantunya. Mencuci piring atau memotong sayuran. Ini kok belum muncul anak itu, padahal matahari sudah tersenyum malu-malu di balik rerimbunan pohon belakang rumah. Bu Mirah segera mencuci tangannya, dan berjalan ke kamarnya bermaksud membangunkan cucunya itu. Alangkah kagetnya dia saat mendapati Tiwi yang sedang kejang dengan mata melirik keatas dan gigi gemeretak serta badannya panas sekali. Dia pun berteriak sekencangnya,

“ TIWIIIII…!!! RIYANTI!! ISMAWAAAN!!! TOLOOOONGGG!!”

Dengan rambut masih digelung handuk basah, Riyanti keluar kamar dan tergesa menuju kamar ibunya. Matanya membelalak melihat keadaan anaknya. Dengan segera, dia angkat anaknya dan berlari keluar rumah ke rumah sakit di dekat rumahnya itu. Bagaimanapun kesalnya dia akan kelakuan Tiwi yang dianggapnya semakin nakal itu, tapi naluri seorang ibu masih ada di hatinya. Dia tidak ingin anaknya kenapa-kenapa.

Ismawan yang mendengar penjelasan mertuanya, segera menyusul ke rumah sakit bersama sang sopir.

Sampai dirumah sakit, Tiwi langsung ditangani di UGD, rupanya anak itu kambuh STEP nya atau dikenal dengan Kejang Demam, akibat panas tubuh yang melebihi batas dan mendadak, apalagi saat di termometer tadi suhunya mencapai 43,2°.

Segera dipasang infus agar ada cairan masuk yang bisa meredakan panas didalam tubuhnya.

“Hm, apakah anak itu sering mengalami Step begini?” tanya Ismawan pada istrinya.

“ Iya, seringkali, sewaktu kecil malah lebih sering lagi. Ini sudah usia delapan tahun kukira tidak kambuh. Tapi entah mengapa kambuh lagi begini..” keluh Riyanti.

“Ya sudahlah, kamu urusi dia ya Dek. Aku berangkat dulu ke Pasirian, ada beberapa lokasi yang harus aku lihat kayu nya sesuai laporan apa tidak.” Ucap Ismawan.

“Loh, Mas belum sarapan loh?” 

“Nggak apa, nanti aku beli di luar saja sama Slamet sopirku, kalau bisa nggak usah menginap, rawat jalan saja,” pesannya sembari melangkah keluar dari ruang UGD itu.

Riyanti hanya bisa mengangguk dan mengiringi kepergian suaminya dengan pandangan matanya. Hatinya sepertinya sakit, karena seolah Ismawan tidak peduli kepada anak kecil yang sedang tidur setelah mendapatkan suntikan lewat infusnya ini.

'Ya Tuhan, ampunilah aku.. sembuhkanlah anakku ini, dan lembutkanlah hati suamiku.. aamiinn..’ doa Riyanti dalam hati sembari memandangi wajah tirus Tiwi yang semakin terlihat kurus ini.

—-------

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!