Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : KIZANA' PEACEFUL TASK
Kizana adalah ketua patroli kehutanan di Suzaku, namun kemampuannya melampaui batas. la setara dengan senior militer Shirayuki Sakura, membuktikan bahwa ia adalah seorang ahli bela diri yang tangguh walau ia memiliki cacat pada tangannya. Di balik posisinya yang sederhana, Kizana memiliki hati yang hangat. Ia sering membantu lansia di desa-desa Suzaku dengan senyum ramahnya, membuatnya dicintai oleh penduduk setempat. Kizana juga memiliki hubungan yang baik dengan para petualang yang datang dari berbagai benua. la menyambut mereka dengan ramah dan selalu siap membantu jika mereka membutuhkan informasi atau bantuan. Sifatnya yang terbuka dan bersahabat membuatnya menjadi sosok yang populer di kalangan petualang. Kizana adalah perpaduan sempurna antara kekuatan dan kebaikan hati, menjadikannya sosok yang dihormati di Suzaku.
.
.
.
.
.
Di bawah kanopi hijau hutan Suzaku yang lebat, udara pagi yang sejuk membawa aroma moss dan pinus. Kizana, dengan seragam kulit tebal yang menunjukkan lencana patroli kehutanan Suzaku, melangkah dengan pasti. Meskipun tangan kirinya kaku akibat cedera lama-sebuah cacat yang ia peroleh sebagai pengingat pertempuran yang keras-gerakannya tetap lincah dan tanpa cela. Ia menyusuri jalur setapak yang berkelok, matanya yang tajam mengawasi setiap pergerakan. Hari-harinya sebagai ketua patroli adalah perpaduan antara menjaga ketertiban dan memastikan jalur perdagangan tetap aman dari makhluk liar atau perampok. Ia melewati sebuah gubuk kecil yang dibangun untuk peristirahatan, dan seperti biasa, ia menata kembali beberapa tumpukan kayu bakar yang disediakan untuk para pelancong.
...
...
Tak lama kemudian, di persimpangan jalan kuno yang menuju ke selatan, Kizana berpapasan dengan sekelompok kecil petualang. Mereka adalah tiga serangkai yang penampilannya mencolok: seorang kesatria berzirah perak yang kusam, seorang penyihir wanita berkerudung dengan tongkat berukir kristal, dan seorang rogue bertubuh ramping yang membawa busur pendek. Mereka tampak lelah, mungkin baru saja kembali dari ekspedisi jauh ke Pegunungan Belerang. Kizana menghentikan langkahnya dan menyambut mereka dengan senyum yang hangat, senyum yang selalu meluluhkan kekakuan para pendatang.
"Selamat pagi, para pengelana!" sapa Kizana, nadanya ramah tetapi memiliki otoritas yang halus. "Semoga perjalanan Anda lancar di Suzaku. Apakah ada yang bisa dibantu? Jalur ke pemukiman terdekat telah ditandai dengan baik, tetapi terkadang Goblin nakal suka merusak papan petunjuk."
Sang kesatria, seorang pria jangkung bernama Kael, melepaskan helmnya, mengusap pelipisnya yang berkeringat. "Terima kasih atas keramahannya, petugas patroli. Kami baru saja kembali dari perburuan di perbatasan timur. Sejauh ini, jalannya aman. Namun," Kael melirik ke arah rekannya, sang penyihir. "Kami membutuhkan informasi tentang seorang pandai besi di ibukota Suzaku. Kabarnya ia mampu memperbaiki 'Baja Naga'."
Kizana meletakkan tangan kanannya ke pinggul, memikirkan sejenak. "Ah, yang Anda cari pastilah Master Borin. Ia yang terbaik, tetapi ia terkenal pemilih dalam pekerjaan. Anda harus pergi ke 'Distrik Empat Palu' di ibukota, dekat gerbang timur. Katakan padanya Kizana yang mengirim, dan dia mungkin akan bersikap sedikit lebih baik." Ia kemudian menambahkan, menatap sang penyihir, "Jalan terus ke barat, lalu belok selatan di pohon Ek Tua yang bercabang tiga. Sekitar satu jam berjalan kaki."
"Itu sangat membantu!" seru penyihir itu, suaranya lega. Mereka membungkuk hormat, menghargai bantuan yang tak terduga itu. Kizana membalas dengan anggukan, sebuah lambang penghormatan. Ia adalah gambaran sempurna seorang penjaga yang tangguh sekaligus pelayan masyarakat; kekuatan Shirayuki Sakura pada tangannya, namun kehangatan hati seorang penjaga desa. Setelah mereka berpisah, Kizana melanjutkan patrolinya, hatinya puas karena telah melaksanakan tugasnya, baik sebagai pelindung maupun pembimbing bagi para penjelajah dunia fantasi yang luas.
Kizana baru saja melewati area bebatuan di mana sungai Suzaku membelah hutan, ketika telinganya yang terlatih menangkap suara yang asing. Itu bukan deru angin atau gemerisik daun, melainkan lolongan yang mendayu dan putus-putus-bukan lolongan serigala liar, melainkan lolongan kesakitan yang bernada tinggi. Sebagai patroli, nalurinya langsung waspada. Ia segera mengubah arah patrolinya, bergegas menyelinap di antara pepohonan kuno, mengikuti sumber suara yang terdengar berasal dari celah tebing tersembunyi, sebuah tempat yang jarang dikunjungi oleh pejalan kaki biasa.
Setibanya di sana, di balik rerimbunan semak berduri, Kizana menemukan sumber masalah: seorang wanita tua dari desa terdekat, Nenek Elara, yang dikenalnya sering mencari tanaman obat langka. Wanita tua itu terduduk di tanah dengan wajah pucat, pergelangan kakinya terperangkap di bawah sebuah batu besar yang entah bagaimana terlepas dari tebing. Wanita itu tampak berusaha menahan air mata, tetapi rasa sakitnya tampak nyata. Di sampingnya, keranjang anyaman berisi akar-akaran langka tergeletak miring.
"Nenek Elara!" seru Kizana, bergegas mendekat dengan ekspresi khawatir. Ia berlutut di samping wanita tua itu dan dengan hati-hati memeriksa situasi kaki yang terjepit. "Astaga, batu ini besar sekali. Mengapa Anda tidak berteriak meminta bantuan? Ini adalah tempat yang berbahaya."
Nenek Elara menggigit bibirnya yang kering. "Kizana, Nak. Kau datang. Aku... aku tidak ingin merepotkan. Aku sudah mencoba mendorongnya, tetapi tenagaku tidak lagi seperti dulu," jawabnya dengan suara yang lemah. "Aku hanya mencari Lidah Naga untuk ramuan obat batuk Desa. Jangan khawatirkan aku, Nak. Aku akan baik-baik saja."
Kizana menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak ada kata merepotkan, Nek. Itu tugas saya." Ia kemudian memejamkan mata, memusatkan kekuatan chi yang ia pelajari dari para senior militernya. Meskipun tangannya cacat, lengan kirinya yang kuat dan berotot adalah asetnya. Dengan tarikan napas dalam, ia menanamkan kakinya kuat-kuat ke tanah bebatuan, merendahkan tubuhnya, dan kedua tangannya mencengkeram tepi batu yang licin tersebut.
Dengan erangan keras yang menggetarkan, Kizana mengerahkan seluruh tenaganya, otot-otot di lengannya menegang seperti tali baja. Sedikit demi sedikit, dengan gemetar, batu besar itu terangkat. "Sekarang, Nek!" perintahnya mendesak. Nenek Elara, dengan wajah penuh terima kasih dan kelegaan, segera menarik kakinya keluar. Kizana menjatuhkan batu itu kembali, lalu segera memapah Nenek Elara, memastikan wanita itu aman, sekali lagi membuktikan bahwa kekuatannya melampaui batas fisiknya, selalu didorong oleh kebaikan hatinya.
Setelah memastikan Nenek Elara bisa berjalan perlahan dengan sedikit tertatih, Kizana dengan telaten memapahnya kembali menuju jalur utama. Ia menenangkan wanita tua itu, berjanji akan mengantarnya sampai ke desa dan memastikan kakinya dirawat oleh tabib. Saat mereka berjalan, langkah Kizana melambat agar seirama dengan Nenek Elara. Wanita tua itu, setelah rasa sakitnya sedikit mereda, kembali ke sifatnya yang cerewet dan penuh cerita.
"Kau tahu, Kizana, aku sudah bilang pada Kepala Desa, kau terlalu berharga untuk sekadar patroli hutan," ujar Nenek Elara sambil bersandar sedikit pada bahu tegap Kizana. "Harusnya kau jadi jenderal atau setidaknya pengawal pribadi Raja. Dengan kekuatanmu itu, siapa yang berani macam-macam? Bahkan Senior Sakura itu pasti iri dengan tendangan balikmu!"
Kizana tertawa kecil, suara tawanya hangat dan renyah, bergema pelan di antara pepohonan. "Ah, Nenek terlalu memuji. Menjadi patroli di sini sudah cukup membahagiakan saya. Di sini damai, dan saya bisa membantu banyak orang. Lagipula, siapa yang akan menyambut para petualang yang tersesat di persimpangan kalau bukan saya?" jawabnya lembut. Ia menunduk dan membetulkan letak selendang Nenek Elara.
Saat mereka tiba di tepi hutan yang berdekatan dengan desa kecil Suzaku, mereka berpapasan dengan dua anak kecil, Mira dan Leo, yang sedang bermain panah-panahan kayu di bawah pohon apel. Melihat Kizana memapah Nenek Elara, keduanya segera berlari mendekat dengan wajah khawatir.
"Kizana Shu-chou (Ketua)!" seru Imo, yang paling bersemangat. "Ada apa dengan Nenek Elara? Apakah Dryad jahat menangkapnya?"
Kizana tersenyum meyakinkan. "Tidak, Imo, bukan Dryad. Nenek hanya sedikit terkilir kakinya karena jatuh. Sekarang, bisakah kalian berdua berlari ke rumah Nenek Elara dan memberitahu Pamannya, agar dia bisa menyiapkan air hangat untuk kompres? Bilang padanya saya yang mengantar," pinta Kizana. Kedua anak itu mengangguk dengan serius dan segera melesat pergi, merasa penting karena diberi misi oleh pahlawan desa mereka.
Akhirnya, Kizana berhasil mengantar Nenek Elara dengan selamat. Ia berpamitan dan menolak tawaran makanan ringan dan teh herbal, karena tugas patroli masih memanggilnya. Namun, ia tidak segera kembali ke hutan. Sebaliknya, ia menyempatkan diri untuk duduk di bangku kayu dekat sumur desa, menikmati sebentar suasana santai yang terasa damai. Dalam hati, ia tahu bahwa inilah kebahagiaannya: melayani dengan kekuatan dan kebaikan hati, menjaga ketenangan di sudut kecil dunia ini.