Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: PINTU YANG TIDAK SEHARUSNYA ADA
Kertas resep yang kusut itu jatuh dari tangan Rania, terbawa angin sepoi-sepoi yang berbau knalpot, lalu mendarat di selokan. Sebuah artefak tak berguna dari dunia yang tidak lagi ada.
"Kita harus pergi," kata Reza, suaranya tegang, memecah keheningan. "Dia... dia mungkin memanggil teman-temannya."
Dia meraih lengan Rania dan menariknya menjauh dari pangkalan taksi, berjalan cepat ke arah yang berlawanan, kembali ke hiruk pikuk jalan raya utama. Rania bergerak seperti robot, kakinya yang memakai sepatu kebesaran terseret-seret.
Syoknya mulai digantikan oleh sesuatu yang baru: hiper-kesadaran.
Jika "Hipotesis Jamur Hitam" adalah selimut yang nyaman, maka kebenaran adalah seember air es.
Dunia di sekelilingnya tiba-tiba terlihat berbeda. Tadi, dia mati-matian berharap *tidak* melihat ikan. Sekarang, dia tidak bisa berhenti *mencarinya*.
Dan mereka ada di sana.
Mereka tidak semencolok sebelumnya, tidak lagi seukuran bus. Tapi sekarang setelah dia tahu apa yang harus dicari, dia melihat ekosistem tersembunyi itu.
Ada "Gema" oranye kecil, seukuran jempol, berkerumun di sekitar trafo listrik di atas tiang, mematuk-matuk medan magnetnya seperti ayam mematuk biji-bijian.
Ada "belut" spektral perak panjang yang berenang cepat di sepanjang kabel fiber optik yang tergantung di antara bangunan, menggunakannya sebagai jalan raya.
Dunia tidak normal. Dunia *tidak pernah* normal. Dia hanya buta.
"Taksi. Di sana," kata Reza, mendorong Rania ke arah taksi biru lain yang sedang berhenti.
Mereka masuk ke kursi belakang. Udara di dalam mobil pengap, berbau pengharum ruangan vanila yang memuakkan dan keringat.
"Ke mana, Mas, Mbak?" tanya sopir taksi itu, matanya menatap mereka dari kaca spion.
"Jalan..." Reza ragu-ragu. Menyebutkan alamat "Kopi Titik Koma" terasa seperti mengekspos markas mereka. "...Jalan Merdeka. Dekat perempatan," katanya, menyebut jalan besar yang berjarak dua blok dari kafe.
"Siap."
Taksi itu melaju, bergabung kembali dengan lalu lintas.
Perjalanan itu adalah siksaan terpanjang dalam hidup Rania. Dia duduk membeku, matanya terpaku ke luar jendela. Dia melihat seekor "Ikan Gema" berbentuk pipih seperti ikan pari melayang menembus lantai atas sebuah ruko tua, ekornya yang panjang meninggalkan jejak cahaya oranye sesaat.
Dia menatap sopir taksi di kaca spion. Pria itu sedang bersenandung pelan mengikuti lagu dangdut di radio. Dia tidak melihat apa-apa.
"Dia tidak melihat apa-apa," bisik Rania pelan, lebih pada dirinya sendiri.
"Apa, Mbak?" tanya sopir itu.
"Nggak, Pak. Cuma... macet ya," sahut Rania cepat.
Di sebelahnya, Reza sama tegangnya. Dia tidak melihat ikan-ikan itu, tapi dia sedang memproses apa yang *dia* lihat: asap, ozon, dan pemburu berpayung. Obsesi seumur hidupnya pada mitos urban baru saja menatap balik padanya dengan mata dingin dan abu-abu.
"Ra," bisik Reza, suaranya nyaris tak terdengar di antara deru radio. "Aku takut. Ini... ini nyata."
"Aku tahu," balas Rania, suaranya sama pelannya. Dingin. "Itulah kenapa kita tidak bisa berhenti."
"Tapi apa itu 'Sang Geometer'? Kamu dengar dari mana kata itu?"
"Aku tidak... mendengarnya," kata Rania, mencoba mengingat. "Aku... melihatnya. Di... di mimpi *blueprint* itu. Setelah aku menyentuh mangkuk itu. Itu bukan nama. Itu... deskripsi. Sebuah... jabatan. 'Geometer' itu... 'Arsitek Patah' yang kamu bilang dicari Bima."
Tunggu. Dia baru saja menggabungkan dua informasi. Bima. Arsitek Patah. Sang Geometer.
"Ya Tuhan," bisik Rania. "Bima. Dia tidak hanya mencari artefak. Dia mencari *orang*."
Atau *sesuatu*.
Taksi itu akhirnya berhenti di perempatan Jalan Merdeka. "Di sini aja, Mas?"
"Ya, di sini. Terima kasih," kata Reza, buru-buru membayar.
Mereka turun. Reza memindai jalanan, paranoid. Rania juga memindai, tapi dia mencari hal yang berbeda. Dia mencari payung hitam.
Tidak ada. Jalanan bersih.
Entah bagaimana, itu terasa lebih buruk. "Pengamat" itu tidak lagi mengamati. Dia telah selesai dengan tugasnya. Dia telah *melaporkan* bahwa target—Rania—telah dikonfirmasi "aktif".
Mereka berjalan cepat menyusuri dua blok terakhir, melewati gang-gang sempit, tidak berbicara.
Pukul 09.30 pagi. Mereka kembali ke "Kopi Titik Koma".
Reza segera mengunci pintu di belakang mereka. Dia membalik tanda "TUTUP" lagi. Kali ini, rasanya permanen. Dia kemudian berjalan mengelilingi kafe dan, satu per satu, menurunkan semua kerai bambu di jendela-jendela besar, menjerumuskan kafe itu ke dalam kegelapan yang temaram.
Cahaya pagi kini hanya masuk dalam bentuk bilah-bilah tipis, memotong debu yang beterbangan di udara.
Kafe itu, "tempat aman" Rania, kini terasa seperti bungker.
Reza menyalakan satu lampu gantung di atas konter. Dia bersandar di sana, mengusap wajahnya.
"Oke," katanya, napasnya gemetar. "Hipotesis jamur hitamku... gagal total. Aku minta maaf, Ra. Aku mencoba mencari jawaban yang mudah."
"Kita semua," kata Rania. Dia merasa anehnya tenang. Terornya telah memuncak di rumah sakit dan kini telah mengkristal menjadi sesuatu yang keras dan dingin: tekad. "Tidak ada jawaban yang mudah. Jadi, kita cari jawaban yang sulit."
Dia menatap Reza. "Di mana?"
Reza mengangguk, seolah sudah menduga pertanyaan itu. "Jurnal. *Blueprint*. 'Sang Geometer'."
Dia tidak berjalan ke rak buku atau laptopnya.
Dia berjalan ke ruang pantry sempit di belakang konter, tempat dia menyimpan stok biji kopi dan sirup. Rania mengikutinya.
"Waktu aku bilang aku curiga jamur hitam," kata Reza, sambil memindahkan tumpukan karung goni berisi biji kopi robusta, "aku tidak mengada-ada soal sumbernya."
Dia menunjuk ke lantai, di sudut terjauh pantry.
Di sana, tersembunyi di bawah keset karet yang sudah robek, ada sebuah *pintu jebakan* (trapdoor).
Rania berjongkok. Arsitek di dalam dirinya langsung menganalisis.
Pintu itu terbuat dari kayu jati tebal yang sudah menghitam karena usia, diikat dengan engsel besi tempa yang kasar. Pintu itu jelas *jauh lebih tua* daripada bangunan kafe tahun 1950-an di atasnya. Ini adalah sisa-sisa dari struktur yang lebih kuno, sesuatu yang pemilik bangunan kafe putuskan lebih mudah untuk ditutup dan dilupakan daripada dibongkar.
"Ini," kata Reza, "adalah ruang bawah tanah yang *tidak ada* di denah bangunan."
"Denah yang kamu periksa?" tanya Rania.
"Ya. Denah yang aku periksa di arsip kota. Ruang ini... seharusnya tidak ada. Aku menemukannya saat pertama kali menyewa tempat ini. Aku membukanya sekali. Baunya... ya, seperti jamur dan debu. Aku menutupnya lagi dan tidak pernah membukanya."
Reza meraih linggis kecil dari kotak peralatannya. "Aku menyalahkan tempat ini atas 'halusinasi'-mu."
Rania mengulurkan tangannya, menghentikannya. "Tunggu."
Dia berjongkok lebih dekat. Dia melihat cincin logam tebal yang berfungsi sebagai pegangan pintu.
"Minggir sedikit," katanya.
Reza mundur.
Rania menarik napas panjang. Dia menyingkirkan semua pikiran tentang ikan, pemburu, dan jamur. Dia fokus pada keahliannya.
Dia meletakkan telapak tangannya—tangan yang sama yang telah menyentuh Mangkuk Kuno—di atas kayu jati yang dingin dan berdebu itu.
*Dia merasakan.*
Itu dia.
Rasa dingin yang menusuk tulang. Rasa dingin baja yang steril.
Tapi itu bukan satu-satunya. Di bawah rasa dingin itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang *hangat* dan samar. Sebuah denyutan. Seperti mesin besar yang tidur berkilo-kilometer di bawah bumi.
Dan dia mendengar sesuatu. Bukan di telinganya. Tapi di dalam kepalanya.
Bukan musik yang didengar "Si Tuli". Bukan teriakan.
Itu adalah bisikan.
Bisikan matematis.
*...garis bertemu titik... sudut membelah bidang... struktur menuntut keseimbangan...*
Dia bisa "melihat"-nya dengan mata terpejam. Garis-garis *blueprint* oranye, tapi kali ini jauh lebih rumit, berputar-putar dalam kegelapan di balik pintu kayu itu.
"Ra?" Suara Reza terdengar cemas. "Ra, tanganmu... gemetar."
Rania membuka matanya. Dia menarik tangannya seolah-olah baru saja menyentuh api.
"Ini bukan ruang bawah tanah," katanya, suaranya mantap, nadanya dingin dan analitis. "Ini bukan gudang jamur."
Dia menatap Reza, dan untuk pertama kalinya, Reza melihat cahaya oranye redup yang berkedip sesaat di dalam pupil mata temannya.
"Itu," kata Rania, "adalah 'Titik Buta' pertamaku."
Dia mengangguk pada Reza. "Buka pintunya."