Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. KEPERGIAN SANG IBU
"Aku tidak tahu kek.... Aku baru mengenalnya dan bertemu dengannya baru dua kali ini." ucapku dengan suara yang bergetar menahan tangis.
Kakek menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Bak seekor elang yang siap menerkamku kapan saja. Dicengkeramnya lenganku dengan begitu kuat. Aku hanya bisa menangis terisak menahan rasa kesakitanku.
"Bagus sekali, baru dua kali pertemuan dan kau bisa seranjang dengannya. Apa pria itu memberimu seluruh isi dunia hingga kau dengan gampangnya memberikan mahkotamu kepadanya?" ucap kakekku dengan penuh penekanan. Sorot matanya merah menyala.
"Tapi kek aku... " ucapanku tertahan tatkala tangan kakekku menampar dengan begitu kerasnya.
Plaaakkkk....
Panas dan perih... Itulah yang aku rasakan saat ini. Bahkan sudut bibirku pun robek dibuatnya. Tangannya yang kasar pun mencengkeram leherku dengan begitu kuat.
Sesak.... Seketika pasokan oksigenku pun terasa berhenti saat itu juga. Dengan cepat ibu dan Embun berlari ke arahku, berusaha menghentikan pergerakan kakekku yang tentu saja bisa membunuhku saat itu juga.
"Ayah hentikan.... Aku mohon ayah.. Ayah bisa membunuhnya." teriak ibuku dengan begitu histeris.
"Kakek hentikan... Dengan kakek membunuh kak Naya, berarti kakek membunuh bayi itu juga. Bayi itu tidak bersalah kek. Aku mohon... Hentikan.."
Akhirnya kakek melepaskan cengkeraman tangannya dari leherku. Aku pun meraup oksigen sebanyak mungkin guna mengurangi sesak di dalam dadaku.
"Ibu... Maafkan aku bu..aku khilaf.. Aku sudah mengkhianati kepercayaan ibu. Aku telah berbohong kepada ibu." ucapku dengan tangisan pilu.
"Ibu kecewa padamu nak.. Ibu tidak pernah mengajarimu melanggar norma yang ada. Baru bertemu dua kali dan kamu sudah terbuai olehnya..."
"Ibu telah gagal mendidikmu. Ibu telah gagal menjadi ibu yang baik untukmu." ucap ibuku dengan berlinang air mata.
"Gugurkan bayi itu.. " ucap kakekku dengan nadanya yang penuh ketegasan. Seketika suasana kamar menjadi begitu hening. Ucapan kakek seolah petir yang menyambar tubuhku. Cukup menyakitkan.
"Ti... Tidak kek, bayi ini tidak bersalah. Semua kesalahan sepenuhnya ada padaku.. Jangan bunuh bayiku..." tangisku begitu histeris sembari memegangi perutku yang masih rata.
"Kalau kau masih menginginkan bayi itu... Segeralah angkat kaki dari rumahku." ucap Kakekku dengan penuh ketegasan.
"Ayah... Aku mohon jangan usir anakku. Mau pergi kemana lagi Naya, kalau satu - satunya keluarga yang dimilikinya hanyalah kita." Ibuku berlutut di depan kakekku seraya mengatupkan kedua tangannya. Memohon ampunan kakek untuk diriku yang sudah mencoreng nama keluarga.
Tiba - tiba ibuku memegangi dadanya dengan begitu erat. Tubuhnya menegang dan wajahnya pun memucat.
Aku pun langsung memeluk ibuku dengan erat.
"Ibu... sadar bu... Ibu kenapa?" tangisku dengan sesenggukan.
Seketika tubuh ibuku jatuh ke dalam pelukanku. Seluruh tubuhnya dingin dan wajahnya pun sangat pucat.
"Dewi... Bangun nak... Apa yang terjadi?" ucap kakekku dengan nada paniknya.
Bergegas kakek membopong tubuh ringkih ibuku dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Jalanan yang begitu berkabut di tengah - tengah hujan badai yang menerpa, seolah menghambat perjalanan kami.
Aku dan Embun hanya bisa terisak tangis. Hatiku teramat sakit melihat ibuku tidak sadarkan diri di dalam pelukanku karena ulahku. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya mobil kakek berhenti tepat di lobby rumah sakit.
"Dokter.... Suster.. Tolong ibuku." suara teriakanku terdengar begitu lantang memenuhi lobby rumah sakit saat itu.
Para suster pun bergegas mengambil brankar untuk membawa ibuku untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Maaf. Silahkan tunggu diluar. Kami akan menangani pasien terlebih dahulu." ucap sang suster seraya menahan pergerakanku di depan pintu.
Aku hanya terduduk lemas di depan ruangan itu.
"Ibu... Maafkan aku bu... " Embun memelukku begitu erat. Tangannya mengelus punggungku seraya menenangkan perasaanku yang semakin kalut.
Ceklek...
Pintu terbuka dari dalam. Seorang wanita dengan jubah putihnya tampak keluar dari dalam sana. "Pasien ingin bertemu dengan keluarganya." ucap sang dokter dengan nada putus asa.
Kami bertiga pun bergegas masuk ke dalam ruangan. Tampak ibuku yang terbaring di atas brankar dengan kondisinya yang lemah dan wajahnya yang pucat.
"Ayah... " ucap ibuku menggenggam tangan kakekku dengan begitu lemah.
"Maafkan aku yang belum bisa mendidik putriku dengan baik. Selama ini aku hanya menjadi beban keluarga. Tolong jaga kedua putriku dengan baik. Aku titipkan mereka kepada ayah.. " ucap ibuku dengan suaranya yang lemah.
"Naya .. Jaga bayimu dengan baik. Rawatlah dia sampai besar. Jaga Embun untuk ibu. Maafkan ibu.. Perjalanan ibu mendampingi kalian mungkin hanya cukup sampai disini.. " ucap ibuku dengan berlinang air mata.
Perlahan kedua matanya terpejam. Air mata pun mengalir dari sudut matanya. Hingga beberapa saat kemudian.. Genggaman tangan ibuku terlepas begitu saja. Suara alat pendeteksi jantung berbunyi dengan nyaring di dalam ruangan itu.
Tiiiittttt....
Dengan cepat dokter dan para suster memeriksa ibuku.
"Maaf dengan berat hati kami sampaikan pasien telah meninggal dunia.. Kami turut berduka cita atas kepergian pasien." ucap dokter dengan ekspresi sedihnya.
Perlahan selimut putih ditarik untuk menutupi wajah ibuku. Embun memeluk ibuku seraya menangis histeris. Begiti pula dengan kakekku, beliau menangis tersedu di lantai yang dingin itu.
Sedangkan aku? Aku hanya terdiam seribu bahasa. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Bahkan menangis pun aku juga tak mampu.
Perlahan Kakek menghampiriku. "Kau lihat... ? Ibumu meninggal karena semua ulahmu. Kau memang anak yang tak tahu diuntung. Kau hanya menyusahkan keluargamu saja. Kau pembunuh Naya. Kau membunuh putriku." Ucap Kakek dengan suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan itu.
"Aku pembunuh? Tidak ... Aku bukan pembunuh.. Teriakku dengan begitu histeris di dalam ruangan itu. Tanganku membuka selimut yang menutup tubuh ibuku. Ku goyang - goyangkan badannya seraya bernyanyi..
"Nina bobo.. Oh nina bobo... Kalau tidak bobo digigit nyamuk.. Hehehe.. Nak liat nenek tertidur pulas. Sepertinya nenek suka dengan suara ibu." ucapku sembari mengelus perutku yang masih rata.
"Kak... Kaka Naya.. Hentikan.. Kakak tidak boleh seperti ini." ucap Embun dengan nada paniknya.
"Naya hentikan leluconmu. Cukup Naya.. " Teriakan Kakekku menggema memenuhi isi ruangan itu.
Plakkk..
Kakekku pun menampar pipiku dengan begitu kerasnya. Namun bukannya menangis, aku malah tertawa dengab kencang meminta dipukul lagi oleh kakekku.
"Lagi .. Lagi... Lagi pak tua... " ucapku seraya bertepuk tangan dengan begitu hebohnya. Aku meremas - remas rambutku sendiri seraya berlari - lari kecil di dalam ruangan itu.
Gila.. Sungguh benar - benar gila. Kewarasanku benar - benar telah hilang. Semua tingkahku tak masuk logika.
kerahkan para intelejen buat nyari Naya sampai ke lobang tikus sekalipun....ah nggak ada usaha banget sih 😬😬😬