"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Bunyi alarm terus berdering, memaksa sang empunya untuk membuka mata meski rasanya belum lama terlelap. Renata mengerjapkan mata lalu tangannya terulur pada jam weker diatas nakas dan mematikan alarmnya. Raga yang masih ingin kembali menikmati empuknya kasur ia enyahkan, sebab ada kewajiban yang harus segera dilaksanakan.
Ia bangkit memunguti pakaiannya dan milik Fauzan yang berceceran dilantai kemudian memakainya dengan asal hanya untuk menutupi tubuhnya menuju kamar mandi. Sedangkan pakaian Fauzan ia letakkan di tepi ranjang.
Setelah berkutat selama lima belas menit di dalam kamar mandi, Renata kembali keluar dengan wajah yang lebih segar. Ia melangkah menuju ranjang untuk membangunkan Fauzan.
"Mas, bangun sudah hampir jam lima!" Ia mengguncang perlahan tubuh suaminya yang terbalut selimut, dan mengulanginya hingga dua kali sampai Fauzan membuka mata. Dengan sigap ia segera menjauhkan diri dari jangkauan suaminya, untuk menjaga wudhu. "Bangun dulu nanti subuhnya ketelatan, aku sholat duluan ya." Pamitnya seraya menggelar sajadah.
Setelah menyelesaikan sholat subuhnya, Fauzan menuntun Renata yang tengah menyiapkan pakaian kerjanya untuk kembali naik ke atas tempat tidur. Masih ada waktu satu jam untuk mengobrol sebelum istrinya turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. "Sayang, gimana di rumah sakit?" Fauzan menarik sang istri supaya berbaring di dadanya, posisi yang sangat disukai Renata.
"Emm, Alhamdulillah semua lancar dan pasien juga sekarang enggak sebanyak bulan kemarin. Tapi aku capek, pengen liburan dulu mas. Kapan kita punya waktu?" Keluh Renata sembari membenamkan wajahnya di dada Fauzan.
Fauzan membuang napas, tangan kokohnya mengusap punggung Renata. "Kalau untuk sekarang kita tidak mungkin bisa liburan dulu. Tak etis jika dalam masa berduka kita malah liburan." Tuturnya lembut penuh hati-hati, ia tahu selama menikah ia jarang punya waktu khusus untuk berlibur mengingat dirinya yang sibuk menangani proyek perusahaan yang kian berkembang pesat.
"Mas, yang aku maksud itu bukan harus sekarang. Iya kali kita liburan padahal Fajar belum ada satu Minggu meninggalkan kita. Maksud aku setidaknya kita mulai mengatur jadwal kerja kita dan mencari tempat tujuan kita akan libur kemana? masa iya kita sudah menikah tiga tahun tapi belum pernah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk kita berdua, kita juga butuh waktu tak melulu soal uang." Renata menjauhkan wajahnya dari dada sang suami, sedikit kesal dengan Fauzan yang seolah tidak mengerti maksudnya.
Menyadari itu, Fauzan segera menarik Renata supaya kembali ke tempat semula. "Iya nanti kita pikirkan lagi setelah selesai urusan almarhum. Kamu mau kan? mas janji!" Pungkasnya mengakhiri pembahasan tentang liburan yang sama sekali belum ada dibenaknya, namun ia juga tak ingin mengecewakan Renata. Terlebih istrinya itu selama ini tak pernah protes ia menafkahi keluarganya di Bandung.
Renata hanya diam tak menyahut, tak ingin memperpanjang masalah di tengah keintiman mereka yang baru saja dirasakannya setelah beberapa hari sendirian.
.
.
.
Tepat jam tujuh setelah menyelesaikan sarapannya, Fauzan pamit berangkat ke kantor. Renata mengantarkan sampai teras.
Setelah memastikan Fauzan tak terlihat oleh pandangannya, Renata Kembali masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya.
Tak peduli sang penunjuk waktu masih berada di antara angka tujuh dan delapan, namun kondisi mata dan tubuh sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Semalam mungkin ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Sebab baik dirinya maupun Fauzan sama-sama saling mencurahkan rindu yang menggebu dan harus di tuntaskan setelah satu Minggu tak bersua melupakan kondisi tubuhnya yang kurang fit.
.
.
.
Berbeda dengan Renata yang baru mau tenggelam ke alam mimpi. Dokter Sony mengerjapkan mata saat merasakan silau yang berasal dari sinar matahari yang masuk melalui jendela yang baru saja dibuka oleh sang mama.
"Kalau mama enggak buka gorden sama jendelanya, kamu enggak bangun-bangun!"
"Ini jam berapa ma?" Dokter Sony menyibakkan selimutnya kemudian beringsut turun dari ranjang, namun baru saja kakinya hendak menginjak lantai ia menoleh kearah jam dinding. "Astaghfirullah! ma, anak-anak sudah berangkat?" ia meraup wajahnya, baru kali ini ia tidur dari selepas subuh sampai bangun jam delapan dan tidak bisa mengantar sekolah kedua putrinya.
"Embun sama Mentari sudah berangkat dari satu jam lalu. Tadi Mentari sempat merajuk, dan akhirnya papa yang antar mereka sekolah." Ibu Retno duduk di tepi ranjang menatap raut sang putra yang terlihat penuh sesal. "Kalau Embun kan sudah besar, dia ngerti kalau kamu lelah, tapi Mentari tahu sendiri dia gimana. Makanya kamu sebaiknya cari pendamping lagi, lima tahun sudah cukup lama menyendiri bagi seorang laki-laki." Tuturnya panjang lebar namun dengan nada hati-hati.
Untuk pertama kalinya ia meminta sang putra untuk kembali membuka hati dan mencari pendamping.
"Bukan untuk menggantikan Fany, karena sampai kapanpun ia tetap ibu anak-anakmu dan takkan tergantikan. Tapi, untuk menyempurnakan kebahagiaan kamu dan anak-anak. Hidup tetap berjalan, dan usiamu juga sudah tak lagi muda. Mama juga sudah tua, enggak mungkin mama dan papa bisa mendampingimu dan anak-anak selamanya." Tutur bu Retno sendu.
"Maa..." Dokter Sony yang hendak melangkah ke kamar mandi mengurungkan niatnya, ia menghampiri sang mama lalu memeluknya.
"Bukan harus sekarang. Karena mencari pasangan tak seperti mencari barang, apalagi kamu yang sudah memiliki anak. Carilah perempuan yang tepat yang tak hanya mencintaimu tapi bisa menerima Embun dan Mentari, mama tidak akan mempermasalahkan dari mana dia berasal yang penting bisa menjadi ibu yang baik. Bagimu kalau hanya untuk mencari istri tidak akan susah dengan apa yang kamu miliki sekarang, tapi kebahagiaan dan masa depan anak-anak adalah nomor satu. Jangan sampai dia memiliki ibu hanya untuk formalitas setelah kehilangan sosok ibu kandungnya."
Tutur bu Retno lembut, tangannya mengusap punggung putra semata wayangnya.
"Oke mam! satu atau dua tahun lagi lah. Sekarang mau fokus dulu karier dan anak-anak." Sahut dokter Sony santai, ia tak ingin buru-buru mencari pasangan terlebih dirinya bukanlah bujang yang belum pernah merasakan rumah tangga. Bukan karena trauma, tapi ia ingin ketika sudah waktunya kembali membina rumah tangga baik dirinya maupun anak-anak sudah siap menerima kehadiran orang baru tanpa ada masa lalu yang membayangi.
"Dua tahun kelamaan, satu tahun saja." Pungkas Bu Retno seraya berdiri, "Sekarang kamu sudah 43 tahun Son."
"Not bad, mam! aku masih gagah dan fit lho." Seloroh dokter Sony seraya menaikkan lengan kaosnya memperlihatkan otot yang menonjol demi menghalau ketegangan.
Melihat tingkah konyol sang putra yang hanya ditunjukkan di depannya saja Bu Retno menggeleng, "Cepat turun sarapan dulu." Ucap paruh baya tersebut sembari membuka pintu, lalu kembali menoleh kearah dokter Sony sebelum akhirnya menutup pintu.
Sepeninggal sang mama, dokter Sony hanya menghembuskan napas. Bagaimana bisa aku secepatnya menikah lagi kalau Embun belum mau memiliki ibu sambung gumamnya sambil melangkah menuju kamar mandi. Namun tanpa sengaja ekor matanya menatap kearah paperbag yang belum sempat ia buka dan berada paling atas diantara tumpukan kado lainnya yang semuanya sudah dibuka oleh kedua putrinya kemarin sebelum ia berangkat kerja.
Langkahnya berhenti lalu tangannya terulur mengambil jinjingan tersebut dan mengeluarkan kado yang ia terima dari Renata.
Dengan teliti ia membukanya, decak kagum keluar dari bibirnya saat benda yang terbungkus itu berupa sebuah sweater berwarna dark grey warna favoritnya.
Perlahan ia melepas kaosnya lalu mencoba sweater dan ternyata pas di tubuhnya. Tak berselang lama pria itu kembali melepasnya dan mencoba satu persatu kado yang sama sekali tidak diharapkannya. Ia mengundang rekan sejawat dan para bawahannya makan-makan murni sebagai ungkapan syukur atas nikmat usia yang masih membersamai raganya.
.
.
.
"Nak, apapun yang terjadi kedepannya ibu minta kamu tetap di sini tinggal sama ibu dan bapak. Jangan pisahkan ibu sama si kembar." Lagi-lagi kalimat itu keluar dari bibir Kartika pada Sophia saat keduanya tengah mengajak si kembar bermain di kamarnya.
Mendengar permintaan ibu mertuanya yang entah ke berapa kalinya. Sophia yang tengah menunduk fokus pada Azka kini menegakkan tubuhnya beralih menatap Kartika. "Bu, ibu tidak usah khawatir, Sophi enggak mungkin misahin ibu dari si kembar. Tapi untuk tetap tinggal dan diam saja itu tidak mungkin, setelah selesai seratus hari nanti aku akan mulai mencari pekerjaan. Kebutuhanku dan si kembar banyak, tidak mungkin aku terus-menerus mengandalkan ibu." Ucap Sophia hati-hati, ia tak ingin ibu mertuanya salah paham.
"Tidak masalah, karena memang itu sudah kewajiban ibu sama bapak dan juga Fauzan. Sekarang dia yang menjadi ayah si kembar menggantikan tanggung jawab almarhum."
"Tapi Bu, mas Zan sudah punya keluarga sendiri." Ucap Sophia lirih.
"Iya. Ibu tahu, tapi satu hal yang harus semua tahu. Si kembar cucu ibu dan bapak, tidak ada bekas cucu meskipun anak ibu sudah pergi meninggalkan kita. Tapi jika Fauzan pisah sama Renata mereka hanya akan jadi mantan."
"Bu... Nauzubillahi mindzalik! jangan sampai itu terjadi, mbak Renata sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Dia orang baik." Sela Sophia sontak menggelengkan kepalanya, ia kaget mendengar ucapan ibu mertuanya yang berpikir terlalu jauh dan membayangkan hal buruk pada rumah tangga kakak iparnya sungguh itu sangat berlebihan.
"Ibu hanya mengibaratkan, bukan mendoakan." Ujar Kartika terlihat santai.
"Tapi ibu kan ibunya mas Zan, ucapan adalah do'a apalagi keluar dari ibu."
"Sudah, tidak usah dipikirkan! kamu fokus pada si kembar, jaga kesehatanmu jangan sampai banyak pikiran karena itu akan mempengaruhi kadar dan kualitas ASI." Kartika menciumi wajah Azka dan Azkia bergantian kemudian ia memanggil art yang dikhususkan untuk membantu Sophia menjaga si kembar.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌