Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8
Happy Reading...
.
.
.
Malam ini Raka sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota, menyusuri jalan tol yang tenang. Jam di dashboard menunjukkan pukul 22.47 malam. Lampu-lampu kendaraan lain sudah jarang terlihat, hanya sesekali mobil melintas dari arah berlawanan.
Ia menyalakan radio, namun cepat-cepat mematikannya lagi. Lagu favorit Nayla, di tengah alunan lagu itu selalu ada bayangan senyum Nayla… dan kini, entah kenapa senyum Naira ikut muncul di sela-selanya.
“Kenapa wajah itu terus muncul?” gumamnya pelan sambil menggenggam setir erat.
Ia menghela napas berat, menatap jalan panjang di depannya. Ia baru saja meninggalkan rapat bersama klien dan merasa lelah secara mental. Tapi pikirannya bukan tentang bisnis, melainkan tentang masa lalu yang menolak untuk diam. Dan entah kenapa malam ini perasaannya tidak enak.
Saat matanya menatap lurus ke depan, kilatan cahaya tiba-tiba menyilaukan dari arah tikungan.
Bunyi klakson bersahut-sahutan, disusul suara benturan keras.
BRAAAKK!!!
Refleks, Raka menginjak rem sekuat tenaga. Mobilnya berhenti mendadak beberapa meter dari lokasi kecelakaan. Jantungnya berdegup cepat. Asap putih tipis mulai terlihat di depan sana, disertai percikan api kecil dari bodi mobil yang ringsek di sisi jalan.
Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan berlari keluar.
“Ya Tuhan…” bisiknya. “Apa yang terjadi?”
Sebuah truk besar tampak menabrak bagian belakang mobil sedan berwarna abu-abu. Truk itu berhenti miring, dan sopirnya terlihat panik, berusaha membuka pintu kabin. Raka berlari ke arah mobil sedan yang hampir tak berbentuk. Lampu depannya berkedip lemah, menyorot jalan yang basah oleh darah.
Raka menunduk, mencoba membuka pintu depan.
“Tahan sedikit! Saya akan membantu anda.” Teriaknya pada seseorang di dalam mobil. Tapi tak ada sahutan.
Dengan tenaga penuh, ia menarik gagang pintu yang penyok. Setelah beberapa kali percobaan, pintu itu akhirnya berhasil terbuka dengan bunyi yang melengking.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Seorang perempuan muda terkulai di kursi depan, darah mengalir dari pelipisnya. Rambut hitamnya basah, menempel di wajah yang pucat pasi. Nafasnya lemah, nyaris tak terdengar.
Raka menunduk lebih dekat. Dan seketika, napasnya sendiri tercekat.
Matanya membesar, tubuhnya menegang. “Tidak mungkin…” suaranya bergetar. “Tidak… ini tidak mungkin…”
Sosok itu... Wajah itu.. Wajah yang sama persis dengan yang sudah ia kubur bersama air mata dan doa. Wajah Nayla. Tapi bukan Nayla.
Tapi Raka tahu itu bukan Nayla istrinya. Tapi....
“Naira…” bisiknya lirih, hampir tidak percaya dengan kenyataan di depan matanya.
Tangannya bergetar saat ia menyentuh pipi perempuan itu. “Hei, kamu dengar aku? Naira? Bangun…”
Tidak ada respon. Hanya napas lemah dan darah yang terus mengalir dari pelipisnya. Pandangan Naira mengabur.
“Tidak… kau tidak boleh mati di sini. Tidak malam ini,” Raka bergumam tegas, setengah panik. Ia menoleh ke arah truk. “Hei! Tolong panggil ambulans!” Teriaknya pada sopir truk yang masih kebingungan.
Sopir itu mengangguk panik, berlari ke arah ponselnya.
Raka kembali menatap Naira. Darah mulai membasahi lengan bajunya. Ia berusaha membuka sabuk pengaman Naira yang terjepit, sampai tanpa ia sadari jemarinya sendiri terluka.
“Bertahan, dengar aku. Jangan menutup matamu, kau paham?”
Ia menarik tubuh Naira perlahan keluar dari mobil, membopongnya ke tempat yang lebih aman di pinggir jalan. Darah menetes dari pelipis ke tangannya, dan rasa dingin dari tubuh perempuan itu membuat jantung Raka nyaris berhenti.
Ketika ambulans datang beberapa menit kemudian, dunia seakan kabur bagi Raka. Ia membantu petugas mengangkat tubuh Naira ke atas tandu, lalu tanpa ragu ikut naik ke dalam ambulans.
“Pak, Anda keluarga korban?” tanya salah satu paramedis.
Raka terdiam sebentar.
Mulutnya seakan kehilangan kata.
Namun ketika menatap wajah Naira lagi, bibirnya bergerak sendiri.
“Iya,” katanya datar. “Aku keluarganya.”
Ambulans melaju kencang menembus hujan malam, sirenenya meraung memecah kesunyian jalan raya. Raka duduk di kursi samping tandu, menggenggam tangan Naira yang dingin.
“Jangan pergi,” katanya pelan, hampir seperti doa. “Aku aku tidak akan biarkan yang lain pergi begitu saja. Kamu tidak boleh pergi semudah ini." Ucapnya lirih.
.
.
.
Rumah sakit dipenuhi cahaya putih dan aroma obat yang menyengat. Raka berjalan mondar-mandir di depan ruang gawat darurat, sebagian kemejanya basah oleh darah. Matanya menatap lampu merah di atas pintu yang menandakan proses penanganan masih berlangsung.
“Kamu tidak boleh menyerah. Kamu tidak boleh pergi dengan semudah ini.” gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. "Apakah ini kebetulan? Atau… memang takdir yang mempermudah niatku untuk membalaskan dendam?”
Ia menunduk, mengusap wajahnya yang dingin.
Suara langkah perawat membuatnya tersadar. “Pak, pasien atas nama Naira Adistya sudah ditangani. Kondisinya sudah mulai stabil, tapi masih tidak sadarkan diri. Dan.. Waktu kami melakukan penanganan, kami mendapati beberapa memar..."
"Memar?"
Perawat itu menganggukkan kepalanya. "Sepertinya pasien sempat mengalami kekerasan. dan untuk sekarang kami masih perlu observasi lebih lanjut.”
Raka mengangguk, suaranya serak. “Boleh saya menemuinya?”
Perawat itu ragu. “Untuk sekarang, hanya keluarga inti yang diperbolehkan.”
“Aku… aku suaminya,” Raka berbohong tanpa berkedip. “Tolong izinkan aku menemui dia.”
Perawat itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik, tapi hanya sebentar.”
Raka melangkah masuk ke ruang perawatan. Suara mesin monitor berdetak pelan, memantau detak jantung yang lemah. Di sana, di bawah cahaya putih redup, Naira terbaring dengan wajah pucat.
Kepalanya diperban, tubuhnya tersambung ke infus dan selang oksigen.
Raka mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Ia menatap lama, lama sekali sampai matanya terasa panas. Raka memandangi beberapa bagian tubuh Naira yang memang terlihat ada beberapa luka yang membiru.
“Nayla…” ucapnya nyaris tanpa sadar. “Haruskah aku tetap melanjutkan niatku? Atau aku harus membantunya?” Tanya Raka seolah ada Nayla disana. Tapi kemudian ia menggeleng, sadar pada kenyataan. “Tidak... Aku tidak boleh lemah.. Aku harus tetap melanjutkan niatku."
Tangannya bergerak, menggenggam tangan Naira perlahan.
“Dengar, Naira,” bisiknya pelan. “Mungkin ini salah. Tapi aku percaya, semua yang terjadi malam ini adalah sebuah balasan untuk kamu."
Ia menarik napas panjang, menatap layar monitor yang berdetak stabil. “Kau masih bernapas. Itu cukup. Jadi bertahanlah.”
Beberapa detik berlalu dalam diam. Lalu entah karena refleks atau perasaan Raka menunduk. Ia menyandarkan keningnya di sisi tangan Naira.
“Mulai malam ini,” bisiknya dengan suara nyaris patah, “aku tidak akan biarkan siapapun menyakitimu. Kau dengar, kan? Tidak ada yang akan menyakitimu. Karena hanya aku yang boleh melakukan itu.”
Raka memejamkan kedua matanya sejenak. Ia tidak tahu bagaimana kedepannya. Tapi.... Yang pasti niatnya untuk membalaskan dendamnya tetap ada.. Dan tidak akan pernah ia urungkan...
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak....