Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11 Hinaan
Setelah pemeriksaan selesai, dokter menjadwalkan kontrol lanjutan untuk hari berikutnya, menyesuaikan nomor urut antrean pasien.
Oma Hela pun berpamitan dengan dokter, lalu membawa Adinda keluar dari rumah sakit.
Di dalam mobil, suasana hening beberapa saat, hingga Adinda memecah keheningan dengan suara lirih namun penuh rasa syukur.
“Oma... rasanya Adinda baru kali ini merasa ada harapan untuk sembuh.”
Oma Hela tersenyum lembut. “Nah, kan, Oma sudah bilang. Kamu cuma perlu percaya, Nak.”
“Iya, Oma. Awalnya Adinda benar-benar pesimis. Tapi dokter tadi bilang Adinda masih bisa sembuh... Semua ini berkat Oma yang peduli banget sama Adinda. Terima kasih, Oma.”
Oma menggenggam tangan Adinda hangat. “Oma cuma ingin kamu kembali tersenyum. Oma doain, semoga kamu cepat pulih, bisa jalan seperti dulu lagi. Oh iya, gimana kalau kita makan siang dulu? Sekalian jalan-jalan biar pikiranmu segar.”
Adinda mengangguk bahagia. “Boleh, Oma.”
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di sebuah restoran bergaya klasik. Sopir membantu Mbak Tia menurunkan kursi roda dan menuntun Adinda turun dengan hati-hati. Saat mereka hendak mencari tempat duduk, tiba-tiba suara yang tak asing terdengar, tajam dan menghina.
“Dinda! Ngapain kamu di sini? Ngamen ya?”
Adinda menoleh, matanya langsung membulat. Di hadapannya berdiri Nyonya Merti, mantan ibu mertuanya, bersama Zoya, adik dari mantan suaminya.
“Duh, kasihan banget sih kamu? Sudah gak bisa jalan, ditinggal suami, janda pula... Lengkap banget penderitaanmu!”
Zoya menimpali dengan tawa mengejek. “Untung aja Kak Riko udah ceraiin kamu. Kalau nggak, pasti malu banget punya istri kayak kamu.”
Adinda hanya diam. Wajahnya menegang menahan perasaan yang campur aduk.
Tiba-tiba, suara berat namun berwibawa terdengar dari belakang.
“Ada apa ini?”
Semua menoleh. Oma Hela berdiri di sana, dengan tatapan tajam menembus harga diri Nyonya Merti.
“Eh, Nyonya Kusuma?” ujar Nyonya Merti gugup, tapi masih berusaha tersenyum sinis. “Saya cuma bersyukur, anak saya sudah menceraikan perempuan ini. Lihat saja, hidupnya sangat menyedihkan. Inilah akibatnya kalau berselingkuh di belakang suaminya.”
Belum sempat Adinda membela diri, Mbak Tia melangkah maju. Suaranya lantang dan penuh amarah.
“Nyonya, hati-hati kalau bicara! Nona Adinda tidak pernah berselingkuh! Tuan Vikto Kusuma yang Nyonya sebut, justru adalah cucu dari Nyonya Kusuma yang berdiri di hadapan Nyonya sekarang!”
“Duer!”
Seolah ada petir menyambar di siang bolong.
Wajah Nyonya Merti dan Zoya langsung pucat. Mereka menatap Oma Hela dengan mata terbelalak, tak percaya. Selama Nyonya Merti tidak tahu kalau laki-laki yang sering datang ke rumahnya itu, yakni Vikto Kusuma. Yang ada dalam pikiran Nyonya Merti, yakni mengambil kesempatan untuk menjadi bahan tuduhan kepada Adinda, tidak mencari tahu asal usul sosok Vikto.
“Apa yang kau katakan tadi?” suara Oma Hela rendah namun tegas, mengandung wibawa yang membuat suasana restoran seketika sunyi.
“Berani-beraninya kau menuduh cucuku berselingkuh. Cucuku tidak serendah itu! Dan perempuan sepertimu…” — tatapan Oma menajam — “tidak pantas menyebut dirinya ibu yang baik. Kau fitnah anak orang tanpa rasa malu.”
Nyonya Merti tercekat, tak mampu menjawab.
Oma Hela menatap Adinda dengan lembut. “Ayo, Nak Dinda. Tidak usah kamu layani perempuan berhati keji seperti ini. Bagus kalau kamu sudah bercerai, kamu tidak pantas tinggal di rumah yang seperti neraka.”
Tanpa menoleh lagi, Oma Hela memberi isyarat pada Mbak Tia untuk mendorong kursi roda.
Mereka berjalan melewati Nyonya Merti dan Zoya yang masih membeku di tempat, wajahnya memerah menahan malu.
Bagi Adinda, itu bukan sekadar pembelaan, tapi juga sebuah kehormatan yang seakan menghapus semua hinaan yang pernah ia terima.
Setelah peristiwa memalukan di restoran tadi, mereka bertiga memilih duduk di sudut yang lebih tenang.
Pelayan baru saja menaruh minuman di meja ketika Adinda masih tampak menunduk, memegang sendok tanpa nafsu makan.
Oma Hela memperhatikan wajah pucat itu, lalu menepuk lembut punggung tangan Adinda.
“Sudahlah, Nak. Jangan dipikirkan kata-kata orang yang tidak tahu malu itu. Kau tidak bersalah. Coba ceritakan pada Oma, Nak. Biarkan Oma yang menilai.”
Adinda menarik napas dalam, lalu perlahan mulai bercerita.
“Dulu, Dinda menikah bukan karena cinta, tapi karena keinginan keluarga. Dinda pikir, setelah menikah segalanya akan membaik… tapi ternyata tidak. Dinda selalu dianggap beban sejak keluarga jatuh miskin, dan kedua orang tua Dinda meninggal, juga Kakaknya Dinda satu-satunya. Setiap hari, Dinda mendengar hinaan dari ibu mertua dan adik ipar. Sementara suami Dinda… malah diam, seolah tidak pernah membela, selalu percaya dengan orang tuanya dan adiknya.”
Suaranya semakin serak. “Sampai akhirnya, Dinda mengalami kecelakaan. Kaki Dinda lumpuh, dan sejak itu, mereka mulai menuduh Dinda jadi kutukan. Mereka bilang Dinda membawa sial…”
Air matanya menetes satu per satu. “Dan puncaknya… Dinda dituduh berselingkuh. Padahal Dinda tidak pernah… tidak pernah, Oma.”
Oma Hela menggenggam tangan Adinda erat-erat.
“Ssst… Oma percaya. Tidak usah kau jelaskan lagi. Orang yang tulus tidak perlu membuktikan apapun. Oma tahu dari sorot matamu, kamu bukan perempuan seperti yang mereka tuduhkan.”
Adinda menatap Oma dengan mata berkaca-kaca. “Oma… kenapa Oma begitu baik sama Dinda? Dinda bukan siapa-siapa.”
Oma tersenyum penuh belas kasih.
“Justru karena kamu tidak punya siapa-siapa, Oma ingin jadi tempatmu bersandar. Kadang, kasih sayang tidak perlu hubungan darah. Tuhan tahu kapan harus mengirimkan orang baik di saat hati kita sudah hancur.”
Tangis Adinda pecah, kali ini tanpa ia tahan. Ia menangis di pangkuan Oma, seolah menemukan pelukan seorang ibu yang selama ini tak pernah ia rasakan.
“Menangislah, Nak. Lepaskan semua. Tapi setelah ini, kamu harus bangkit. Kalau kamu masih punya semangat, Oma akan bantu kamu berdiri lagi, bukan hanya secara harfiah… tapi juga dalam hidupmu.”
Adinda mengangguk sambil terisak. “Terima kasih, Oma… Dinda janji, Dinda akan berusaha sembuh.”
Oma Hela tersenyum, mengusap lembut kepala Adinda. “Begitu dong, cucu Oma yang kuat.”
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..