SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 — CCTV yang Tidak Mati
Pencarian Naya dan Reina terhenti tiba-tiba. Tepat setelah mereka menutup komputer Zio, lorong menuju ruang klub jurnalistik dipenuhi suara gaduh.
“Dia di sana! Dia sadar!”
Reina dan Naya saling pandang. Mereka langsung berlari keluar.
Di koridor Gedung Ekstrakurikuler yang remang-remang, sekelompok siswa dan beberapa guru piket mengerumuni sesuatu. Di tengah kerumunan itu, tergeletak di lantai keramik yang dingin, ada sesosok tubuh yang menggigil hebat.
Itu Zio Hartanto.
Wajahnya pucat pasi, seperti kertas putih yang sudah direndam air. Matanya terbuka lebar, tapi pandangannya kosong, fokus pada titik yang tidak ada. Seluruh tubuhnya basah kuyup, meskipun hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu.
“Zio!” Reina langsung berjongkok di sebelahnya. Ia menyentuh Zio. Tubuhnya terasa dingin sekali, seolah baru saja dikeluarkan dari freezer.
Seorang guru piket mencoba menenangkan kerumunan. “Dia ditemukan di depan gerbang, Nak. Kita harus bawa dia ke UKS.”
Reina mengabaikan guru itu. Ia menangkup wajah Zio. “Zio, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Di mana kamu?”
Zio berkedip lambat. Ia mengenali Reina.
“Rei… dingin…” bisiknya, suaranya seperti desahan napas yang hampir habis. “Di sana... di sana itu selalu hujan. Dan tahunnya salah.”
“Tahunnya salah? Apa yang kamu lihat?” desak Reina, mencoba menguatkannya.
Zio mulai berbicara, tapi kata-katanya tidak berurutan. Naya dan Reina harus mendekatkan telinga mereka untuk mendengarnya.
“Loker… loker itu bukan loker sekolah… itu loker di kamarku. Tapi di depannya ada guru yang aku benci… dia terus bilang aku nggak becus jadi jurnalis… dia bilang aku cuma cari sensasi. Terus aku lari…” Zio terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.
“Lalu?”
“Aku ketemu Aksa. Di koridor. Dia nggak lihat aku. Dia pakai seragam… seragam lama. Tahun 2019. Dia lagi ngomong sendiri di depan kaca pecah. Dia bilang, ‘Aku harus bikin dia kembali. Aku harus bikin dia ingat’,” Zio menangis, air mata membasahi pipinya yang dingin.
Reina menyadari, Lantai Tujuh telah menunjukkan ilusi yang paling traumatis bagi Zio—kegagalannya sebagai jurnalis dan guru yang meremehkannya, kemudian ia bertemu Aksa, yang kini terjebak dalam memori beberapa tahun silam (2019). Zio hilang di dimensi, tapi kembali di waktu nyata, membawa kembali trauma dan kebingungannya.
Daren muncul dari kerumunan, wajahnya tidak menunjukkan terkejut, hanya keprihatinan yang terkendali. Ia menatap Reina.
“Aku sudah bilang, Lantai Tujuh itu adalah cermin dari jiwa. Itu mengambil rasa bersalahnya, dan menukarnya dengan kebingungan waktu,” kata Daren.
“Kamu tahu dia akan kembali dalam keadaan seperti ini?” tanya Reina tajam.
“Aku tahu dia akan kembali. Dia bukan target Lantai Tujuh. Targetnya adalah orang-orang yang menyimpan rahasia kelam. Zio hanya anak-anak yang penasaran. Lantai itu melepasnya, tapi tidak melepaskan waktunya,” jawab Daren, suaranya lembut.
Tiba-tiba, Zio meraih tangan Reina dengan cengkeraman kuat.
“Rei! Loker itu nggak kosong! Di loker 2019… aku lihat video di dalamnya! Video CCTV!” Zio berteriak, kembali sedikit sadar.
“Video apa, Zio?”
“Video kita! Kita masuk lift! Tapi… tapi itu rekaman tahun 2019. Aku jalan sendiri di koridor, di loker-loker. Aku bawa kamera beda. Kamera yang udah usang,” Zio semakin panik. “Aku masuk tahun 2025, tapi di dalam, aku ada di tahun 2019. Aku lihat diriku sendiri… diriku yang tahun 2019… dia ketawa, terus dia nunjuk ke pintu lift yang terbuka. Terus dia hilang!”
Naya memejamkan mata ketakutan. Daren menghela napas panjang, menutup matanya sejenak.
Reina sadar, ini adalah kengerian yang sesungguhnya.
Lantai Tujuh bukan hanya memutar waktu. Lantai itu adalah arsip waktu yang kacau. Saat Zio masuk pada 2025, Lantai Tujuh mengembalikannya ke memori traumanya di masa lalu, dan di dimensi itu, dia melihat dirinya yang lain (Zio versi 2019) yang hilang atau terserap.
Setiap kali seseorang menekan tombol 7, lantai itu menampilkan 'dosa terbesar mereka' dalam bentuk ilusi yang mematikan—dan menukarkan ‘jiwa’ mereka dengan versi masa lalu atau masa depan mereka yang ada di dimensi itu.
Itu sebabnya Aksa kembali sebagai siswi berdarah—mungkin itu adalah Aksa versi 2019 yang gagal.
Reina mengeluarkan ponselnya, langsung membuka folder “GL_Unrec_F-7” di komputer Zio. Ia mencari rekaman sekitar tahun 2019.
Ia memutar rekaman acak dari koridor loker tahun 2019, dan ia menemukannya.
Rekaman buram, diambil dari sudut CCTV yang jauh. Terlihat seorang siswa berambut gondrong, mengenakan kemeja klub jurnalistik yang sudah pudar. Itu Zio. Zio versi 2019. Zio sedang berjalan sendirian, memegang kamera jadul. Dia terlihat panik, memotret dinding loker.
Lalu, Zio muda itu berhenti. Ia menoleh ke arah lift yang gelap. Ia tersenyum, senyum yang sangat aneh, dan melambaikan tangan ke arah lift, seolah menyambut seseorang.
Kemudian, Zio muda itu berjalan ke sudut, ke tumpukan karung goni tua yang Reina lihat di Bab 4, dan menghilang.
Sekarang, Zio versi 2025 yang baru kembali, menceritakan bahwa dia melihat Zio versi 2019 di sana.
Reina menatap Daren. “Lantai itu tidak membunuh mereka. Lantai itu menukarkan mereka. Zio 2025 hilang, dan yang kembali adalah Zio 2019, yang memori masa lalu traumanya kembali.”
“Lantai itu mengambil apa yang dia inginkan. Konten. Dan ia memberinya apa yang ia takutkan: kegagalan dan ketidakrelevanan. Dan ia menukar jiwanya dengan versi masa lalu yang terjebak di sana,” Daren menjelaskan, suaranya dingin.
“Jadi, Aksa yang hilang itu Aksa versi tahun berapa?” tanya Reina, suaranya tercekat.
Daren menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi di sana, waktu tidak linier. Ini adalah arsip dari semua siswa yang datang dengan rasa bersalah mereka.”
Reina memejamkan mata. Aksa, si pembuat. Daren, si korban. Naya, si adik yang mencari. Dan Zio, si jurnalis yang tertukar.
Tiba-tiba, Reina ingat amplop tua yang diberikan Daren. Ia merogoh saku blazernya.
“Aku rasa, kunci untuk menghentikan pertukaran jiwa ini ada di amplop ini,” kata Reina.
Ia merobek amplop itu, kertas di dalamnya sudah menguning dan rapuh.
Itu adalah surat dari Aksa. Tulisan tangan yang sama dengan jurnal.
Untuk adikku, Reina.
Jika kau membaca ini, berarti lantai itu sudah membangunkanmu. Aku tahu kau akan datang mencariku. Aku sudah mencoba. Aku gagal. Aku mencoba membuat mesin waktu, tapi aku malah menciptakan cermin dosa.
Aku memasukkan kode stabilitas di dalamnya, tapi hanya berfungsi sementara. Aku harus mengunci lantai itu. Aku membuat kuncinya menjadi memori yang paling jauh. Memori yang paling tidak ingin aku ingat.
Jangan percayai Daren. Dia tahu lebih banyak, tapi dia menyimpan rahasia terbesar. Rahasia itu bukan tentang lantai. Tapi tentang siapa yang seharusnya menjadi kurban.
Kuncinya ada di tempat lift pertama dibangun. Di tempat yang paling tua. Tempat yang ada di bawah tanah sekolah.
Jangan tekan tombol itu. Kau adalah pintu keluarnya.
Reina membaca kalimat terakhir itu berulang kali.
Kau adalah pintu keluarnya.
Bukan Zio. Bukan Daren. Dirinya. Aksa sengaja menjadikannya ‘Exit’ untuk Lantai Tujuh.
Reina menatap Daren. Daren sedang melihatnya dengan mata yang sulit diartikan.
“Aksa bilang jangan percaya padamu,” kata Reina.
Daren hanya mengangkat bahu, ekspresinya tidak berubah. “Dia benar. Aku tahu dia membuat ini. Tapi aku harus menutupi agar sekolah tidak hancur.”
“Kuncinya di ruang bawah tanah. Tempat lift pertama dibangun,” kata Reina.
“Itu omong kosong. Di bawah tanah hanya ada ruang boiler dan gudang tua,” Daren menyangkal, tapi nada suaranya terlalu cepat.
Reina memperhatikan reaksi Daren. Aksa bilang Daren menyimpan rahasia terbesar. Dan Daren menyangkal keras tentang ruang bawah tanah.
“Naya, kamu ikut aku,” kata Reina.
“Ke mana? UKS?” Naya bertanya, menunjuk Zio yang kini sudah mulai diangkat oleh guru-guru.
“Bukan. Ke ruang bawah tanah. Kita harus mencari lift pertama.”
Reina tahu, Daren bukan pencipta. Aksa yang menciptakan. Tapi Daren adalah penjaga rahasia yang paling gigih.
Dan sekarang, ia harus melanggar perintah Aksa dan Daren: Ia harus menemukan lift itu.