Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Malam
Suara langkah sepatu kulit bergema pelan di lorong rumah besar itu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Hansel akhirnya tiba. Dia berniat langsung naik ke kamar, melepas penat setelah rapat dan telepon panjang dengan Laudya. Namun, sebuah cahaya samar dari ruang makan membuat langkahnya terhenti. Dengan alis berkerut, ia melangkah ke arah sana.
Begitu pintu ruang makan terbuka, pemandangan yang muncul membuat Hansel terdiam. Hana, dengan kerudung yang sudah agak miring, tertidur di atas meja makan. Wajahnya pucat, kepalanya bersandar pada lengan, sementara beberapa piring berisi hidangan tampak sudah dingin.
Hansel menghela napas dalam-dalam. Ia tak mengerti kenapa gadis itu sampai menunggu. “Hana,” panggilnya pelan, menyentuh pundaknya.
Hana bergeming sejenak, sebelum akhirnya membuka mata dengan wajah yang masih lelah.
“Tuan Hansel?” suaranya serak.
“Tidurlah di kamarmu ... ini sudah larut.”
Namun bukannya berdiri, Hana justru buru-buru bertanya, “Anda sudah makan, Tuan?”
Hansel menatapnya sebentar. “Belum.”
“Kalau begitu … saya panaskan dulu makanannya.” Ia hendak beranjak, tapi Hansel menahan tangannya.
“Tidak usah, aku makan seperti ini saja.”
Hana terdiam, menatap wajah suaminya itu dengan ragu, tapi kemudian mengangguk pelan. Hansel pun duduk, dan Hana sigap melayaninya, mengambilkan piring, sendok, juga menuangkan segelas air putih. Semua dilakukan dengan hati-hati, seakan itu sudah menjadi tugasnya sejak lama.
Hansel mulai makan, sementara Hana berdiri di sampingnya, memperhatikan dalam diam. Tatapan matanya penuh dengan sesuatu yang sulit ditebak, antara kepedulian dan kelelahan.
Tanpa menoleh, Hansel menggumam, “Duduklah ... atau kalau lelah, tidur saja. Tidak perlu menungguku makan.”
Hana hendak melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti ketika suara Hansel kembali terdengar.
“Kamu … sudah makan?”
Hana menoleh, menundukkan kepala.
"Belum,"
Sendok di tangan Hansel terhenti. Matanya menatap kosong ke arah makanan, pikirannya berputar cepat. Laudya, istrinya yang sah, tak pernah melakukan itu. Jika Hansel terlambat pulang, Laudya selalu lebih dulu makan atau bahkan tidak peduli sama sekali. Sementara gadis di depannya ini rela menahan lapar hanya untuk menunggu dirinya.
Hansel menelan ludah, entah karena makanan yang mendadak hambar, atau karena ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Ia menoleh sekilas, menatap Hana yang kini menunduk dalam diam.
“Ambilkan piring untukmu,” ucap Hansel dingin seakan bernada tegas tak ingin Hana bantah.
Hana mengangkat wajah, matanya sedikit terbelalak. “Tidak perlu, aku bisa...”
“Aku tidak suka makan sendirian,” potong Hansel cepat.
Ada jeda singkat, sebelum Hana akhirnya menurut. Ia mengambil piring, lalu duduk di hadapan Hansel. Mereka makan bersama dalam hening, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu. Di balik tatapan dinginnya, Hansel diam-diam memperhatikan cara Hana makan, pelan, dan teratur, seakan takut menimbulkan suara. Ada kesederhanaan yang berbeda, kontras dengan gaya Laudya yang selalu glamor dan sibuk dengan gawainya bahkan saat di meja makan. Entah mengapa, malam itu Hansel merasa hatinya sedikit lebih tenang. Dalam dia tersenyum, seakan hatinya terasa sejuk saat melihat wajah Hana yang tiba-tiba menoleh padanya. Tatapan sendu Hana membuat Hansel tersenyum.
Suasana meja makan perlahan hening ketika suapan terakhir tertelan. Hansel bersandar di kursi, sementara Hana dengan sigap berdiri dan mulai membereskan piring-piring. Tangannya bergerak teratur, seakan sudah terbiasa melayani.
Namun, ketika ia hendak mengambil piring Hansel, tangan pria itu mendadak menahan pergelangan tangannya. Hana terkejut, matanya membesar sejenak.
“Tuan Hansel?” panggilnya pelan, bingung dengan sikap mendadak itu.
Hansel tak segera menjawab. Tatapannya terarah pada jemari halus Hana yang masih ia genggam, lalu beralih ke wajahnya yang tampak pucat. Untuk pertama kalinya malam itu, dinginnya tatapan Hansel mencair. Ada sesuatu di sana, entah rapuh atau lelah.
“Biarkan saja, nanti pelayan yang bereskan,” ucapnya rendah.
Hana menelan ludah, mencoba menarik tangannya, tapi Hansel tidak melepas. Pria itu malah bangkit dari kursinya, berdiri begitu dekat hingga Hana bisa merasakan aroma parfum dan sedikit bau asap rokok yang masih melekat di jasnya.
“Kamu…” Hansel menarik napas dalam, lalu menunduk sedikit menatap mata Hana. “Tidurlah di kamarku malam ini.”
Hana sontak menegang. “Apa?” suaranya bergetar, tak yakin dengan apa yang baru ia dengar. Trauma malam itu masih terbayang dibenaknya.
Hansel mengalihkan pandangan, menekan rahangnya yang menegang. “Aku … merindukan Laudya.” Ucapannya lirih, tapi tegas. “Dia jauh, dan aku butuh seseorang … untuk menemaniku tidur.”
Jantung Hana serasa diremas. Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk perlahan. Dirinya bukan yang dirindukan, hanya pengganti. Bayangan semu dari wanita yang bahkan tidak ada di rumah ini.
“Aku…” Hana ingin menolak, bibirnya bergetar, tapi teringat ucapan ibunya 'satu tahun, Hana. Setelah itu semua akan berakhir.' lagi-lagi ucapan itu merobohkan dinding pertahanan Hana di depan pria itu. Hansel menatapnya lekat, menunggu jawaban. Aura pria itu mendominasi, membuat Hana sulit berpaling. Akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, Hana menjawab, “Baik ... aku akan menemani Tuan malam ini.”
Hansel melepaskan genggaman tangannya perlahan, lalu berbalik menuju tangga. “Ayo,” ucapnya singkat.
Hana berdiri mematung sejenak, hatinya terhimpit rasa sakit dan pasrah. Lalu ia melangkah pelan mengikuti Hansel menaiki tangga, menuju kamar yang bukan untuknya namun malam itu harus ia isi.
Kamar Hansel dipenuhi cahaya temaram lampu dinding, bayang-bayang bergerak samar di tirai yang tertiup angin. Begitu pintu terkunci dari dalam, Hansel berjalan ke arah lemari besar. Tangannya terulur, menarik sebuah gaun malam sutra berwarna merah marun. Benda itu jatuh lembut dari tangannya, berkilau di bawah cahaya redup.
“Pakailah ini,” ucapnya datar, namun matanya menatap Hana penuh arti. Hana menatap gaun itu dengan kening berkerut. Wajahnya memucat, napasnya tercekat.
“Itu … milik Nyonya Laudya, bukan?” tanyanya, suara bergetar.
Hansel tak menjawab, hanya mendekat, menyodorkan gaun itu pada Hana. “Ya ... dan aku ingin melihatmu mengenakannya malam ini. Dengan begitu aku terus berpikir jika yang tidur di sampingku adalah Laudya bukan kamu."
Hana terdiam, dadanya sesak. Ada bara yang meletup dalam dirinya, bercampur sakit dan penghinaan.
“Jadi … Anda ingin aku jadi pengganti? Memakai miliknya, agar seolah-olah aku adalah Laudya?!” suaranya meninggi, meski samar bergetar. Hansel mengeraskan rahangnya, menatapnya tajam.
“Saya hanya memintamu mengenakannya ... tak lebih.”
Air mata Hana menggenang, ia menggenggam gaun itu dengan tangan bergetar.
“Kalau Anda menganggap saya sebagai istrimu, jangan samakan aku dengan orang lain, Tuan Hansel … meskipun itu Nyonya Laudya.”
Perkataan itu membuat Hansel tertegun. Diam beberapa detik, napasnya berat. Lalu perlahan ia berkata, “Kalau kau tidak suka … kau boleh melepaskannya setelah itu.”
Ada jeda panjang, Hana menunduk, bibirnya bergetar, hatinya berperang. Ia ingin menolak, ingin berlari keluar kamar itu, tapi kesadaran bahwa pria itu suaminya, suami yang sah secara agama membuat langkahnya tertahan.
Akhirnya, dengan pasrah, Hana menggenggam erat gaun itu dan membiarkan kain halus itu melekat di tubuhnya. Sementara Hansel terdiam, matanya menatap dalam. Entah mengapa gaun ini terlihat jauh lebih cocok untuk Hana, pikirnya dalam hati, namun mulutnya tetap bungkam.
Ketika Hana berdiri di hadapannya, dengan wajah tertunduk dan mata yang basah, Hansel mendekat, jemarinya terulur, menyentuh pelan dagu Hana, mengangkatnya agar menatapnya.
“Hana…” suara Hansel berat, nyaris seperti rintihan. “Izinkan aku malam ini ... Aku tidak akan memaksa jika kau menolak. Tapi kumohon … aku ingin ini berakhir lebih cepat, jika kau hamil … semuanya akan selesai.”
Hana menggigit bibirnya keras, menahan isak yang ingin pecah. Kata-kata Hansel begitu tajam, seakan dirinya hanya jalan pintas menuju kebebasan Hansel dari pernikahan itu. Dengan tetesan air mata jatuh di pipinya, Hana mengangguk pelan. Ia tak mampu berkata apa pun, hanya menyembunyikan wajahnya dalam cahaya redup yang mengaburkan luka hatinya.
Hansel meraih bahunya, mendekat. Malam itu, di antara bisikan rindu Hansel pada Laudya dan tangisan yang Hana sembunyikan, tubuh keduanya terikat bukan oleh cinta, melainkan oleh kewajiban yang penuh luka.
Sementara itu, di Negara lain London. Laudya meneguk pelan anggur yang ada di gelasnya. Di tersenyum getir menatap foto pernikahan dirinya dan Hansel.
"Jangan terlalu banyak minum ... pikirkan kesehatanmu," Laudya menoleh itu suara managernya Rian.
"Aku tahu," sahutnya. Rian memberikan sebuah selendang bulu untuk menutupi kedua bahu Laudya yang terbuka pada malam yang sejuk itu.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊