Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Day
Tiga bulan kemudian..
Sejak kecelakaan,waktu terasa sangat panjang. Waktunya hanya di habiskan di kamar rumah sakit. Dia enggan untuk keluar, apa lagi di tatap banyak mata.
Ruangan kamarnya selalu sunyi. Tidak ada suara mesin balap, tidak ada suara kru yang biasa memanggil namanya di paddock. Hanya detak jam dinding dan napasnya sendiri.
Sesekali perawat masuk untuk membuka jendela kamar Orion, membiarkan udara luar masuk kedalam. Namun dengan kasar Orion menutup jendela kamarnya. Dia benar-benar menarik diri dari dunia luar.
Dulu di nakas mejanya ada lemari berisi trofi dan foto. Tapi sekarang hanya ada deretan botol obat,air putih dan alat bantu. Ia menatap kakinya, bagian yang dulu jadi kebanggannya, sekarang malah menjadi kekurangannya.
Ponsel Orion tak pernah berhenti berbunyi. Panggilan masuk dari managernya setiap hari. Tawaran iklan, podcast, dokumenter, semua dia ditolak.
"Rion, apa kamu yakin mau nolak semua tawaran ini. Kamu tidak perlu berbuat sejauh ini."
"Tidak." jawab Orion singkat.
"Mungkin kamu bisa menjadi inspirasi orang-orang di luar sana untuk bangkit."
"Inspirasi apa yang bisa di dapat dari orang cacat sepertiku."
"Kau tidak cacat! Kau masih bisa sembuh."
"Kapan? 5 bulan? 1 tahun? atau mungkin 10 tahun?"
Managernya terdiam, Orion tertawa sinis.
"Jangan hubungi aku lagi. Aku tidak akan kembali." ucapnya lalu memutus panggilan telepon.
Orion tidak merasa layak untuk itu semua, karena bagi dirinya, yang tersisa hanyalah kegagalan.
Dia gagal dalam menjaga miliknya. Bahkan itu menjadi alasan Selene meninggalkannya.
Orion benar-benar tak memiliki apapun lagi. Hidupnya benar-benar berhenti di hari dia kecelakaan.
Kini hanya Damian dan beberapa perawat saja yang bisa bertemu dengannya. Itu pun karena pemeriksaan rutin. Dengan mereka, Orion jarang bicara lebih dari dua kalimat.
“Kau perlu fisioterapi rutin, Orion,” kata Damian lembut.
Orion hanya menatap jendela. “Aku sudah berhenti percaya pada kata ‘perlu.’”
"Kau tidak boleh menyerah, aku yakin kamu pasti bisa sembuh. Kaki itu aku yakin bisa membaik."
"Tidak perlu, kaki ini sudah cacat."
Damian hanya bisa menghela nafas berat, dia merasa iba melihat Orion yang sendiri. Menurutnya seharusnya di saat ini, ada orang terdekat yang mendukungnya.
Tapi, Orion yang keras kepala menggusir semuanya. Hanya menyisakan dirinya sendiri di tengah gelap dan beratnya tekanan hidup. Wajahnya dingin, tak ada senyum ataupun cahaya hidup di dalam sana.
Setiap malam,ia menyalakan televisi hanya untuk mendengar suara manusia. Tapi setiap kali berita menampilkan wajahnya “Legenda Balap yang Jatuh di Puncak Karier” . Dia mematikan layar dan membiarkan gelap menelan ruangan.
Dia tidak butuh simpati. Ia hanya ingin segera dilupakan oleh semua orang. Di luar kamar, managernya hanya bisa menatap sedih.
⸻
Hari itu keadaan taman cukup sepi. Cahaya matahari menembus tipis lewat celah topi yang dipakainya. Orion duduk di kursi rodanya, menatap orang-orang berjalan santai kesana kemari.
“Dasar cacat!"gumamnya pelan. Dia mencengkeram kuat kakinya, tidak memperdulikan rasa sakit yang menusuk.
Perawat yang berdiri di belakang kursi rodanya hanya bisa terdiam, memperhatikan setiap gerak gerik Orion yang menyesakan dada.
"Orion, jangan begitu. Itu akan menyakiti kakimu lebih banyak."
"Biar saja, harusnya waktu itu aku mati. Mungkin itu akan lebih mudah."
Malam itu Orion membuka tirai kamarnya, halaman luas rumah sakit terlihat kosong. Angin dingin masuk pelan, menerpa wajahnya.
“Kenapa aku harus hidup” bisiknya pelan. “Untuk apa hidup jika cacat. Lebih baik mati, toh semua sama-sama gelap.