NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33

Gudang pabrik tua di Marunda ini berbau seperti kebenaran.

Bagi Dr. Samuel Adhinata, itu adalah aroma yang memabukkan, jauh lebih murni daripada aroma antiseptik rumah sakit atau parfum mahal kolega-koleganya. Itu adalah bau kimiawi dari waktu yang berhenti: debu semen yang kering dan alkalis, oksidasi besi yang mengelupas, minyak pelumas mesin yang sudah mengeras menjadi residu hitam pekat selama puluhan tahun, dan kelembapan asin yang terperangkap di antara dinding-dinding seng yang berkarat.

Di luar sana, Jakarta yang mengklaim dirinya "hidup" itu berisik, kotor oleh kompromi, dan penuh dengan kebohongan-kebohongan manis yang disebut "etiket" dan "kasih karunia". Tapi di sini, di dalam katedral baja yang terlupakan ini, yang ada hanyalah keheningan. Entropi. Kematian. Dan kejujuran absolut.

Samuel meletakkan koper aluminium besar model pelican case kelas militer di lantai beton yang retak. Bunyinya berat dan solid, bergema di ruangan luas itu.

Koordinat GPS di undangan itu membawanya ke titik ini, tetapi sesungguhnya, dialah yang memilih titik ini. Dia telah mensurvei dua belas lokasi di pinggiran Jakarta, membawa alat pengukur desibel dan light meter. Hanya gudang ini yang memenuhi standar akustik dan visualnya.

Orang biasa akan melihat reruntuhan.

Samuel melihat panggung.

Atau lebih tepatnya: Ruang Operasi.

Aula utama pabrik itu sangat luas, seperti perut paus raksasa yang terbuat dari beton dan tulang baja. Langit-langitnya yang tinggi hilang dalam kegelapan pekat, hanya diselingi oleh satu-dua bilah cahaya bulan yang pucat, menembus atap seng yang bocor seperti laser alami.

Di tengah ruangan, tepat di bawah lubang terbesar di atap itu, terhampar sebuah fondasi beton persegi yang sedikit ditinggikan. Dulu, mungkin itu tempat mesin press hidrolik raksasa berdiri, menimpa baja dengan kekuatan ribuan ton.

Sekarang, itu adalah Altar-nya.

Ini sempurna, pikir Samuel, menarik napas dalam-dalam, membiarkan spora debu mengisi paru-parunya. Jauh lebih baik dari kapel Lukas yang sempit atau penthouse Sahroni yang terlalu steril dan penuh kaca.

Tempat ini... jujur. Ini adalah tempat kerja. Tempat di mana bahan mentah ditempa, dipukul, dibakar, dan dibentuk secara paksa. Tempat di mana sesuatu harus dihancurkan agar sesuatu yang baru bisa dibuat.

Malam ini, dia tidak akan sekadar membunuh. Membunuh itu kasar; preman pasar membunuh. Samuel sedang melakukan dekonstruksi. Dia akan membedah jiwa Erica Wijaya untuk membuang bagian yang busuk.

Dia berjongkok dan membuka koper aluminiumnya. Kunci-kuncinya berbunyi klik yang presisi.

Isinya bukan instrumen bedah. Belum. Lapisan atas koper itu berisi perlengkapan seorang sutradara.

Dengan presisi yang tenang dan metodis gerakan yang sama yang ia gunakan saat melakukan otopsi dia mulai bekerja. Dia tidak terburu-buru. Waktu adalah variabel yang dia kendalikan sepenuhnya sekarang. Erica masih aman, terbius di bagasi mobil SUV-nya yang terparkir di balik semak belukar di luar.

Pertama, pencahayaan.

Cahaya adalah segalanya. Tanpa cahaya yang benar, kebenaran bisa terlihat samar. Dia mengeluarkan tiga lampu sorot LED portabel bertenaga baterai dan tiga tripod ringan dari serat karbon.

Dia tidak memasangnya secara acak. Dia mengukur jaraknya dengan langkah kakinya, menghitung sudut jatuhnya bayangan. Dia memasangnya dalam formasi segitiga sama sisi yang sempurna, mengelilingi altar beton itu.

Dia menyalakannya satu per satu.

Klik.

Klik.

Klik.

Tiga pancaran cahaya putih yang menyilaukan memotong kegelapan pabrik. Samuel tidak memilih lampu kuning yang hangat. Dia memilih LED dengan temperatur warna 5600 Kelvin putih siang hari, dingin, klinis, tanpa ampun. Sama seperti lampu di kamar mayatnya.

Cahaya itu mengubah altar beton yang kotor dan bernoda minyak itu menjadi panggung yang diterangi dengan cemerlang. Di bawah sorotan ini, tidak ada yang bisa disembunyikan. Setiap retakan di lantai, setiap noda karat, setiap pori-pori wajah... semuanya akan terlihat jelas.

Erica Wijaya terbiasa dengan ring light yang memuluskan wajah dan filter Instagram yang menyembunyikan cacat. Malam ini, Samuel akan memperkenalkannya pada cahaya kejujuran. Cahaya yang tidak memaafkan.

Sisa ruangan di luar lingkaran cahaya itu kini tenggelam dalam bayangan yang lebih pekat karena kontras (efek vignette), menciptakan fokus visual yang tak terelakkan ke pusat.

Daniel harus melihatnya dengan jelas, pikir Samuel, sambil menyesuaikan sudut salah satu lampu. Tidak boleh ada ambiguitas. Tidak boleh ada tempat bagi matanya untuk berpaling.

Ah, Daniel.

Sang Gembala.

Samuel berhenti sejenak, tangannya bertumpu pada tripod yang dingin. Dia memikirkan makan siang mereka kemarin. Pertemuan di kafe fusion itu... memuaskan, namun sedikit mengecewakan secara intelektual.

Daniel goyah, ya. Buku filsafat Jerman itu jelas telah bekerja seperti virus, meracuni iman butanya. Samuel bisa melihat keraguan di mata Daniel saat dia bertanya tentang keadilan Ilahi. Itu adalah momen yang indah melihat seorang fanatik mulai menyadari bahwa tuhannya mungkin tuli.

Tapi Daniel masih melawan. Sistem imun psikologisnya masih bekerja. Dia masih berpegang teguh pada gagasan "keadilan manusia" dan "prosedur" yang lemah itu. Dia masih berpikir seperti seorang polisi birokratis. Dia pikir dia bisa "menangkap" Samuel, memborgolnya, dan masalah akan selesai.

"Kau masih belum mengerti, Gembala," gumam Samuel pada udara yang pengap, suaranya bergema pelan. "Kau tidak bisa 'menangkap' kebenaran. Kau hanya bisa 'menyaksikan'-nya."

Panggilan telepon "Gembala" adalah perkenalan.

Video keluarganya adalah peringatan agar dia fokus.

Makan siang kemarin adalah tesis filosofisnya.

Dan malam ini... malam ini adalah sesi praktikum-nya. Bedah mayat di teater anatomi.

Daniel harus melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia harus menyaksikan "Absolusi Keempat". Dia harus melihat bagaimana dosa dikoreksi secara fisik. Teori tidak cukup untuk pria keras kepala seperti Daniel. Dia butuh visual. Dia butuh terapi kejut (shock therapy).

Itulah gunanya perlengkapan berikutnya.

Samuel kembali ke koper dan mengeluarkan empat kamera mikro wide-angle. Benda-benda hitam kecil seukuran dadu. Resolusi 4K dengan kemampuan low-light yang superior.

Dia mulai menempatkannya dengan sabar, memanjat rangka baja yang berkarat tanpa takut mengotori setelan jas mahalnya. Jas bisa di- dry clean; momen ini tidak bisa diulang.

Kamera Satu: Tinggi di atas, menatap lurus ke bawah ke altar (Bird's Eye View). Ini adalah "Mata Tuhan". Perspektif yang objektif, dingin, dan jauh.

Kamera Dua: Di kaki tripod lampu sorot, sudut rendah (Low Angle), mengarah ke tempat wajah sang "aktor" (Erica) akan berada nanti. Ini untuk menangkap ekspresi mikro—ketakutan, penyangkalan, dan akhirnya... pembebasan.

Kamera Tiga: Di seberang ruangan, tersembunyi di balik pilar beton, menangkap seluruh panggung wide-shot, termasuk... pintu masuk gudang. Ini untuk merekam kedatangan Daniel.

Dan Kamera Empat.

Ini yang paling penting bagi Samuel.

Dia tidak memasangnya di dekat altar. Dia berjalan menjauh, ke area gelap di mana tumpukan drum minyak bekas berkarat membentuk dinding setengah lingkaran. Dia tahu psikologi Daniel. Daniel tidak akan langsung lari ke tengah. Dia akan berhenti di sini dulu. Di batas cahaya.

Samuel menyembunyikan kamera itu di antara tumpukan drum, lensanya mengarah ke titik spesifik di mana dia memprediksi Daniel akan berdiri.

Kamera ini tidak akan merekam Erica. Kamera ini akan merekam wajah Daniel.

Samuel kembali ke koper pusat, menghubungkan semuanya ke hub nirkabel. Dia mengeluarkan tabletnya, menyalakan jaringan hotspot pribadinya yang terenkripsi. Layar tablet menyala, menampilkan feed dari empat kamera itu.

Jernih. Tajam.

Dia bisa melihat altar yang kosong itu dari tiga sudut pandang yang berbeda. Dan di layar keempat, dia melihat kegelapan tempat Daniel akan berdiri.

Dia akan merekamnya. Bukan untuk kenang-kenangan psikopat murahan. Tapi untuk studi ilmiah. Dia ingin melihat momen tepat di mana jiwa Daniel patah. Dia ingin menangkap detik ketika pupil mata Daniel melebar saat menyadari bahwa dia tidak bisa menyelamatkan dombanya. Momen ketika "Gembala" mati, dan "Saksi" lahir.

Daniel tidak akan menyaksikan pembunuhan biasa.

Dia akan menyaksikan prosedur medis.

Dia akan melihat kenapa Erica Wijaya Dosa Keempat: Iri Hati (Envy) harus dikoreksi.

Samuel tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya, mengingat ekspresi wajah Daniel saat melihat foto Erica di kafe (dalam imajinasinya) dan saat menerima undangan. Samuel tahu persis apa yang dipikirkan polisi sederhana itu.

Wanita cantik. Bibir merah. Glamor. Pasti dosanya Nafsu.

"Betapa primitifnya kau, Daniel," bisik Samuel.

Seolah-olah Samuel adalah monster rendahan yang didorong oleh libido. Seolah-olah ini tentang tubuh Erica. Seolah-olah Samuel membunuh karena desire. Itu penghinaan terhadap intelektualitasnya.

"Kau salah besar, temanku."

Ini bukan tentang tubuhnya. Ini tentang jiwanya. Jiwa yang busuk oleh Iri Hati. Dosa yang menghancurkan saingan, yang menyebarkan racun fitnah lewat jari-jari yang dimanicure rapi, yang membunuh karier orang lain demi ego sendiri.

Erica Wijaya adalah parasit yang hidup dari rasa dengki. "Nafsu" hanya menghancurkan diri sendiri. "Iri Hati" menghancurkan tatanan sosial. Itu adalah dosa yang jauh lebih intelektual, lebih dingin, dan lebih berbahaya.

Dan instrumen koreksinya sudah Samuel siapkan.

Dia melirik jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya. Jarum detiknya bergerak dengan ketepatan yang menenangkan. Masih ada waktu.

Dia berjalan ke altar beton itu. Dia berdiri tepat di tengah sorotan tiga lampu LED itu. Cahaya putih 5600 Kelvin memandikannya, membuatnya bersinar di tengah kegelapan gudang. Dia menutup matanya sejenak, merasakan "kehangatan" artifisial itu.

Dia merasa bersih.

Dia merasa benar.

Dia merasa seperti instrumen Tuhan yang telah diasah sempurna.

Dia melangkah mundur, masuk kembali ke dalam kegelapan di luar lingkaran cahaya, menjadi tidak terlihat.

Rasanya seperti malam pembukaan di teater. Dan dia adalah sutradara, penulis naskah, sekaligus aktor utamanya.

Daniel Tirtayasa adalah satu-satunya kritikus yang dia undang. Kursi barisan depan sudah disiapkan. Dan Samuel akan memastikan, malam ini, kritikus itu tidak akan pernah bisa memalingkan wajahnya dari panggung.

Pelajaran akan segera dimulai.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Slow respon: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!