"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 9
...Hari ini, hatiku bersinar lebih cerah dari cahaya mentari yang terik....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
POV Tiara
Pikiranku sudah mulai menjalar ke mana-mana, memikirkan apa yang Senja ketahui tentang Mas Arkan. Apakah selama ini dia berselingkuh di belakangku? Jika memang iya, aku jelas merasa kecewa dan sakit hati. Pernikahan kami yang dijodohkan tanpa cinta tampaknya telah menjadi penjara bagiku. Jika dia ingin bersama wanita lain, seharusnya dia memberiku kunci agar kami bisa sama-sama bebas dari rantai status yang mengikat.
Melihat Senja yang terus kunjung menggantung ucapannya, aku akhirnya bertanya dengan rasa penasaran yang memuncak, "Senja, kenapa diam saja? Ayo katakan, apa yang kamu ketahui tentang suamiku?"
Senja masih diam sejenak, lalu kemudian berkata, "Tiara... maaf jika aku harus mengatakan ini. Aku harap kamu tidak membenciku karena mengatakannya."
"Tidak akan. Ayo cepat katakan," desakku, kesabaranku mulai terkikis.
"Serius kamu tidak akan marah?" tanyanya lagi, membuatku menarik napas dalam. "Iya, aku janji tidak akan marah, apa pun yang terjadi," jawabku penuh harap, semoga apa yang akan Senja katakan bisa membawaku keluar dari penjara dunia yang bernama pernikahan.
"Sebenarnya... aku tahu kalau suamimu itu... laki-laki," katanya, membuatku merasa tercengang. Tapi sebelum aku bisa bereaksi, Senja langsung tertawa terbahak-bahak, membuatku tersadar bahwa Senja telah berhasil mengerjaiku.
"Tiara... Tiara, kamu itu lucu sekali. Aku cuma bercanda, tapi kamu malah setegang itu," katanya sambil masih tertawa. Aku yang merasa kesal sekali sudah dikerjai, refleks memukul lengannya dengan keras.
"Dasar kamu. Bercandamu sama sekali tidak lucu!" kataku, jengkel sekaligus malu. Senja terus tertawa, tidak peduli dengan kemarahanku. Aku memukul lengannya lagi, kali ini lebih keras.
"Kamu memang sengaja, ya? Mau lihat aku marah-marah?" kataku. Senja tertawa semakin keras, sambil memegangi lengannya. "Ah, sakit! Pukulanmu keras sekali!" Aku tidak bisa menahan senyum, melihat Senja yang masih tertawa dan memegangi lengannya.
Senja akhirnya berhenti tertawa dan menatapku dengan mata yang berkilauan. "Katamu tadi tidak akan marah apa pun yang terjadi, tapi pukulanmu ini apa namanya?"
"Itu karena kamu memang pantas dihajar," kataku.
"Hei, aku hanya ingin menghiburmu. Aku yakin, kami pasti sudah lama tidak merasa seperti ini," ucapnya diiringi senyuman.
"Merasa seperti ini? Maksudnya?" Keningku berkerut, sambil menatapnya penuh tanya.
Bukannya menjawab dan memberi penjelasan, Senja justru bangkit dari duduknya. "Aku harus pergi sekarang," katanya, menatap arlojinya sekilas.
Aku mendongak, menatapnya tanpa sepatah kata pun. Kemudian dia tersenyum, melambaikan tangan, dan aku refleks tersenyum kembali. Senyumnya itu seperti virus: menular.
Setelah Senja pergi, aku terus berpikir tentang "merasa seperti ini" yang dia maksud. Aku coba bertanya pada diri sendiri, apa yang kurasakan saat ini? Dan setelah coba kuresapi, sekarang aku merasa lebih relax, lebih bersemangat, dan... merasa lebih bahagia. Seperti segalanya telah melakukan isi ulang daya hingga penuh. Tapi... tunggu-tunggu, apakah ini ada hubungannya dengan Senja? Apakah aku merasa seperti ini karena berinteraksi dengannya?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam ini aku tidak bisa tidur, jadi aku memutuskan untuk keluar kamar dan mengajak Reyhan mengobrol. Sebelum itu, aku mengintip Ardhan yang sudah terlelap di dalam kamarnya. Jam sudah menunjuk angka 21.35, jika seperti biasa, seharusnya aku sudah terlelap sejak tadi. Namun, kali ini rasanya aku tidak bisa memejamkan mata, tidak tahu apa penyebabnya.
Aku membuka pintu kamar Reyhan sedikit, memanggil namanya dengan lembut. "Rey..." tetapi, niatku untuk mengajaknya mengobrol harus tertunda ketika aku mendengar suara seorang gadis yang berasal dari ponsel adikku. Sepertinya Reyhan sedang asyik mengobrol dengan pacarnya.
"Iya, Cantikku, Manisku, besok aku jemput, ya...." Begitu kata Reyhan.
Aku yang tidak bisa menahan senyum lalu menggelengkan kepala sambil menutup kembali pintu kamarnya dengan hati-hati. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar, tidak ingin mengganggu Reyhan yang sedang sibuk dengan pacarnya.
Setelah berbaring di kasur, aku membuka Instagram untuk menghabiskan waktu hingga rasa kantuk menghampiri. Dan tiba-tiba, postingan dari @Senja25 muncul di beranda teratas, seolah dia hadir untuk memberiku sambutan. Aku langsung terfokus ketika melihat wajah Senja yang tersenyum cerah di layar ponselku.
Aku tersenyum dan tanpa sadar ikut menyanyi mengikuti lagu Andai Dia Tahu dari Kahitna yang menjadi backsound postingan itu. "Mungkinkah dia jatuh hati, seperti apa yang kurasa. Mungkinkah dia jatuh cinta, seperti apa yang ku damba."
Eh, lirik lagu itu... apakah Senja sedang jatuh cinta pada seseorang? Apalagi wajahnya nampak berseri-seri. Seketika aku bertanya-tanya dalam hati, tapi kemudian berpikir... untuk apa juga aku peduli? Jatuh cinta adalah haknya sepenuhnya.
Aku memutuskan untuk berhenti memikirkan hal itu dan melanjutkan scrolling reels Instagram. Namun, aku seketika dikejutkan oleh suara Mas Arkan yang tiba-tiba muncul. "Foto siapa tadi itu yang kamu lihat?" Aku yang terkejut refleks mengunci layar ponsel dan berbalik menatapnya.
Kulihat Mas Arkan sedang melepas dasi lalu membuka kancing kemejanya satu per satu. Entah sejak kapan dia pulang. Aku bahkan tidak menyadari ketika dia masuk ke dalam kamar.
"Bukan foto siapa-siapa. Hanya postingan teman yang kebetulan muncul saat aku membuka aplikasi," jawabku sesuai kenyataannya. Kemunculan Mas Arkan itu membuatku kehilangan selera untuk melanjutkan scrolling, dan lebih memilih untuk mencoba memejamkan mata.
Aku berbaring menyamping membelakangi Mas Arkan. Toh setelah ganti baju dia juga akan keluar dan tidur di kamar Ardhan, seperti biasa setelah dia kembali dari dinas luar kota. Namun kali ini berbeda, Mas Arkan tidak langsung pergi. Dia berjalan mendekatiku lalu duduk di dekat kakiku.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara yang lembut. Aku membuka mata, menatapnya dengan sedikit heran. Entah apa yang merasuki pria ini sehingga tiba-tiba berubah 180 derajat setelah 3 hari baru pulang ke rumah.
"Aku baik-baik saja," jawabku singkat, lalu bangun dari posisi berbaring dan bersandar pada sandaran tempat tidur.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," ucapnya tersenyum tipis, membuatku menatapnya semakin heran dan bertanya-tanya, jangan-jangan Mas Arkan salah minum obat, sehingga otaknya jadi sedikit geser.
Aku merasa ada yang tidak beres dengan senyum tipisnya itu, seperti ada lelucon yang hanya dia yang tahu. Seingatku, terakhir kali dia berbicara lembut padaku saat kami berdua saja, yaitu saat dia membujuk ingin mengajakku 'iya-iya'. Kalau benar, akan kuhantam dia pakai bantal. Bisa-bisanya lembut pas ada maunya saja, giliran tidak ada, nada bicaranya malah dingin dan ketus. Meski aku sadar betul dia suamiku yang sah, tapi aku tetap tidak suka dan tidak terima dijadikan pelampiasan. Toh setelah mendapatkan apa yang dia mau, dia kembali ke setelan awalnya.
"Sebenarnya... aku ingin membicarakan hal penting denganmu," ucapnya kemudian.
"Hal penting apa?" tanyaku penasaran, sambil menatapnya dengan curiga sekaligus jaga-jaga.
Tiba-tiba, ponselku bergetar di atas kasur. Sebuah pesan masuk di WhatsApp. Aku langsung meraih dan memeriksanya. Kudapati pesan yang membuat jantungku seketika berdebar lebih cepat.
Senja: Selamat malam, Tiara. Apa kamu sudah tidur?
Aku merasa seperti tersengat listrik ketika membaca pesan itu. Kenapa juga Senja tiba-tiba mengirimiku pesan di jam segini, dan diwaktu yang bersamaan Mas Arkan juga kebetulan ada di dekatku.