Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya.  Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut.  ***  "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat.  "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna.  Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 22
"Papi ku sayang!" Aruna memeluk Himawan dengan senyuman riang. Lelaki itu sampai menatap anaknya dengan pandangan heran, tidak seperti biasanya. Kemarin, keduanya sudah bertemu dan kali ini Aruna meminta untuk bertemu kembali. Katanya, gadis itu ingin menghabiskan waktu dengannya. Himawan sih, setengah percaya dan selebihnya tidak sama sekali.
Lelaki itu menatap makanan yang sudah anaknya pesankan untuknya. Tanpa menaruh curiga apapun, lelaki itu meminum apa yang sudah ada.
"Kenapa?" Himawan bertanya penasaran.
"Ya ampun, makan dulu deh. Papi pasti capek kan?" Tanya Aruna dengan perhatian.
Himawan mengangguk, menikmati makanan dengan pelan. Tak lama wanita cantik mendatangi keduanya. Seolah pertemuan keduanya natural sekali, Aruna mengajak Wina untuk makan bersama.
"Loh, kamu yang waktu itu kan? Maafin istri saya ya," Himawan menatapnya dengan rasa bersalah.
"Santai aja mas, saya selalu memaafkan kesalahan orang lain kok. Oh, Aruna siapa anda?" Wina berlagak tidak tahu.
Himawan menoleh, menatap Aruna yang sedang menyeruput minuman dengan santai. "Anak saya yang paling nakal," lelaki itu tertawa pelan.
"Aruna memang nakal," Sahut Wina membuat Aruna menoleh tajam.
Himawan mengangguk semangat, lelaki itu menceritakan kenakalan anaknya. Sementara Wina, menanggapi dengan senang hati. Aruna bagaikan tak kasat mata di antara keduanya. Meski begitu, baguslah dia akan memanfaatkan keadaan. Aruna pamit ke kamar mandi pada keduanya. Gadis licik itu mengambil foto keduanya yang sedang bercakap dan melempar senyum.
"Gilak! Tante Wina emang keren dan cocok jadi sekutu gue, kalau Juna--- nggak cocok jadi sekutu!" Gumamnya dengan senyuman manis menatap ponselnya.
"Oh ya? Terus cocoknya jadi apa? Calon suami?" Arjuna menaikan sebelah alisnya.
"Ka---lo tahu darimana gue disini?"
Aruna menoleh dan mundur dengan kaget, mendapati wajah Arjuna dekat sekali dengan dirinya. Lelaki itu langsung menarik lengannya menuju lorong sepi menuju kamar mandi. Bagaimana bisa, Arjuna tahu dirinya sedang disini? Tentu Aruna merasa heran.
"Kamu nggak perlu tahu," Sahutnya santai, padahal Arjuna tahu dari Wina--- teman sekutu Aruna. Kemarin, Arjuna bertemu dengan wanita yang Aruna panggil dengan Tante Wina. Wanita itu sempat menyampaikan kalimat yang membuat Arjuna terdiam dan mengingatnya dalam hati.
"Aruna cuma butuh perhatian dan kasih sayang. Dia baik Juna, meski kadang langkahnya salah. Tante juga salah, karena nggak pernah bisa menolak permintaan dia. Tante, cuma terlalu sayang sama Aruna. Kalau Tante nggak setuju, dia bakal berpikir kalau---nggak pernah ada yang dukung dia."
"Tapi, itu salah Tante."
"lya, tapi Tante juga kasihan sama dia. Kalau bukan kita, yang sayang dan bantu dia? Siapa? Om sama Tantenya jauh, sedangkan Papinya jarang peduli." Wina menghembuskan nafasnya dengan sendu. "Tolong, jangan pernah tinggalin Aruna."
"Kadang aku bingung sama sikap Aruna, Tante."
Wina mengangguk. "Kadang apa yang dia ucapkan, beda sama isi hatinya. Aslinya, dia sayang banget sama kamu. Buat dia percaya, bahwa kamu bisa jadi tempat cerita."
Arjuna mengerjapkan matanya---tersadar dari lamunan, ketika merasakan tangan Aruna yang mendorong tubuhnya.
"Sampai kapan kamu mau maafin aku? Aku tau aku salah Runa, please maafin aku ya?" Mohonnya dengan wajah tulus. Aruna lantas menarik lengannya dengan cepat.
Gadis itu menggeleng. "Nggak ya, kita udah putus! Jadi, berhenti ganggu hidup ak---gue." Arjuna tersenyum sinis.
"Sayangnya, aku nggak terima keputusan kamu minta putus. Bagi aku, pacaran cuma sekali sampai menikah." Meski jantungnya berdebar kencang, Aruna langsung tertawa kencang.
"Oh ya? Percaya diri banget kam--lo, mimpi lo terlalu tinggi. Sekarang bangun, karena ak---gue nggak akan mau!"
Tubuh Aruna terkurung, ketika Arjuna membuatnya mundur dan menempel tembok. Tatapan Arjuna, kali ini terasa menyeramkan dan mendebarkan di saat yang bersamaan.
Cup
Arjuna melumat bibir mungil Aruna sebentar, kemudian melepaskannya. Gadis itu mematung kaget, tidak siap menerima kejutan tersebut. Terlalu mendadak sekali. Merasa tidak menerima penolakan, Arjuna kembali melumat bibir manis Aruna. Sial, Aruna tidak kuasa menolak ciuman tersebut.
"Aku nggak suka kamu bicara putus, Aruna Sasmita Himawan." Arjuna mengatakan dengan wajah tegasnya. "Coba sebutkan kesalahan aku, sampai kamu minta putus? Kalau valid, aku bakal setuju---kalau enggak valid, kamu harus maafin aku."
Aruna membeku sesaat, tidak ada yang salah dengan Arjuna. Mereka hanya tidak satu visi misi saja. Namun, Aruna belum mau memaafkan Arjuna begitu saja. Lelaki itu harus effort maksimal, enak saja jika mudah memaafkan. Meski di sudut hatinya mengatakan rindu setengah mati, ingin memeluk tubuh kekar kekasihnya setelah beberapa hari menjauh---Aruna tahan sekuat hati.
"Kita bukan lagi ujian, jadi pertanyaan kamu nggak perlu aku jawab." Arjuna tersenyum sinis, lelaki itu semakin menatap Aruna lekat dengan tubuh semakin dekat. "Awas! Kamu--- maksudnya lo jangan dekat-dekat!" Aruna mendorong jauh tubuh Arjuna.
"Sampai kapan?" Arjuna bertanya lirih.
Aruna mengedikkan bahu. "Selamanya!" Jawab Aruna dengan ragu, kemudian gadis itu berjalan cepat untuk kembali ke mejanya. Gadis itu sudah meninggalkan papinya bersama Tante Wina beberapa menit.
Mulutnya emang bisa bohong, tapi tatapan dan hatinya nggak bisa. Batin Arjuna menatap Aruna yang berjalan menjauh.
"Kamu lama banget di toilet," Wina menatap Aruna, kemudian mengambil tisu dan menaruh di bibirnya.
Aruna menatap bingung. "Bibir kamu belepotan lip cream-nya. Siapa yang cipok kamu?" Bisik Wina mendekat.
Aruna segera menguasai keadaan, untung saja papanya tidak menatap. Gadis itu kemudian pura-pura menerima panggilan telfon dan berkata ingin kerja kelompok.
"Sejak kapan, kamu mau kerja kelompok?" Himawan menatap putrinya dengan heran.
"Apasih papi! Runa tuh sekarang jadi cewek kutu buku ya, nongkrong dan ngobrol kaya gini---cuma diitung jari. Jadi, papi kasih uang tambahan ya? Aku mau beli buku nih,"
Wina menutup mulutnya, menahan diri agar tidak tertawa kencang. Kutu buku? bohong sekali, batin Wina menatap Aruna yang terlihat kalem.
"lya, papi kirim. Tapi, sejak kapan kamu berubah?"
"Sejak kenal sama Tante Wina, Papi suka nggak sama perubahan aku?" Himawan mengangguk senang, matanya melirik Wina.
"Terimakasih ya," Wina mengangguk singkat. "Terus, kamu udah putus belum sama pacar kamu?"
Aruna menggeleng sedih. "Juna nggak mau di putusin, gimana ya? Aku sampai bingung pi, kayaknya dia udah cinta banget sama aku." Wina menepuk jidatnya, titisan siapa Aruna ini? Mengapa pintar sekali.
Mata Himawan menatap tidak percaya. "Beneran, dia aja bilang mau ketemu Papi buat lamar aku. Katanya--- Juna nggak bisa hidup tanpa aku? Jadi, Runa harus gimana?" Aruna bertanya dengan wajah frustasi.
Jangan sampai si Juna dengar, bisa malu banget! Aruna melirik sekitar dengan cemas.
"Eh, udah dulu. Besok Aruna mau cerita lagi dan ketemu sama papi, bisa?" Himawan mengangguk pelan.
Aruna mencium punggung tangan dan pipi Himawan. Kemudian kakinya melenggang santai keluar dari Caffe dengan senyuman lebar. Baguslah, Tante Wina memang bisa di andalkan. Toh, wanita itu cocok dengan papinya. Setidaknya, harta papinya tidak jatuh ke tangan Siska.
Aruna berjalan keluar dan menatap sekitar. Tadi dia menemukan Arjuna disini, kemungkinan lelaki itu masih menunggunya. Awas saja kalau tidak, Aruna akan semakin lama memberi maaf.
"Nyari aku?" Arjuna tiba-tiba muncul di depannya, ketika Aruna membalik tubuh.
Gadis itu memegang dadanya kaget.
"Nggak, awas ak---gue mau pulang!" Tapi, Arjuna tidak memberi jalan. Lelaki itu tetap berdiri memotong jalan.
"Ayo, aku antar pulang!" Arjuna langsung menarik lengan Aruna dan membawanya masuk ke dalam mobil. Untungnya, Aruna tidak menolaknya lagi.
Keduanya tampak canggung di dalam mobil. Aruna inisiatif memutar lagu, untuk mengusir suasana canggung.
"Kamu udah mau maafin aku, sayang?"
Aruna mengangguk. "Dimaafkan, tapi kita masih putus!" Arjuna menoleh kaget.
"Aku nggak pernah setuju kita putus!" Bantahnya dengan tegas.
"Suka-suka gue!"
Arjuna menarik nafasnya pelan. Benar- benar menguji kesabaran dirinya. Baiklah, Arjuna turuti saja kemauan Aruna untuk saat ini.
"Mana ada mantan masih mau bales ciuman," Cibir Arjuna santai.
"Loh, ciuman kan bebas sama siapa aja." Balasnya tidak yakin.
Emosi Arjuna seketika terpancing. Lelaki itu mengeratkan genggamannya pada setir mobil.
"Jangan harap kamu bisa ciuman sama cowok lain!" Tatapan Arjuna begitu dingin dan datar. Aruna sampai merinding mendengarnya. "Kamu, jangan main-main sama aku sayang."
Aruna terdiam, tidak lagi membalas. Sepanjang jalan hanya diisi oleh suara alunan musik. Arjuna diam tidak lagi mengajak bicara. Sampai di apartemen Aruna, lelaki itu turut masuk. Aruna membiarkan saja, dirinya segera melenggang masuk dan memberikan air dingin.
"Diminum," Arjuna meneguk hingga habis. Tatapan matanya seperti laser, begitu tajam sekali.
"Aku ganti baju dulu," Pamitnya dengan lembut. Arjuna mengangguk singkat.
Cepat sekali Aruna berubah, tadi saja masih menggunakan lo-gue. Sekarang sudah aku-kamu lagi, tampaknya--- Arjuna yang diam dan marah, mengusik hatinya. Gadis itu masuk kamar meninggalkan Arjuna yang termenung sendirian.
Aruna kembali dengan membawa cookies yang sempat dirinya buat beberapa hari yang lalu. Dia membuka toplesnya dan menyodorkan pada Arjuna.
Aruna ikut duduk, menjaga jarak dengan Arjuna. Lelaki itu dengan santai merebahkan kepalanya di paha Aruna. Meski kaget, Aruna tetap bisa menguasai diri.
"Sayang, aku kangen banget sama kamu." Suara Arjuna terdengar lirih dan pilu. Lelaki itu menatap perutnya dan menenggelamkan wajahnya disana.
"Jangan marah lagi ya? Kita baikan?"
Aruna masih terdiam, merasakan jemari Arjuna yang nakal. Lelaki itu mengusap punggungnya dari dalam kaos, jemarinya terus naik dan membuka kaitan bra yang dirinya pakai. Aruna tersentak kaget, ketika Arjuna bangun dan mengukung tubuhnya. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya pada belahan dadanya dengan manja.
"Kamu nggak kangen?" Suara Arjuna berubah serak.
Aruna meremang, merasakan remasan dari luar bajunya. Tangannya langsung menepis jemari Arjuna, matanya berkaca- kaca karena kesal.
"JUNA! AKU BENCI KAMU!" Teriaknya mendorong tubuh Arjuna menjauh. "Tuh kan, kamu cuma suka sama tubuh aku. Bukan sama aku!" Pukulnya dengan keras.
"Aruna! Jujur, aku laki-laki normal sayang. Kamu lupa? Siapa yang ngajak duluan pas awal pacaran? Kalau pun kamu nggak suka, aku juga nggak akan apa- apain kamu lagi." Lelaki itu menatap Aruna dengan pandangan sinis.
"Nggak tahu! Pokoknya kamu yang salah! Jangan bahas-bahas yang dulu lagi?!"
Arjuna menatapnya heran, salah apalagi dirinya? Padahal kegiatan tersebut--- biasanya Aruna suka. Lelaki itu memeluk Aruna, meski dadanya di pukul dengan keras. Perlahan, suara tangis Aruna terdengar di telinganya.
"Aku sebel, kenapa harus kangen sama kamu setiap detik! Kenapa cuma aku yang ngerasa pengen ketemu kamu terus? Sementara kamu, enggak sama sekali?!"
"Kata siapa sayang?" Arjuna membelai lembut rambut Aruna, membawa anak rambutnya ke belakang telinga.
"AKU! KAN YANG NGOMONG AKU!" Teriaknya dengan sesenggukan. Arjuna tersenyum, menatap wajah marah Aruna yang terlihat lucu dan menggemaskan.
"Maaf ya sayang," Tuturnya lembut.
"Kamu nggak tahu, kemarin malam perut aku sakit hiks. Kamu nggak inget ya kan aku datang bulan. Padahal kita baru pisah berapa hari,"
Arjuna mengusap-usap punggung Aruna. Pantas saja, gadis itu mudah marah. Arjuna kecup jemari Aruna dengan lembut.
"Aku ingat, tapi kamu kan masih marah."
"Iya marah, tapi aku juga kangen." Lirihnya, Aruna lelah sejak tadi marah- marah dan menangis kesal.
Arjuna mengangguk, masih memeluknya erat. Lelaki itu mengambil ponselnya yang berada di saku celananya. Jemarinya dengan lincah membuka aplikasi pesan antar makanan.
"Mau sesuatu?" Tawarnya, menunjukkan layar ponselnya pada Aruna.
"Mau pizza sama ayam geprek. Mau Boba juga Jun,"
Arjuna menggeleng cepat. "Nggak pernah makan sayur pasti!" Lelaki itu mencubit pipi tembam Aruna pelan.
"Nggak suka, mau yang tadi aja Junnn!" Rengeknya manja. Arjuna tersenyum gemas, menuruti permintaan kekasihnya. Namun, pesanan Boba dia ganti dengan jus melon tanpa sugar.
Aruna masih betah memeluk Arjuna. Perlahan, dirinya merasakan kantuk menyerang. Entah mengapa, Aruna sering mengantuk setelah kelelahan menangis. Arjuna membaringkan di sofa, lelaki itu menaruh kepala Aruna di bantal sofa. Dirinya bangkit menuju kamar Aruna, mengambil selimut untuk menutupi tubuh kekasihnya. Nanti, saat makanan datang---akan dia bangunkan Aruna.
Jemarinya mengusap dan menghapus jejak air mata yang tersisa. Arjuna duduk di bawahnya dan menatap wajah Aruna yang terlelap. Wajah yang dia rindukan beberapa hari ini. Arjuna sudah berpikir dengan matang, apa langkah yang akan dirinya ambil. Kali ini, Arjuna tidak akan membiarkan Aruna terlepas dari genggamannya. Gadis itu terlalu licin untuk kabur-kaburan dan mengatakan putus seenaknya.