Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Suatu malam, sesi belajar berakhir lebih awal. Rayyan hendak berpamitan pada Gio di kamarnya. Saat melewati lorong menuju kamar Gio, pintu kamar Jessy yang terbuka sedikit membuatnya melirik ke dalam.
Jessy terbaring di atas tempat tidur balunya yang besar, mengenakan piyama sutra. Ponselnya diletakkan di atas bantal, dan di layar terlihat wajah Zean yang sedang tersenyum. Jessy tertawa geli, wajahnya bercahaya di cahaya layar.
"Jangan ah, Zean, kamu nyebelin!" katanya dengan suara manja yang membuat Rayyan merasa seperti disiram air dingin. Itu adalah nada yang dulu pernah ia gunakan padanya.
"Beneran kok, Jes. Besok aku jemput jam berapa? Jangan lupa ya, aku udah reservasi tempat yang bagus," suara Zean terdengar jelas dari speaker ponsel.
Rayyan tidak bisa bergerak. Dia berdiri di sana, di lorong yang gelap, menjadi penonton penderitaannya sendiri. Dia mendengar rencana mereka untuk besok, mendengar nada mesra dalam suara mereka, dan melihat bagaimana Jessy terlihat begitu... terpikat.
Dia merasa seperti penyusup di kehidupan Jessy yang baru. Sebuah kehidupan di mana tidak ada lagi ruang untuknya.
Dia akhirnya berbalik dan berjalan pergi dengan langkah gontai, meninggalkan suara tawa Jessy yang masih terdengar samar. Di perjalanan pulang dengan motornya, angin malam tidak mampu mendinginkan rasa panas di dadanya. Setiap adegan yang ia saksikan selama beberapa hari ini berputar di kepalanya, seperti film tragis yang diputar berulang-ulang.
Rasa cemburu itu bukan hanya tentang Zean. Ini tentang rasa kehilangan yang mendalam. Ini tentang menyaksikan orang yang paling ia cintai bergerak maju dengan hidupnya, sementara ia terjebak dalam kenangan dan penyesalan, hanya bisa menjadi penonton bisu dari pinggir jalan, dengan hati yang terbakar hebat oleh api kecemburuan dan rasa sakit yang tak tertahankan.
***
Siang itu di Starlight Entertiment, gedung berlantai kaca yang menjulang, Jessy sedang duduk di ruang meeting mewah. Sofa kulitnya empuk, udara dingin AC berhembus sempurna, dan di depannya terpampang storyboard video klip untuk penyanyi anyar yang akan dia bintangi. Deri, sang paman, dengan sigap menjabarkan konsep. Tapi konsentrasi Jessy buyar oleh suara gaduh yang tiba-tiba memecah kesunyian koridor—teriakan, langkah kaki bergegas, dan kemudian, suara yang membuat darahnya membeku.
"Udah, cepet telepon ambulan!"
Jantung Jessy berdebar tak beraturan. "Ada apa, Om?" tanyanya pada Deri, suaranya lebih tinggi dari biasanya.
Deri mengerutkan kening. "Nggak tau. Biar Om cek." Pria paruh baya itu bergegas berdiri.
Tanpa pikir panjang, Jessy mengikutinya. Heels mahalnya berdecit kencang di lantai marmer yang mengilap, mengiringi langkah Deri yang cepat. Seorang staff Starlight muda berdiri dengan wajah pucat pasi, tangannya gemetar memegang ponsel.
"Ada apa?" tanya Deri, suaranya tegas.
"Ada... ada kecelakaan, Pak. Di atas. Di atap. Itu... teknisi yang lagi pasang panel surya," jawab staff itu, napasnya tersengal.
Jessy tercekat. Sebuah firasat buruk menjalar di sekujur tubuhnya, dingin dan menusuk. "Siapa?" desisnya, suara itu nyaris tak keluar dari kerongkongannya yang kering.
"Siapa, ya, tadi namanya? Lupa..." ujar staff itu, masih terbawa kepanikan.
Sebelum Deri atau siapa pun bisa menahannya, Jessy sudah berbalik dan menyambar tombol lift. Jarinya yang terawat menekan tombol 'Atap' berulang kali, seolah bisa mempercepat laju lift. Di dalam bilik yang sempit, dia bisa mendengar dentuman jantungnya sendiri, berdebar kencang bagai genderang perang. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama: Rayyan.
Ini tidak mungkin. Itu pasti bukan dia.
Begitu pintu lift terbuka, angin siang yang panas dan terik menyambutnya. Atap gedung yang luas dipenuhi dengan kerumunan orang yang panik. Dan di sana, di antara panel-panel surya yang berkilauan tertimpa sinar matahari, terbujurlah sebuah sosok yang terlalu dia kenal.
Rayyan.
Dunia seolah bergerak dalam gerak lambat. Jessy terpaku di tempatnya, kakinya bagai ditambatkan ke lantai beton. Rayyan, pria tegap dan selalu terkendali itu, kini terbaring lemah di atas debu dan kotoran atap. Darah merah pekat mengalir dari sebuah luka di pelipis kanannya, membasahi rambut hitamnya yang biasanya rapi dan menodai kulitnya yang kuning langsat. Tapi yang membuat dadanya sesak adalah tangan kiri Rayyan—terhimpit di bawah sebuah inverter panel surya yang besar dan berat, logam yang seharusnya menjadi bagian dari proyek cerdasnya, berubah menjadi perangkap yang kejam.
Beberapa staff berusaha mengangkat benda berat itu dengan susah payah, wajah mereka menegang oleh usaha dan kepanikan. Suara mereka yang berteriak-teriak koordinasi terdengar sayup di telinga Jessy.
"Rayyan..."
Nama itu keluar dari bibirnya seperti rintihan. Segala kesombongan, arogansi, dan pertahanannya runtuh dalam sekejap. Dia berlari, menjatuhkan diri berjongkok di sampingnya, mengabaikan debu yang mengotori rok putihnya yang mahal.
"Rayyan... Kenapa begini?" suaranya bergetar, pecah oleh isakan yang tak bisa lagi ditahannya. Air mata panas mengalir deras di pipinya, menetes dan jatuh ke lengan Rayyan yang terbaring.
Rayyan mengerang kesakitan. Matanya yang seperti dark coffee itu terbuka setengah, berkabut oleh rasa sakit yang luar biasa. Garis rahangnya yang tegas mengeras, menahan rintih yang ingin keluar. Meski dalam penderitaan, ketampanannya yang klasik tak pudar, justru terlihat lebih vulnerabel dan menyentuh.
"Jess..." gumannya, suaranya serak, hampir tak terdengar. Dia mencoba mengangkat tangan kanannya yang bebas, mungkin untuk menyentuhnya, tapi tak cukup kuat.
"Jangan bergerak," bisik Jessy, tangannya dengan lembut menyentuh pipi Rayyan, mengusap darah yang mengering di pelipisnya. Sentuhannya penuh dengan kelembutan yang tak pernah dia tunjukkan sebelumnya. "Ambulannya bentar lagi datang. Tahan ya."
Dia melihat ke arah para staff yang masih berjuang. "Tolong... tolong angkat itu!" teriaknya, suaranya mengandung keputusasaan yang dalam.
Akhirnya, dengan satu tarikan napas bersama, para staff berhasil mengangkat dan menggeser inverter berat itu dari tangan Rayyan.
Jessy menahan napas.
Lengan kiri Rayyan tampak mengerikan. Lengan bajunya yang sederhana sobek dan compang-camping, memperlihatkan kulit yang memar lebam, berwarna ungu kebiruan dan merah darah. Ada yang tidak wajar dengan bentuknya; tulang di bagian lengan bawah tampak tidak pada tempatnya, menunjukkan fraktur yang parah. Kulitnya terkoyak di beberapa tempat, mengucurkan darah yang membuatnya mual. Itu adalah pemandangan yang mengerikan, sebuah kontras yang menyakitkan dengan tangan yang sama yang biasanya dengan lincah merangkai sirkuit rumit dan menulis persamaan matematika di papan tulis.
"Tangan kamu..." bisik Jessy, tangannya menutup mulutnya yang gemetar. Rasa bersalah yang tiba-tara dan dalam menyergapnya. Dia membayangkan betapa berharganya tangan itu bagi Rayyan—untuk studinya, proyek-proyeknya, masa depannya.
Rayyan memejamkan matanya, menahan gelombang sakit yang lebih besar yang datang setelah tekanan itu hilang. Keringat dingin membasahi dahinya. Tapi bahkan dalam keadaan seperti ini, dia masih mencoba untuk tenang, untuk tidak membuat Jessy semakin panik. Itu adalah wujud cintanya yang diam-diam—melindunginya bahkan ketika dirinya sendiri sedang terluka.
Jessy meraih tangan kanannya yang dingin dan menggenggamnya erat. Di tengah kekacauan, sorot lampu ambulance yang mendekat dari kejauhan memantul di air matanya, sementara dia tak bisa melepaskan pandangan dari pria yang dia cintai, yang kini terbaring lemah di pelukannya, dengan masa depannya yang cerah tiba-tara dipertaruhkan oleh sebuah kecelakaan yang mengerikan.
kudu di pites ini si ibu Maryam