Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan pulih
Erick yang amnesia, yang semalam mengklaim Aluna sebagai miliknya dengan gairah posesif, pagi ini kembali bersikap manja, namun rasa jengkelnya terhadap realitas kantor yang tidak ia kenali semakin parah.
Ia duduk di meja makan, menggerutu di antara gigitan rotinya.
“Erwin benar-benar membuatku jengkel, Lun. Dia bicara tentang investasi di Singapura yang katanya sudah berjalan lima tahun. Aku tidak ingat pernah menyetujui itu. Dia terus memaksaku menyetujui strategi dua ribu dua puluh limanya,” keluh Erick, menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna, mencari kenyamanan dari frustrasinya.
“Kenapa dia terus bicara tentang dua ribu dua puluh lima? Kita baru selesai tahap desain awal Mega Project, yang ku kerjakan mati-matian di tahun dua ribu lima belas. Dia pikir aku bodoh, ya?”
Aluna merasakan beban berat di dadanya. Erwin, si kolega dingin, secara tidak sengaja telah menjadi penguji terbesar kebohongannya.
Aluna tahu ia tidak bisa lagi membiarkan Erick hidup di tahun yang salah. Setiap detik yang hilang akan membuat pukulan kebenaran menjadi semakin fatal.
‘Aku tidak bisa membiarkannya menyimpulkan sendiri, atau ia akan berpikir semua orang berkonspirasi melawannya. Dia harus mendengar kebenaran ini dariku, di ruang yang aman,’ batin Aluna, matanya menatap piring di hadapannya.
Keputusan itu datang dengan rasa takut yang dingin. Mengungkapkan fakta waktu berarti mempertaruhkan semua kehangatan yang telah ia nikmati.
Aluna bangkit, memberikan alasan konyol tentang panggilan penting dari klien. Ia mengunci diri di kamar tidur, mengambil ponselnya, dan langsung menghubungi Dokter Bayu.
Ia memerlukan izin klinis untuk membenarkan tindakan moralnya.
“Dokter Bayu, ini Aluna. Saya putuskan saya akan memberitahunya hari ini. Dia semakin jengkel dengan koleganya dan merasa tidak kompeten karena data di kantor tidak cocok dengan ingatannya di tahun dua ribu lima belas.”
Suara Dokter Bayu terdengar tenang.
‘Aluna, ini adalah langkah yang sulit, tapi perlu. Konflik kognitif itu akan menghambat pemulihannya. Berikan dia jangkar yang kuat. Fokus pada penguatan identitas.’
“Saya akan memberitahunya bahwa ini tahun dua ribu dua puluh lima, dan dia adalah CEO yang sangat sukses. Dan saya akan menahan informasi tentang… konflik pribadi kami sebelum kecelakaan. Apakah itu etis?” tanya Aluna, suaranya sedikit gemetar..
“Aluna, tugasmu saat ini adalah menstabilkan pasien di realitas dua ribu dua puluh lima, bukan memicu trauma emosional dari dua ribu lima belas. Konflik relasional itu bisa dibahas nanti, jika dan ketika ingatannya pulih sepenuhnya. Secara klinis, pengungkapan parsial yang strategis adalah langkah yang tepat. Beri dia fakta yang mendukung kelangsungan hidupnya di tahun ini. Lakukan sekarang, sebelum ia mengetahui dari orang lain.’
“Tapi saya tidak bisa menyembunyikannya lagi! Apalagi ayahnya memaksa kembali ke kantor, dan membuatnya merasa tidak nyaman,” bisik Aluna berharap Erick tak mendengarnya berbicara di telepon.
‘Jangan memaksanya, tapi kau harus mengingatkannya dengan tahun ini!’
“Baik dok, aku mengerti!”
“Kau bicara dengan siapa?”
Aluna terkejut Erick sudah berdiri di belakangnya, segera ia memutus panggilan itu.
“Agen asuransi.”
Aluna duduk kembali di hadapan Erick, meletakkan tangannya di atas tangan suaminya. Ia menarik nafas dalam-dalam, bersiap mengatakan sesuatu penjelasan.
“Rick, dengarkan aku baik-baik. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus kau ketahui, dan kau tidak boleh panik. Janji?”
Erick, merasakan keseriusan dalam nada Aluna, mengerutkan dahinya.
“Apa? Apa yang terjadi? Apa Erwin mencoba mengambil alih perusahaan?”
“Tidak ada yang mengambil alih perusahaan mu. Tapi ini tentang waktu.”
Aluna mengambil koran pagi yang tergeletak di samping cangkir kopi Erick dan menggesernya. Ia menunjuk tanggal di sudut atas.
“Lihat tanggalnya, Rick. Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu, tapi ini adalah kebenaran yang harus kau hadapi.”
Erick menatap koran itu, matanya memicing ke tulisan tebal, Jumat, 5 Desember 2025.
Ketidakpercayaan Erick menghantamnya, menolak semua logika. Ia tertawa, tawa yang tajam dan tidak nyaman.
“Kau pasti bercanda. Ini lelucon. Koran ini cetakan palsu. Kau dan Erwin sedang mencoba mengerjaiku, kan? Tidak mungkin. Mana mungkin aku hilang sepuluh tahun! Aku ingat detail tahun dua ribu lima belas, Lun. Aku ingat mobilku yang dulu, aku ingat kantor yang lama. Perasaan seorang CEO tidak bisa dibohongi!”
‘Perlahan kau mengingat identitasmu, tapi mengapa kau melupakan tiga tahun pernikahan dingin kita?’ batin Aluna terbawa suasana.
“Perlahan ingatanmu pasti pulih. Sekarang, kau tahu pemilik perusahaan Galaxy Group dan seorang CEO.”
Aluna tahu bahwa pembuktian harus dilakukan melalui fakta fisik yang tidak bisa ia bantah.
“Aku tidak berbohong. Dan tidak ada yang mengerjaimu. Kau mengalami kecelakaan mobil. Ingatanmu berhenti di dua ribu lima belas. Sekarang adalah tahun dua ribu dua puluh lima.”
Erick bangkit, kepalanya menggeleng liar. Ia berjalan ke jendela, menunjuk ke gedung pencakar langit baru yang mendominasi cakrawala.
“Gedung itu! Apex Tower! Itu dulu lahan kosong! Kau bilang itu sudah berdiri sejak kapan?”
“Sejak dua ribu dua puluh lima. Kau menyetujui desainnya. Kau melihatnya dibangun.”
Erick membalikkan badan, frustrasinya memuncak.
“Aku tidak ingat! Ini tidak masuk akal! Aku ingat bagaimana Erwin membuatku jengkel di tahun dua ribu lima belas, dan sekarang dia membuatku jengkel di tahun dua ribu dua puluh lima! Aku tidak percaya aku hilang sepuluh tahun yang berharga!”
Aluna berjalan mendekat, meraih ponselnya. Ia menunjukkan foto mereka di perayaan Galaxy Group tahun lalu.
“Lihat dirimu, Rick. Lihat jas mahal yang kau pakai. Kau adalah pria di foto ini. Kau adalah CEO yang sangat sukses di tahun dua ribu dua puluh lima. Kau yang membangun semua ini.”
Erick menatap foto itu, matanya dipenuhi keterasingan. Ia tidak mengenali ketenangan dan kesuksesan di wajah pria itu.
“Aku tidak kenal pria di foto itu. Dia terlihat terlalu sempurna. Aku ingat diriku adalah pria yang berjuang, bukan yang sudah menang! Ini pasti tipuan!”
Erick jatuh kembali ke kursi.
Kepanikan karena kehilangan kendali atas waktu dan identitasnya melumpuhkannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Kalau begitu… kalau begitu siapa aku? Bagaimana aku bisa hidup tanpa ingatan tentang kesuksesan ini? Kenapa kau tidak memberitahuku saat aku sadar?”
“Kami melindungimu. Kami menunggumu stabil. Dan kau tidak perlu takut dengan dirimu yang sukses. Kau masih Erick, hanya memorimu yang tertidur.” Aluna menekankan satu-satunya kebenaran yang ia izinkan.
“Aku di sini di tahun dua ribu lima belas, dan aku di sini di tahun dua ribu dua puluh lima. Aku tidak pernah meninggalkanmu selama sepuluh tahun itu. Aku mengurus semuanya untukmu.”
Erick menyingkirkan tangannya, menatap Aluna, matanya mencari kepastian yang absolut. Pria yang dingin, yang mempercayai logika, kini harus menyerah pada satu-satunya emosi yang ia kenali, ketergantungan pada Aluna.
“Kau… kau ada di sana untukku?”
“Selalu.”
Erick bangkit dan menarik Aluna ke pelukan yang erat dan gemetar. Kali ini, pelukan itu murni ketakutan dan kebutuhan akan perlindungan. Ia tidak lagi posesif, ia sedang mencari jangkar.
“Jangan pergi, Lun. Jangan pernah pergi. Aku takut dengan tahun dua ribu dua puluh lima ini. Aku hanya percaya padamu. Aku akan gila kalau kau tidak ada.”
Aluna membalas pelukannya, rasa bersalahnya terasa berat. Kebohongan strategisnya berhasil. Ia telah menjadi penyelamat dan satu-satunya penghubung Erick dengan dunia. Ia telah mengamankan cintanya di tengah kekacauan realitas.