Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia yang Calista inginkan
Plak!
Tamparan mendarat di pipi Veronika. Ulah itu dari tangan suaminya sendiri.
"Mas..." suara Vero bergetar, matanya membelalak tak percaya.
"Diam kamu! Gara-gara kelakuanmu, aku kehilangan proyek besar!" bentak Nathan dengan wajah merah padam.
Tangis Vero pecah. "Tega kamu, Mas! Kamu lebih peduli proyek itu, lebih senang berduan dengan perempuan lain, daripada sama aku—istri kamu sendiri!"
Nathan menatapnya tajam. "Kamu nuduh aku selalu yang nggak-nggak! Itu cuman rekan kerja. Asal kamu tahu, hasil dari proyek itu buat pengobatan Calista!"
Veronika menggeleng keras, air matanya jatuh semakin deras. "Jangan bawa anak-anak kita! Itu cuma alibi kamu!"
Nathan mengusap wajahnya kasar, napasnya memburu. Ia muak dengan tuduhan yang selalu sama. Ia memang kehilangan proyek besar, semua karena ulah Vero yang tiba-tiba melabrak klien bisnisnya di sebuah kafe. Vero tak sengaja melihat Nathan duduk bersama seorang perempuan, padahal perempuan itu adalah kliennya. Hanya saja saat itu asisten si klien sedang ke toilet, sehingga tampak seolah Nathan berduan. Klien pun tersinggung dan langsung membatalkan kerja sama.
"Tega kamu, Mas..." Vero kembali terisak.
"Kamu yang tega sama aku, Vero! Kamu tahu betapa susahnya aku dapat proyek itu, tapi kamu malah menghancurkannya."
Di lantai atas, Calista yang mendengar pertengkaran itu hanya bisa duduk lemas di tangga.
"Non..." suara lembut Bibi Arum memanggil, hatinya ikut teriris melihat nona kecilnya menangis.
"Bi... hiks..." Calista segera memeluk Bibi Arum erat-erat, seolah mencari tempat aman.
Bibi Arum membalas pelukan itu, tangannya mengelus punggung Calista penuh sayang.
"Yang sabar, ya, Non. Doakan saja yang terbaik untuk Papa dan Mama."
"Sampai kapan mereka bertengkar terus, Bi? Calista capek dengannya... hiks... apa Calista meninggal aja, Bi, biar Calista bisa tenang?"
"Non... jangan ngomong begitu. "suara Bibi Arum melemah, hampir pecah. "Non itu anak kuat. Jangan bilang mau mati, ya. Hidup Non terlalu berharga."
Calista terdiam, bibir bergetar.
"Sekarang Non berangkat sekolah, ya," lanjut Bibi Arum lembut. "Mungkin di sekolah Non lebih tenang." Ia melepas pelukan Calista, lalu menghapus sisa air mata di pipi gadis itu.
"Iya, Bi. Calista lewat belakang aja, ya. Kalau Mama dan Papa nanya, bilang aja yang sebenarnya."
"Iya, Non. Bibi juga sudah siapin bekal Non."
Senyum tipis muncul di wajah Calista. "Cuman Bibi yang sayang sama Calista."
Bibi Arum ikut tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. "Semuanya sayang Non, cuma caranya aja yang berbeda."
Kata-katanya membuat Calista terdiam, lalu menunduk.
Bibi Arum menghela napas dan menatap wajah polos itu dengan penuh kasih. "Ingat ya, jangan jajan sembarangan, jangan duduk di bawah matahari dari setengah jam, jangan ngobrol dengan orang asing, jangan pulang sendirian kalau sudah sore, jangan sering lupa minum air putih, jangan terlalu percaya sama orang yang baru kenal, dan jangan gampang nurut kalau ada yang ngajak pergi..."
Calista mengangguk cepat, berusaha tersenyum. "Siap, Bibi."
•○•
Di dalam kelas, Calista menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Pikirannya masih dipenuhi pertengkaran kedua orang tuanya yang tak pernah reda. Kapan aku bisa punya keluarga yang harmonis? batinnya lirih. Ia selalu membayangkan sebuah rumah yang dipenuhi hangat canda tawa, bukan suara pertengkaran.
"Hari ini Ibu akan memberikan kalian tugas kelompok," ucap Ibu Mawar.
Seketika kelas menjadi riuh. Ada yang antusias, ada pula yang mengeluh pelan.
"Tenang dulu," suara Ibu Mawar meninggi sedikit sedikit, membuat kelas kembali diam. "Tugas ini sangat penting untuk ujian kalian nanti. Jadi, kalian harus serius."
Tatapan Ibu Mawar menyapu seluruh kelas hingga berhenti pada Calista yang masih menatap kosong ke arah papan tulis.
"Calista."
Tidak ada sahutan.
"Calista!"
Gadis itu tetap diam, seakan tidak mendengar.
Xavier, yang duduk di sebelahnya, ikut menoleh. Ia sadar, sejak awal masuk kelas, Calista terus terdiam. Awalnya ia tak peduli, tapi kini ia melihat jelas bekas air mata yang masih tersisa di pipi gadis itu. Dia... nangis?" gumamnya dalam hati.
"Calista!" suara Ibu Mawar terdengar jelas, membuat Calista tersentak. Ia buru-buru menoleh.
"Kamu dengar penjelasan ibu tadi?" tanya Ibu Mawar dingin.
Calista menunduk. "Maaf bu... saya nggak dengar."
"Kalau kamu sakit, pergilah ke UKS."
Calista menggeleng cepat. "Enggak, Bu. Calista nggak sakit. Maafin Calista, ya, Bu."
Ibu Mawar menghela napas berat. "Ini peringatan pertama kamu. Sekarang fokus."
"Iya, Bu."
Calista kembali duduk tenang, lalu melirik Xavier. Ia terkejut karena tatapan dingin cowok itu tertuju padanya. Membuatnya merasa tidak nyaman.
"Vier... boleh nggak wajah kamu jangan dingin ke aku? Aku takut, soalnya," bisiknya pelan.
Xavier hanya menatapnya sekilas dengan sinis, lalu kembali menghadap ke papan tulis.
"Tugas kalian ada di halaman 12. Kerjakan beserta penjelasannya. Tugas kelompok ini berpasangan, hanya dua orang dalam satu kelompok," jelas Ibu Mawar.
"Bu, kelompoknya kita tentuin sendiri atau Ibu yang pilih?" tanya Kevin.
"Ibu yang tentukan. Teman kelompok kalian adalah teman sebangku. Jangan ada yang protes," jawab Ibu Mawar tegas.
Calista menoleh ke sebelah. "Xavier, berarti kita satu kelompok."
Xavier hanya menghela napas, malas menanggapi.
"Xavier," suara Ibu Mawar kembali terdengar, kali ini lebih menekan, "Ibu harap kali ini kamu fokus. Nilai kamu makin hari makin turun."
"Hmm," Xavier hanya bergumam pelan.
"Baiklah, kerjakan sekarang. Ibu akan keluar sebentar. Jangan ada yang ribut atau keluar kelas sebelum Ibu kembali," ucap Ibu Mawar sebelum meninggalkan ruangan.
Begitu guru keluar, para murid segera sibuk dengan tugas mereka masing-masing.
Di meja belajar, buku dan kertas catatan menumpuk. Calista mulai menjelaskan dengan suara lembut sambil menulis di buku tulisannya.
"Nah, jadi bagian ini tuh harus dijumlah dulu, baru hasilnya di masukkan ke tabel. Gampang, kan?" ucapnya dengan semangat, mata berbinar penuh fokus.
Xavier, yang duduk di seberang, sama sekali tak mencatat. Pandangannya justru terpaku pada Calista—cara gadis itu menggerakkan tangan, bibirnya sangat menjelaskan, hingga tatapan polos nan seriusnya.
"Xavier, kamu ngerti nggak?" tanya Calista sambil menoleh polos.
Xavier refleks mengalihkan pandangan ke bukunya, pura-pura fokus. "Iya, ngerti," jawabnya singkat, meski tak satu pun penjelasan tadi benar-benar ia dengar.
Calista tersenyum lega lalu kembali menulis. Sementara itu, Xavier hanya menghela napas pelan. Ada sisi polos dari Calista yang entah kenapa mampu menahan pandangan Xavier, seolah dunia di sekitarnya ikut terhenti.
Saat menoleh, Calista terkejut melihat buku-buku Xavier yang masih kosong. "Xavier, kalau kamu nggak paham, kenapa nggak bilang?" ucapnya. Ia menatap Xavier serius. "Sekarang aku bantu jelasin, ya. Supaya nilai kelompok tugas kita bagus. Tapi kali ini kamu harus fokus. Buktikan kalau kamu bisa."
Xavier menatapnya sejenak. Tatapannya serius dan senyum tulus Calista membuatnya tak bisa menghindar. Ia mengangguk pelan, lalu mendengar penjelasan gadis itu dengan lebih sungguh-sungguh.
Tak lama, Xavier mulai paham dan menuliskan jawabannya sendiri. Kata-kata Calista seolah memberi dorongan yang ia butuhkan.
"Kamu sebenarnya pintar, Vier. Cuma perlu diasah aja," ucap Calista sambil tersenyum puas melihat hasil kerja Xavier.