Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Luka
Di sebuah rumah sederhana yang masih diselimuti duka, sepasang suami–istri duduk di ruang tamu. Di pelukan mereka, tergenggam erat sebuah bingkai foto–wajah ceria putri mereka, Bela Ayu Natasya.
"Bela..." suara Bernia perau, nyaris pecah. Matanya tak henti membanjirkan air mata.
Bayu, sang suami, mencoba menguatkan. Ia mengusap pundak istrinya lembut. "Tenang, Mah. Kalau mama terus menangis, bela justru akan semakin sedih melihat kita dari sana."
"Tapi, Mas... anak kita, hiks..." Bernia tak sanggup melanjutkan. Kenangan tentang Bela menyerbu benaknya, membuat dada terasa sesak.
Bayu menahan gejolak emosinya sendiri. "Mama, harus kuat, ya. Papa janji, papa akan kerja lebih giat, demi kebutuhan kita. Kita harus tetap bertahan, demi bela."
Bernia hanya terdiam, air matanya makin deras membasahi pipi. Foto bela yang mereka peluk terasa seperti satu-satunya penghubung dengan sang putri yang baru saja meninggalkan dunia.
Di balik jendela, sosok berpakaian hitam berdiri diam. Xander. Sorot matanya sendu menatap pasangan itu. Rasa kehilangan yang mereka rasakan, membangkitkan kenangan pahit dalam dirinya–kenangan tentang kedua orang tuanya, tentang masa lalu yang hancur, sama seperti Bela. Ada luka lama yang kembali terbuka malam ini.
Beberapa saat kemudian, lampu rumah mulai dipadamkan. Bayu dan Bernia masuk ke kamar, masih memeluk foto putri mereka, seakan takut kehangatan Bela akan benar-benar hilang.
Sunyi menyelimuti.
Klik! Dengan cekatan, Xander mengaktifkan alat canggihnya. Sistem pengaman sederhana rumah itu tak berarti apa-apa di tangannya. Dalam hitungan detik, ia berhasil masuk ke dalam.
Langkah-langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, saat menyusuri ruang tamu yang remang. Nafasnya teratur, matanya tajam, penuh kewaspadaan.
Ia berhenti di depan pintu kamar bela. Untungnya... pintu itu tidak terkunci.
Perlahan, Xander mendorongnya. Engsel pintu berdecit samar.
Klik!
Dengan suara bunyi saklar yang pelan, cahaya lampu menyingkirkan kegelapan.
Kamar itu terasa hidup meski pemiliknya sudah tiada. Nuansa biru mendominasi–tirai, sepre bahkan bingkai foto kecil di meja belajarnya. Tas-tas tersusun rapi di rak, lemari berdiri tegak dengan pintu tertutup rapat.
Xander melangkah masuk, matanya menyapu setiap sudut ruangan. Ada kehangatan yang tersisa, bercampur dengam getirnya kehilangan.
Ia langsung fokus. Tangannya cekatan menggeledah–meja belajar, laci, bahkan kotak-kotak kecil yang tertata di pojok ruangan. Ia mencari satu hal: petunjuk tentang Dream hospital dan nama seorang Dokter–Andre.
Saat membuka salah satu laci meja, Xander menemukan sebuah ponsel tua. Tepat di atasnya, sebuah flashdisk berwarna hitam tergeletak rapi. Matanya menyipit–ini bisa jadi petunjuk penting. Tanpa ragu, ia langsung menyelipkan ke dalam saku hoodienya.
Belum puas, ia kembali mengacak-acak isi laci lain, mencari apa pun yang bisa menghubungkan dengan Dream Hospital dan Dokter Andre.
Tiba-tiba–kriiit...
Suara lantai kayu berderit samar dari arah luar kamar. Xander seketika menoleh cepat. Seluruh indranya siaga. Nafasnya ia tahan tubuhnya menegang, siap menghadapi kemungkinan terburuk.
Xander membeku sejenak, nafasnya di tahan rapat, telinganya waspada. Suara berderit itu jelas bukan imajinasinya–seseorang berjalan di lantai kayu rumah ini.
Jangan bilang... mereka bangun.
Dengan cepat, ia memadamkan lampu kamar, menyisakan cahaya temaram dari jendela. Tubuhnya begerak cekatan, menyelip ke sisi lemari, bersembunyi di balik bayangan.
Suara langkah itu semakin dekat. Pintu kamar Bela perlahan terdorong.
"Bela..." suara lirih Bernia terdengar. Nada suaranya masih penuh pilu. Wanita itu berdiri di ambang pintu, membawa lilin kecil yang bergetar di tangannya. "Mama kangan sama kamu, Nak..."
Xander bisa melihat siluetnya, meski ia berusaha tetap tak bergerak. Jantungnya berdetak kencang , tapi wajahnya dingin seperti biasa.
Bernia masuk beberapa langkah. Matanya menerawang ke sekeliling kamar, seakan berharap menemukan putrinya di tepi ranjang, tersenyum seperti dulu. Air matanya jatuh lagi.
"Bela... Mama tahu kamu masih di sini kan?" bisik Bernia, suaranya perau seakan merobek keheningan kamar dan menambah rasa mencekam.
"Mah..." ucap Bayu pelan dari depan pintu, suaranya terdengar serak namun berusaha tenang.
Bernia yang duduk di tepi ranjang menoleh, matanya masih basah. "Aku hanya kengan, Mas..." ujarnya lirih sambil memeluk erat foto Bela, senyum tipis yang penuh luka terbit di wajahnya.
Bayu melangkah masuk, tangannya menepuk lembut bahu istrinya. "Sekarang kita istirahat dulu, ya. Besok kita masih harua kuat," ucapnya tegas, namun tetap lembut, seolah ingin menenangkan sekaligus menguatkan.
Bernia menunduk sebentar lalu menganguk pelan. "Iya, pah..." jawabnya lirih. Ia berdiri menatap sekeliling kamar Bela–rak buku, tas yang masih tergantung, hingga baju-baju tertata rapi di lemari–semuanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Dengan berat hati, ia akhirnya melangkah keluar mengikuti suaminya.
Hening kembali menyelimuti ruangan.
Di sudut gelap, Xander yang sejak tadi menahan napas akhirnya berani menghela lega. Nyaris aja... batinnya, tatapannya kembali mengeras, sadar waktunya tak banyak.