Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Senja yang Abadi
Hari peresmian itu tiba dengan langit yang luar biasa bersih. Seolah-olah semesta ingin memberikan penghormatan terakhir pada perjuangan seorang pria tua yang keras kepala. "Rumah Senja" berdiri dengan anggun di tepian sungai; struktur bambu laminasinya berwarna cokelat madu, berpadu dengan aksen cat jingga dan teras terbuka yang penuh dengan tanaman hijau.
Ratusan warga berkumpul di halaman depan. Tidak ada pita merah yang mewah atau pejabat tinggi yang memberikan sambutan panjang. Acara itu sederhana, hanya ada doa bersama dan tawa anak-anak yang akhirnya memiliki tempat untuk berlari.
Aris duduk di sebuah kursi kayu di taman atap, tempat tertinggi di bangunan itu. Ia mengenakan kemeja putih bersih milik Sarah yang ia simpan rapi selama bertahun-tahun. Napasnya pendek dan berat, namun matanya memancarkan kedamaian yang belum pernah terlihat sebelumnya. Di sampingnya, Maya dan Hendra berdiri setia, sesekali menyeka air mata yang coba mereka sembunyikan.
"Lihat mereka, Hendra," bisik Aris, menunjuk ke arah anak-anak yang sedang berebut buku di perpustakaan lantai bawah. "Mereka tidak lagi takut pada hujan."
Hendra mengangguk pelan, tenggorokannya tercekat. "Ini semua berkat Bapak. Bapak membangun jembatan di saat semua orang ingin membangun tembok."
Maya menyerahkan sebuah bingkai foto kecil kepada Aris. Itu adalah foto Sarah yang sudah diperbaiki warnanya. Aris memeluk foto itu erat-erat di dadanya. "Kita sudah sampai, Sar. Rumahmu sudah jadi."
Tiba-tiba, kerumunan warga di bawah terdiam. Mereka semua menengadah ke atas, ke arah taman atap. Pak RT naik ke atas, membawa sebuah plakat kayu sederhana hasil pahatan warga. Di sana tertulis: "Rumah Senja: Dibangun dengan Mimpi, Dijaga dengan Cinta."
"Pak Aris," suara Pak RT bergetar. "Kami tidak punya medali atau uang untuk membalas jasa Bapak. Kami hanya ingin Bapak tahu, bahwa selama bangunan ini berdiri, nama Bapak akan kami ceritakan kepada anak cucu kami sebagai orang yang memberikan kami harga diri."
Aris berusaha berdiri dengan sisa kekuatannya. Ia memegang pagar bambu dan menatap ke arah kerumunan warga di bawah. Ia tidak berpidato. Ia hanya mengangkat tangannya pelan, sebuah lambaian yang bermakna perpisahan sekaligus ucapan terima kasih.
Matahari mulai menyentuh garis cakrawala. Warna jingga yang paling pekat menyiram seluruh bangunan, mengubah Rumah Senja menjadi siluet emas yang megah. Di saat itulah, Aris merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. Rasa sakit di dadanya perlahan hilang, digantikan oleh perasaan ringan seolah ia sedang melayang.
Ia duduk kembali di kursinya, memejamkan mata perlahan. Ia tidak lagi mendengar suara bising kota atau tangisan haru di sekitarnya. Ia hanya mendengar suara Sarah yang memanggil namanya dari kejauhan, di sebuah tempat di mana matahari tidak pernah benar-benar tenggelam.
"Indah sekali..." gumam Aris sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Kepalanya terkulai perlahan ke samping. Foto Sarah masih terdekap erat di tangannya. Senyum tipis menghiasi bibirnya, sebuah senyuman abadi dari seorang arsitek yang telah menyelesaikan proyek terbesarnya.
Maya adalah yang pertama menyadarinya. Ia menggigit bibirnya, membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya. Ia tidak menjerit; ia hanya berlutut di samping kursi Aris dan membisikkan kata "Terima kasih". Hendra menundukkan kepala sedalam-dalamnya, sementara warga di bawah mulai melantunkan doa yang syahdu, mengiringi kepergian sang pelukis mimpi.
Aris pergi tepat saat cahaya matahari terakhir menghilang. Namun, Rumah Senja tidak menjadi gelap. Lampu-lampu kecil yang dirancang Aris mulai menyala satu per satu, ditenagai oleh panel surya di atapnya. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti lentera raksasa di pinggir sungai—sebuah mercusuar bagi siapa saja yang merasa kehilangan arah di waktu senja mereka.
Mimpi Aris tidak mati bersamanya. Ia hidup dalam setiap tawa anak-anak di sana, dalam setiap doa lansia yang menemukan tempat bernaung, dan dalam setiap garis bambu yang menantang arus sungai. Di waktu senja, Aris telah membuktikan bahwa kematian hanyalah cara matahari berpindah tempat untuk menyinari belahan dunia yang lain.
Dan bagi warga bantaran, senja kini bukan lagi tanda berakhirnya hari, melainkan pengingat bahwa harapan selalu bisa dibangun kembali, bahkan di atas puing-puing keputusasaan.