NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23

KANTOR PT BUMI ATMAJA NICKEL - SENIN PAGI

Layar komputer di ruang kerja Karmel memancarkan cahaya yang suram, memantul pada wajahnya yang pucat. Laporan keuangan triwulan terakhir terpampang di monitor, dan setiap baris angka bagai deretan nisan kecil yang mengubur harapan. Krisis itu datang bagai badai tanpa peringatan.

Dua kontrak pengiriman nikel ke mitra di Jepang dan Korea batal sepihak karena perusahaan Atmaja dianggap gagal memenuhi deadline kualitas akibat masalah teknis di pabrik pengolahan. Satu kapal pengangkut yang penuh muatan tertahan di pelabuhan karena dokumen lingkungan yang tidak lengkap, menimbulkan denda yang menggerus kas perusahaan. Nilai kerugian sementara diperkirakan mencapai 40 miliar rupiah.

Sebagai Manager Pengembangan dan Operasional, Karmel memikul beban itu di pundaknya. Tomi Atmaja, sang pemilik, hampir hilang akal. Bima, sang Direktur Operasional, sibuk berkeliling ke lokasi tambang untuk memadamkan api di lapangan.

“Kita butuh suntikan dana segar, atau setidaknya jaminan pinjaman dari bank,” ujar Tomi dalam rapat darurat pagi itu, wajahnya menua sepuluh tahun dalam semalam. “Tapi dengan kondisi seperti ini, bank mana yang mau percaya?”

Karmel duduk termenung. Di kepalanya yang cerdas, hanya ada satu nama yang memiliki kredibilitas dan kekuatan untuk menyelamatkan mereka dalam waktu singkat: Hartono Jayawardhana. Mantan bosnya itu bukan hanya dihormati di dunia tambang, tapi juga memiliki hubungan baik dengan direksi beberapa bank besar. Rekomendasi darinya bisa membuka keran pendanaan.

Dengan hati berat, Karmel mencoba menghubungi Hartono. Telepon tidak diangkat. Ia mencoba lagi melalui sekretaris pribadi Hartono, yang biasa ia kenal baik.

“Maaf, Mbak Karmel,” suara sekretaris itu terdengar berat di telepon. “Bapak dan Ibu sedang tidak bisa dihubungi. Mereka sedang berlibur ke Swiss.”

“Berapa lama?” tanya Karmel, hati mulai berdebar tidak karuan.

“Sekitar tiga minggu. Dan…,” suara di seberang terdengar ragu, “ada instruksi khusus dari Pak Renzi untuk membatasi segala gangguan. Bahkan telepon penting sekalipun.”

Renzi.

Nama itu seperti pukulan di ulu hati. Karmel menutup telepon dengan gemetar. Dia segera memahami skenarionya. Renzi pasti sudah mendengar tentang masalah di perusahaan Atmaja. Dengan kecerdikan dan jaringan informasinya, itu bukan hal sulit. Dan kini, dengan liciknya, dia mengasingkan satu-satunya orang yang bisa membantu Karmel—dan satu-satunya orang yang mungkin punya pengaruh untuk menahannya—ke seberang benua.

Ini adalah jebakan yang sempurna. Dirancang dengan presisi oleh seorang jenius yang tahu setiap langkah dan kelemahan lawannya.

Karmel terduduk di kursinya, menatap gedung JMG yang megah dari balik jendela kantornya. Jarak antara kedua gedung itu tiba-tasa terasa seperti jurang yang tak terjembatani. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan itu membuat perutnya mual.

Dia harus menghadapi Renzi.

---

KANTOR WAKIL PRESIDEN JMG GROUP - SORE HARI

Karmel berdiri di depan pintu mahoni itu untuk pertama kalinya sejak dia mengundurkan diri. Rasanya seperti memasuki kandang harimau dengan sukarela. Dia menarik napas dalam, merapikan blazer biru tuanya, lalu mengetuk.

“Masuk.”

Suara itu masih sama. Dingin. Berwibawa. Menggetarkan.

Karmel membuka pintu. Renzi sedang berdiri di dekat jendela panoramik, membelakangi pintu, seolah sudah menanti kedatangannya. Dia perlahan berbalik. Senyum tipis yang itu—penuh kemenangan dan sikap merendahkan—menghiasi wajahnya.

“Karmel,” sambutnya, seolah ini adalah pertemuan bisnis biasa. “Aku dengar perusahaan Atmaja sedang dalam masalah besar.”

Karmel berusaha menahan segala emosi. Dia melangkah mendekat, meletakkan tas kerjanya di kursi tamu. “Kamu tahu kenapa aku di sini, Renzi.”

Renzi duduk di kursi kepalanya, menyilangkan kaki dengan santai. “Enlighten me.”

“Aku....” Karmel hampir saja tidak bisa mengucapkanya "butuh bantuan pak Hartono."

“Paps lagi nggak available,” ujar Renzi dengan pura-pura menyesal. “Sayang sekali. Mungkin lain waktu.”

“Kita nggak punya ‘lain waktu’!” suara Karmel sedikit meninggi, namun dia segera mengendalikan diri. “Renzi, ini serius. Ratusan karyawan bisa kehilangan pekerjaan. Perusahaan itu bisa bangkrut.”

Renzi mengamatinya, matanya yang tajam memindai setiap kecemasan di wajah Karmel. “Dan menurut kamu, apa untungnya buat aku? Atau buat JMG, untuk membantu pesaing?”

“Ini bukan tentang persaingan bisnis! Ini tentang…” Karmel berhenti, menelan kata-kata.

“Tentang apa, Karmel?” Renzi mendesak, suaranya rendah dan berbahaya. Dia bangun, berjalan perlahan mengelilingi meja, mendekatinya. “Tentang fakta bahwa kamu akhirnya kembali ke sini? Karena butuh aku?”

Karmel menahan napas saat Renzi kini berdiri sangat dekat. Aroma parfumnya, wewangian mahal yang dulu ia pilihkan, menyergap indranya, membangkitkan ribuan kenangan.

“Aku… aku meminta bantuanmu,” ucap Karmel akhirnya, kata-kata itu terasa seperti kekalahan pahit di lidahnya. “Sebagai profesional. Atas nama kemanusiaan.”

Renzi tertawa pendek, sinis. “Kemanusiaan? Di dunia ini, Karmel, segala sesuatu ada harganya.” Tangannya tiba-tiba menyentuh pipi Karmel, membuatnya menegang. “Kamu tahu harga yang aku mau.”

Karmel menatap matanya yang gelap. Di dalamnya, dia tidak melihat belas kasihan, tidak melihat ketulusan. Yang ada hanyalah kalkulasi dingin dan nafsu untuk menguasai. Renzi telah memanipulasi segalanya—mengirim orang tuanya pergi, memblokir aksesnya, dan menunggu dengan sabar sampai Karmel terjepit dan datang sendiri.

Dan yang paling menyakitkan, itu berhasil.

Dengan perasaan terkalahkan yang dalam, Karmel perlahan mengangguk. “Apa… syaratnya?”

Senyum Renzi melebar, senyum puas dari seorang pemenang yang akhirnya mendapatkan apa yang diinginkannya setelah berburu lama. “Kita akan membicarakannya. Dengan detail.”

Di ruangan mewah itu, dengan kota Jakarta sebagai latar belakang, Karmel menyadari satu hal: dia baru saja memasuki perjanjian dengan iblis. Dan harga yang harus dibayarnya mungkin jauh lebih mahal daripada sekadar menyelamatkan sebuah perusahaan.

***

Udara di ruangan kerja Renzi terasa dingin, bukan hanya karena AC sentral yang menyala maksimal, tapi juga karena ketegangan yang memenuhi setiap sudutnya. Karmel berdiri di hadapan meja kerjanya yang luas, kedua tangannya menggenggam erat tepi kursi kulit. Matanya yang biasanya penuh keyakinan kini redup, menatap lantai marmer berkilau.

Renzi duduk di kursi kepalanya, jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni dengan ritme yang teratur. Di hadapannya terbentang beberapa dokumen—laporan keuangan PT Bumi Atmaja Nickel yang sudah ia analisis dengan cermat, proposal restrukturisasi utang, dan draft perjanjian kerjasama.

"Jadi, begini rencananya," ujar Renzi, suaranya datar seperti sedang mempresentasikan strategi bisnis biasa. "Pertama, JMG akan menjadi penjamin utama untuk pinjaman darurat senilai 50 miliar rupiah dari Bank Mandiri. Aku sudah bicara dengan direksinya, mereka setuju dengan syarat JMG sebagai guarantor."

Karmel mengangguk pelan, tidak mengangkat pandangannya.

"Kedua," lanjut Renzi, mengambil selembar kertas lain, "kontrak dengan mitra Jepang dan Korea akan direvisi. Aku sudah hubungi langsung CEO-nya. Mereka bersedia memberi perpanjangan waktu tiga bulan, dengan catatan JMG akan menyediakan konsultan teknis untuk membantu menyelesaikan masalah kualitas."

"Ketiga," jari Renzi menunjuk ke dokumen ketiga, "masalah dokumen lingkungan di pelabuhan. Tim hukum JMG sudah bergerak. Mereka akan mengurus semua kekurangan dokumen dan bernegosiasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengurangi denda. Kapal bisa berangkat minggu depan."

Setiap kata yang keluar dari mulut Renzi adalah solusi, tetapi bagi Karmel, setiap solusi itu terasa seperti jerat yang semakin mengencangkan lehernya. Renzi telah mengerahkan seluruh sumber dayanya—koneksi, pengaruh, uang—dengan efisiensi yang mengagumkan. Dalam waktu hanya tiga hari, apa yang mustahil bagi PT Bumi Atmaja Nickel menjadi mungkin berkat nama besar Jayawardhana.

"Dan sebagai imbalan?" tanya Karmel akhirnya, suaranya serak.

Renzi tersenyum tipis, senyum yang membuat Karmel bergidik. "Kamu kembali ke JMG."

"Dan kalau aku menolak?" Karmel mencoba, meski tahu jawabannya.

Renzi menggeleng, matanya menyipit. "Kamu nggak punya pilihan, Mel. Atau perusahaan Atmaja bangkrut, ratusan karyawan kehilangan pekerjaan, Tomi dan Bima kehilangan segalanya." Renzi menyeringai. "Atau kamu kembali ke sini, dan mereka selamat."

Pilihan itu bukan pilihan sama sekali. Itu adalah pemerasan yang diselimuti balutan bantuan profesional. Karmel menarik napas dalam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Dia melihat ke luar jendela, ke arah gedung PT Bumi Atmaja Nickel yang berdiri tak terlalu jauh dari sana. Di sanalah dia membangun kembali kepercayaan dirinya, menemukan penghargaan sejati atas kemampuannya, dan merasakan perhatian tulus dari Bima.

Tapi sekarang, semua itu harus dia tinggalkan.

"Oke," bisik Karmel, suaranya hampir tak terdengar. "Aku setuju."

Renzi mengangguk puas. "Pintar. Besok kamu bisa mulai membereskan barang-barangmu di Atmaja. Senin depan, kantormu di sini sudah siap."

1
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!