Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Rumah sederhana yang terletak beberapa meter dari jalan raya terlihat masih saja di kunjungi beberapa orang untuk melayat. Rumah itu tidak lain rumah Roni ayah Sendi.
"Terima kasih Bulek,"
Haya berpelukan dengan buleknya, beliau adalah kerabat yang tinggalnya jauh, dia adalah kerabat dari Ayah.
"Kamu yang ikhlas ya, Ha. Sering-sering tengok Ayah dan Adik kamu juga jika waktu kamu lagi senggang."
Haya mengangguk. "Iya Bulek."
Setelah kepergian bulek. Haya masuk ke dalam rumah. Haya menuju kamar sang adik. Haya melihat Sendi sedang duduk di tepian ranjang, menghadap ke jendela.
Sejak kepergian ibu dua hari yang lalu Sendi seringkali menyendiri, bahkan untuk makan saja Haya yang selalu cerewet menyuruhnya. Terkadang, Haya sampai berniat ingin menyuapi Sendi karena dia tak kunjung mengambil makan. Contohnya sekarang ini, hari sudah menunjukan pukul tiga kurang beberapa menit dan Sendi belum makan siang sama sekali.
"Dek, makan dulu," Haya mendudukan pantat di tepian ranjang di sebelah Sendi.
"Hm,"
"Ya udah ayo, mbak temenin."
"Nanti aja. Aku belum laper."
Haya berdecak. "Jangan sering-sering nahan laper, telat makan, dan mengabaikan rasa laper. Nanti kamu bisa kena maag,"
"Biarkan saja."
"Dek,"
"Iya-iya! Aku makan, mbak cerewet banget..!" Sendi meninggikan suaranya membuat Haya terkejut. Ini pertama kalinya Sendi meninggikan suara di depannya.
Haya paham. Haya maklum. Sendi sedang hancur karena meninggalnya ibu. Haya tidak akan sakit hati.
Haya beranjak mengikuti Sendi yang sudah lebih dulu keluar kamar menuju ruang makan.
"Makan yang banyak, Dek. Itu mbak masak banyak." seru Haya saat melihat Sendi yang sudah mulai menyuap nasi serta lauk ke dalam mulut. Sendi pun mengangguk.
"Sudah dua hari kamu nggak masuk sekolah, besok masih mau izin?" Haya duduk di kursi yang berseberangan dengan Sendi sambil menatap adiknya yang sedang makan.
Sendi menggeleng, mulut sibuk mengunyah dan memang sedang tidak mood buat ngomong.
"Kalau masih mau izin nggak papa, tapi jangan lama-lama, nanti kamu ketinggalan banyak pelajaran. Sayang banget lho,"
Sendi melirik mbak Haya, mulutnya berhenti mengunyah. "Bisa diem nggak? Lama-lama kuping gue bisa budek denger ocehan lo terus, dasar cerewet." omelnya menahan kekesalan pasalnya sejak kemarin mbaknya ini banyak bicara banget. Mbak Haya nggak tahu apa kalau hati Sendi lagi sensitif banget? Heran.
Haya terkejut mendengar omelan Sendi yang pertama kalinya dan entah kenapa hatinya mendadak terasa sakit. Kalau yang tadi di kamar, si Haya masih bisa mengerti tapi kalau yang ini, Haya nggak mau maklum lagi. Haya beneran sakit hati. Padahal Haya ini peduli makanya Haya seperti itu pada Sendi. Tapi apa? Sendi malah mengomelinya.
"Kamu tuh kasar banget ya ngomong sama mbak," Haya berdiri dari duduk menatap Sendi dengan mata memerah menahan amarah. "Kamu nggak sopan. Ya sudah, mbak mau pulang aja, aku nitip Ayah,"
Haya pergi dengan wajah marah penuh kesal, dan Sendi melihat itu. Sendi tahu dirinya salah tapi sejak dua hari yang lalu hatinya memang sedang sensitif banget, bawaannya selalu pingin marah-marah.
Sendi memejam, membuang napas. "Astagaaa, kenapa jadi begini?" Sendi mendorong piring dia sudah tak berselera untuk makan. Sendi akan menemui mbak Haya dan meminta maaf.
Sendi berjalan untuk menemui mbak Haya tapi langkah Sendi terhenti. Sendi termenung saat telinganya mendengar suara motor mbak Haya yang sudah mulai pergi.
Sendi berjalan cepat bahkan berlari tapi dia terlambat, begitu tiba di luar rumah mbak Haya sudah pergi, motornya sudah menjauh. Sendi menghela.
"Semoga mbak Haya nggak lama marah sama gue, maaf ya mbak,"
...----------------...
Hari selasa.
Pagi ini Sendi memutuskan untuk masuk ke sekolah. Sudah cukup dia izin selama tiga hari karena Sendi tidak mau banyak ketinggalan mata pelajaran. Ya walaupun sebenarnya masih terasa sedih karena meninggalnya ibu.
Begitu sampai di parkiran sekolah, Sendi melepas kunci dari motor dan memasukannya ke dalam saku celana.
"Hai,"
Sendi menoleh saat ada yang berdiri di dekatnya. Kening Sendi berkerut melihat cewek yang pernah dia temui sekali di ... ah, cafe.
"Gue nungguin lo dari tadi,"
Dia Dita dia memang sudah datang ke sekolah sejak satu jam yang lalu. Dita sengaja berangkat lebih awal karena ingin memberikan helm yang di beli untuk ganti rugi. Sebelum Dita memberikannya Dita merasa tidak tenang. Dan sejak kemarin Dita memang tidak merasa tenang sama sekali. Beruntungnya pagi ini Dita berhasil bertemu orangnya yaitu cowok yang ada di depannya ini, Sendi.
"Kenapa nungguin gue?"
Sendi menatap cewek yang tidak lain adalah Dita dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu tatap matanya berhenti di kardus yang ada gambar helm di cekalan Dita.
"Ini." Dita mengulurkan helm yang masih ada kardusnya. "Gue mau ngasih ini. Maaf ya gue kemarin beneran nggak sengaja jatuhi helm lo, gara gara gue hari ini lo juga nggak pakai helm,"
Sendi terdiam dia tidak langsung menerimanya juga. Sendi juga ingat kalau hari ini terpaksa nggak pakai helm karena helm nya rusak. Ya tentunya rusak karena di jatuhkan sama tuh cewek.
"Oh, nggak apa-apa."
Sendi turun dari motor dia menatap cewek yang kini berdiri di depannya. Wajah cewek itu terlihat merah bahkan saat Sendi menatap tangan dia yang memegang kardus berisi helm, tangan tuh cewek kelihatan gemetar.
"Lo sakit ya?"
"Hah?"
Dita terkejut bahkan kedua matanya sampai melotot mendengar tanya dari cowok di depannya ini. "E-enggak. Gue nggak sakit kok. Jadi maaf gue di terima nggak nih?"
"Bukannya gue udah bilang nggak apa-apa ya waktu itu. Jadi buat apa lo minta maaf ke gue lagi?"
"Ya.. pokoknya gue mau minta maaf lagi. Dan gue mohon terima ini. Isinya helm, gue belinya persis sama kayak punya lo. Sekali lagi gue minta maaf,"
Dita menarik tangan Sendi dan memaksa untuk menerima helm darinya. Tanpa menunggu jawaban Dita berbalik dan mulai berjalan pergi.
Sendi menatap helm yang ada di tangannya lalu menatap kearah Dita.
"Heh, nama lo siapa?!"
Suara Sendi yang sedikit kencang membuat langkah Dita terhenti. Dita menoleh ke belakang dan netranya bertemu netra milik Sendi.
"Ella."
______
"Lo ngapain beg0? Gue tanya sekali lagi. Lo ngapain ngaku pake nama gue? Sinting ya lo, sumpah, lo sinting Dit..."
Sudah sejak lima belas menit yang lalu telinga Dita mendengar kalimat yang sama dari mulut Ella. Rasa-rasanya kuping Dita sampai pengang sekali mendengarnya.
Sekarang mereka sedang berada di pantai. Karena sekolah mereka sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Karena itu pula Ella mengajak Dita ke pantai agar Ella bisa memaki Dita mengomeli Dita sepuas hatinya. Sumpah. Sekarang ini Ella beneran kesal banget sama Dita. Beneran kesel-keseeeeeell banget.
Tadi itu saat Dita ngasih helm ganti ruginya, Ella juga ikut serta, tapi Ella hanya menunggu di atas motornya saja sambil melihat Dita dari kejauhan.
Ella melihat interaksi Dita dan si cowok itu. Karena menurutnya tidak ada yang perlu di khawatirkan. Ella berpikir untuk masuk ke kelas lebih dulu tapi baru selangkah menjauh dari motornya Ella mendengar.
Heh, nama lo siapa?!
Ella
Kedua mata Ella melebar, bahkan selebar-lebarnya sampai matanya terasa perih, nyaris lompat dari tempatnya. Saat itu dada Ella naik turun emosi, kesal, tentu ingin mengomeli temannya satu itu. Tapi Ella masih mau jaga image di depan umum jadi sekarang ini, di pantai ini, adalah tempat dan waktu yang tepat buat ngeluarin kata-kata kasarnya pada Dita.
"Sumpah demi apapun, lo nyebelin banget, gue kesel sama lo. Sumpah gue kesel banget,"
Ella mendudukan pantat di bangku warung yang terbuat dari bambu. Kebetulan warung ini tidak buka jadi pas sekali untuk mood Ella yang sedang berantakan karena diberantakin oleh temannya yang satu itu.
"Udah capek ngomelnya, Bu?" tanya Dita yang melihat Dita duduk, karena sejak tadi Ella tidak mau duduk sedikitpun.