Setelah Lita putus asa mencari keberadaan Tian, suaminya yang tidak pulang tanpa kabar, Lita tidak tahu harus kemana dan bagaimana agar bisa mencukupi kebutuhan hidup karena tidak bisa bekerja dalam kondisi hamil, tetapi juga tidak bisa melihat anak sulungnya kelaparan.
Di ujung keputusasaan, Lita bertemu Adrian, pria yang sangat ia takuti karena rasa sakit dan kekecewaan di masa lalu hingga membuatnya tidak mau bertemu lagi. Tetapi, Adrian justru bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang bertahun-tahun ia cari karena masih sangat mencintainya.
Adrian berharap pertemuan ini bisa membuat ia dan Lita kembali menjalin hubungan yang dulu berakhir tanpa sebab, sehingga ia memutuskan untuk mendekati Lita.
Namun, apa yang Adrian pikirkan ternyata tidak seindah dengan apa yang terjadi ketika mengetahui Lita sudah bersuami dan sedang mencari keberadaan suaminya.
"Lita, jika aku harus menjadi suami ke-duamu, aku akan lakukan, asalkan aku bisa tetap bersamamu," ucap Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HM_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Lita
Lita mengusap air mata kesekian kali tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depan rumah. Gambaran suaminya pulang dengan membuka pintu pagar yang terbuat dari bambu terus-menerus terlintas di pikiran, sehingga ia tidak mau menoleh sedetik pun.
Selama dua minggu, Lita menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menunggu Tian pulang di dekat jendela rumah sambil terus menatap jalan. Suami yang malam itu ia pinta membeli nasi goreng untuk si jabang bayi, tetapi hingga malam ini belum pulang tanpa kabar.
"Mas Tian, malam itu kamu bilang akan cepat pulang, tapi sudah dua minggu, kamu belum juga pulang. Di mana kamu, Mas?" ucap Lita putus asa.
Lita mengusap perut buncitnya yang lagi-lagi dibarengi air mata saat pikiran buruk terlintas. Ia tidak berpikir Tian berselingkuh, karena ia tahu betapa setianya Tian pada cinta mereka. Terutama setelah kehamilan anak pertama mereka setelah lima tahun menikah. Jadi, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu sedikit pun.
Justru yang paling Lita takuti, hingga membuatnya sedih berlarut-larut, adalah Tian tiba-tiba meninggalkannya, seperti yang pernah ia alami sebelumnya. Apalagi ini adalah kali pertama Tian pergi tanpa kabar. Lita takut kembali ke masa-masa itu. masa di mana kehamilannya menjadi beban dan bencana bagi ibunya sendiri. Masa di mana kehamilannya menjadi hinaan dan cacian dari orang-orang yang dulu ia anggap sebagai malaikat. Dan masa di mana hatinya hancur oleh pria yang ia harapkan pertolongannya. Meskipun pada masa-masa sulit itu ia pertama kali bertemu Tian lalu menerima bantuannya, tetapi ia tidak ingin masa-masa itu terulang kembali dalam hidupnya.
"Mas Tian, pulanglah, aku tidak ingin peristiwa itu terulang lagi. Aku tidak ingin kehamilanku sekarang dipenuhi kesedihan seperti dulu. Dulu, ada kamu dan ibuku sebagai tempat aku bersandar. Sekarang, ibu sudah tiada, jadi tidak akan ada yang mencintai dan menjagaku jika kamu pergi," ucap Lita sedih.
Lita menarik napas dalam-dalam untuk menahan air mata lalu kembali bicara tanpa melepaskan pandangan dari perutnya. "Nak, tolong bantu Mama meyakinkan diri bahwa, ayahmu akan pulang dan ayahmu tidak akan meninggalkan kita," ucapnya, sambil menghapus air mata yang mulai jatuh lagi.
Lita teringat senyum bahagia Tian sebelum pergi malam itu. "Kamu harus menunggu dengan sabar di dalam, ya! Ayah akan segera pulang dan membawa nasi goreng paling lezat untukmu," ucapnya, lalu mencium perut Lita penuh kasih sayang.
Pada saat itu, Lita juga tersenyum melihat wajah bahagia Tian hingga ia ikut berbicara mewakili janin di dalam perut. "Jika Ayah tidak pulang cepat, aku tidak mau jadi anak Ayah." Keduanya langsung tersenyum mendengar lelucon itu.
"Mama!"
Lita dengan cepat mengusap wajah sambil memalingkan pandangan ke arah lain untuk menghapus jejak air mata dari kedua pipinya, ketika mendengar suara lembut anak laki-laki berusia enam tahun yang baru saja bangun tidur.
Lita dengan cepat mengusap air mata karena yakin jika Dava melihat air matanya, bocah itu akan terus bertanya hal-hal yang tidak bisa dijawab dengan satu jawaban saja. Selain itu, ia tidak ingin siapa pun melihat kesedihannya.
Lita kemudian menoleh kembali sambil tersenyum lebar guna menyembunyikan wajah sedihnya. "Dava, sudah bangun?" tanyanya lembut, lalu mengulurkan tangan kanan agar Dava mendekat.
Dava berjalan mendekat, sambil mengucek mata, lalu memeluk Lita dengan penuh kasih sayang dan menaruh kepala di pangkuannya. "Kenapa Mama duduk di sini terus?"
"Mama sedang menunggu Ayah pulang."
"Setiap hari Mama duduk di sini, tapi Ayah tidak pulang juga. Dulu, Ayah selalu pulang setiap hari setelah bekerja, tapi kenapa sejak membeli nasi goreng untuk adik bayi Ayah malah tidak pulang-pulang?"
"Bukankah Mama bilang Minggu lalu bahwa setelah membeli nasi goreng, ayahmu langsung pergi ke tempat Ayah bekerja?" jawab Lita berbohong.
"Ayah seharusnya memberikan nasi goreng kepada adik bayi dulu, baru pergi ke bekerja."
Lita tersenyum sambil mengusap kepala anak sulungnya dengan lembut. "Mungkin Ayah tiba-tiba harus menggantikan temannya yang tidak bisa datang bekerja, jadi dia tidak sempat pulang."
Dava mengangkat kepala dari pangkuan Lita untuk bicara sambil menatap. "Tapi kenapa Ayah lama sekali pulangnya? Aku kasihan pada Adik bayi karena menunggu terlalu lama nasi gorengnya. Aku takut adik bayi akan marah dan menendang Mama kuat-kuat," protesnya polos.
"Adik bayi itu tidak mungkin menendang Mama, apalagi sampai melukai, karena Ayah adalah orang yang sangat, sangat, sangat sabar. Jadi, adik bayi pasti akan sabar menunggu Ayah pulang membawa nasi gorengnya."
"Apakah kita sebaiknya pergi ke tempat kerja Ayah, Ma?" usul Dava polos.
"Apa kamu benar-benar ingin bertemu keluarga monster di sana? Bukankah Ayah bilang ada rumah keluarga monster di dekat tempat Ayah bekerja?"
"Kita pakai topeng Spider-Man, Ma, supaya mereka tidak tahu kita manusia yang darahnya bisa dihisap," usul Dava, yang sering mendengar Lita dan Tian membicarakan keluarga yang mereka benci dengan cerita kebohongan keluarga monster peminum darah.
Lita tersenyum lebar mendengar ide konyol anaknya. "Tapi mereka bisa mencium baumu. Apalagi kalau kamu belum mandi. Begitu mereka mencium baumu, mereka akan menarikmu dari jarak jauh dengan sihir mereka, lalu mereka akan merobek perutmu seperti ini." Lita menggelitik perut Dava sampai dia tertawa kencang
"Aaa... Mama, itu geli!" teriak Dava dengan kegirangan
"Apa kamu mau darahmu dihisap?" goda Lita tanpa menghentikan jarinya di perut Dava.
"Mama, geli."
Tiba-tiba, Lita menghentikan gerakan lalu mengendus, seolah-olah mencium bau yang sangat menyengat.
"Sepertinya ada bau yang tidak sedap di sini," ucap Lita, lalu mendekatkan hidungnya ke wajah Dava. "Benar, ada bau yang tidak sedap di sini."
Dava juga mengendus mengikuti Lita untuk mencari bau yang dimaksud.
"Hmmm, sepertinya ada anak yang belum mandi sore," kata Lita tanpa berhenti mengendus hingga hidungnya menempel di pipi Dava.
"Huuueeek." Lita segera menutup hidungnya dan menjauh dari wajah Dava, seolah-olah ia telah menemukan sumber bau yang dicari. "Ternyata bau yang tidak sedap itu berasal dari seorang anak yang belum mandi sore."
Dava hanya tersenyum lebar karena dia mengerti lelucon ibunya.
Lita berdiri lalu menggendong Dava. "Kamu harus cepat mandi sebelum monster penghisap darah datang ke sini," bohongnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Dava hanya tersenyum lebar dan pasrah dalam gendongan Lita karena ia sangat menikmati dimandikan oleh ibunya.
*****
"Ini!" Tanpa basa-basi, Alicia langsung menyerahkan amplop cokelat besar kepada Adrian begitu dia membuka pintu.
Adrian tidak merespons amplop yang diberikan Alicia, karena matanya langsung tertuju pada koper besar di samping kaki Alicia.
"Tadinya aku ingin menaruh amplop ini di kamar kita, tapi kamu sudah pulang ke rumah, jadi aku berikan saja sekarang ," kata Alicia.
Mendengar suara Alicia, Adrian mengalihkan pandangannya dari koper. "Apakah kamu akan pergi sekarang?"