Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang terlupakan
Di hotel, Chandra tiba-tiba merasa ada sesuatu yang kurang. Ia menghentikan langkahnya, menoleh ke sekeliling, lalu berkerut.
“Oh iya… Jema di mana?”
Pertanyaan itu membuat suasana mendadak hening.
“Oh dia?” Susan saling pandang dengan Selin. “Di mana Jema?” ulang Susan, nadanya ragu.
“Aku nggak tahu…” jawab Selin singkat.
Chandra menatap mereka tajam. “Astaga. Gimana bisa kalian nggak tahu saudara kalian ada di mana? Kenapa kalian tega ninggalin dia?”
“Habisnya ini semua terjadi karena papa-nya Jema,” Selin menyahut kesal. “Kita jadi nggak punya rumah.”
Chandra langsung memotong, “Memangnya Jema tahu apa-apa?” suaranya meninggi. “Saya yakin dia juga bingung dengan semua yang terjadi.” Tatapannya beralih pada Sarah. “Apa kamu juga nuduh Jema sebagai akar dari semua masalah suami kamu, Sarah?”
Sarah terdiam, lalu berkata pelan, “Tapi dia anak—”
“Sarah.” Chandra menatapnya dalam. “Kenapa kamu tega? Aku tahu dia bukan anak kandung kamu, tapi bukan begitu caranya memperlakukan dia. Dia cuma punya kamu. Kamu itu satu-satunya rumah untuk dia pulang.”
“Chandra… aku cuma—”
“Aku nggak mau tahu,” potong Chandra tegas. “Hubungi Jema sekarang juga. Tanya dia di mana. Biar aku yang jemput.”
Susan dan Selin saling pandang dengan wajah kesal. Baru pertemuan pertama semalam, Jema sudah berhasil mengambil hati calon ayah mereka. Rasa tidak suka yang sejak awal ada, kini berubah menjadi kebencian yang jelas terbaca di mata mereka.
Sarah menelpon Jema berkali-kali, namun tak ada jawaban. Ia menatap layar ponselnya dengan cemas.
“HP-nya nggak aktif,” ucap Sarah pelan.
“Astaga…” Chandra mengusap wajahnya, memijat pelipisnya kuat-kuat.
Ia lalu menoleh pada Susan dan Selin. “Susan, Selin, kalian masuk kamar dulu. Istirahatlah.”
Keduanya menurut, meski raut kesal masih jelas di wajah mereka. Mereka masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
Chandra kembali menatap Sarah. Ada kekecewaan yang tak ia sembunyikan.
“Sarah, kalau sama Jema aja kamu nggak bisa sayang,” ucapnya lirih tapi tegas, “gimana nanti sama Nathan dan Kevin yang bahkan bukan dari rahim kamu?”
“Bukan gitu, Chandra…”
“Aku tahu, Kevin dan Nathan memang sudah dewasa,” lanjut Chandra, memotong. “Tapi apa mereka nggak butuh sosok ibu?”
Sarah menelan ludah. “Aku bisa sayang sama mereka semua, Chandra…”
Chandra menghela napas panjang. “Coba pikirkan lagi. Kita menikah karena apa? Karena kita saling mencintai, Sarah. Dari dulu. Kamu bilang ingin dekat dengan anak-anakku, ingin mengenal Jefran…” Ia menatap Sarah dalam-dalam. “Tapi aku juga punya anak yang lain. Aku saja bisa menerima Susan dan Selin. Kenapa kamu nggak bisa menerima Jema?”
Sarah terdiam, tak mampu menjawab.
Nada Chandra melembut, tapi jarak di antara mereka justru terasa makin jauh. “Dengan sikap kamu yang seperti ini, buat aku…” Ia menggeleng pelan. “Sudahlah. Selamat istirahat.”
Chandra berbalik, meninggalkan Sarah yang berdiri kaku dengan perasaan bersalah yang mulai menekan dadanya. Sarah marah dan juga sangat kesal, ia masuk kedalam kamar hotel dan menghampiri kedua putrinya. Begitu pintu kamar tertutup, Selin langsung membuang tasnya ke sofa. “Lihat kan ma?” ucapnya dingin. “Baru datang semalam aja, dia udah bikin Om Chandra bela-bela dia.”
Susan mendengus pelan. “Dan ini tuh baru awal ma...” katanya. Tatapannya tajam. “Kalau Jema terus ada di hidup kita, hidup kita nggak bakal tenang.”
***