Tahun 2005, seorang karyawan hotel bernama Nadira Pramesti, 21 tahun, menjadi korban pemerkosaan brutal oleh tamunya sendiri di kamar 111 Hotel Melati Aruna. Ia ditahan, disiksa, lalu dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian—telanjang, penuh luka, dan wajahnya tertutup kain sprei hotel.
Pelaku tak pernah ditangkap. Kasusnya tutup begitu saja.
Sejak hari itu, kamar 111 menjadi teror.
Setiap kali ada pasangan yang belum menikah menginap di kamar itu lalu melakukan hubungan intim, lampu kamar akan padam… suara isakan perempuan terdengar… seprai bergerak sendiri… hingga salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan kondisi mirip Nadira.
Sudah 8 pasangan meninggal sejak 2006–2019.
Hotel ditutup selama 4 tahun.
Rumornya, roh Nadira hanya muncul jika “dosa yang sama” terulang.
Namun tahun 2024, hotel direnovasi dan dibuka kembali dengan nama baru:
Hotel Sunrise 111 — tanpa menghapus nomor kamarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 — Pertanda Pertama
Kesunyian yang Mencekik
Hotel Sunrise 111, 2024.
Hubungan intim yang seharusnya menjadi puncak kehangatan justru terasa dingin, tergesa-gesa, dan aneh. Fira tidak bisa sepenuhnya rileks. Ada sesuatu yang menahannya, seperti mata tak terlihat yang mengawasi dari kegelapan kamar. Ia mencoba memejamkan mata, fokus pada Revan, tapi rasa dingin yang ekstrem dari seprai itu seolah menembus kulitnya.
Saat momen itu selesai, Revan terengah-engah puas. Ia memeluk Fira, menempelkan pipinya di rambut Fira.
“Nah, itu dia. Semuanya baik-baik saja, kan? Cuma kamu aja yang kebanyakan mikir,” bisik Revan, suaranya terdengar meyakinkan dirinya sendiri.
Fira hanya mengangguk pelan. Mereka berdua terdiam, mencoba menormalkan napas mereka yang terengah-engah. Di saat itulah, keheningan di kamar itu terasa sangat pekat, begitu menekan, sampai-sampai Fira merasa tuli.
Lalu, hal itu dimulai.
Lampu tidur kecil, satu-satunya sumber cahaya di ruangan, mulai berkedip-kedip. Bukan mati total, tapi seperti lilin yang ditiup angin kencang. Cahaya kekuningan itu menyala-padam cepat, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding kamar.
“Lampu sialan!” Revan menggerutu. Ia mencoba memukul lampu itu dengan telapak tangannya.
Ketika tangannya menyentuh lampu, BLIP. Lampu itu padam. Gelap total.
Kini, Kamar 111 diselimuti kegelapan yang sama pekatnya dengan malam Nadira tewas. Kegelapan yang membuat telinga berdenging.
“Revan, handphone kamu mana? Cepat nyalakan flashlight!” Fira mulai panik. Ia meraih selimut, membungkus tubuhnya erat-erat, seolah selimut itu bisa melindunginya dari kegelapan yang kini terasa memiliki substansi.
Revan meraba-raba nakas. “Sialan, jatuh ke kolong ranjang!”
Dalam keheningan yang mencekik itu, Revan harus turun dari ranjang, merangkak, dan mencari ponselnya di bawah sana.
Saat Revan berada di bawah ranjang, Fira mendengar suara.
Bukan suara Revan. Bukan suara dari TV yang tadi mati.
Itu adalah suara isakan.
Sangat pelan. Sangat dekat.
Nnnnggghhh… nngggghhh…
Suara itu datang dari kamar mandi. Pintu kamar mandi yang tadi sedikit terbuka, kini terlihat oleh Fira dalam kegelapan yang agak berkurang karena mata Fira mulai menyesuaikan diri—pintunya tertutup rapat.
“Revan, cepat! Jangan bercanda!” teriak Fira. Suaranya terdengar gemetar dan jauh dari meyakinkan.
“Aku enggak bercanda, Fira! Kenopnya nyangkut!” balas Revan dari kolong ranjang, suaranya juga terdengar tertekan.
Isakan itu makin keras. Kini terdengar lebih jelas, seolah wanita itu bergerak dari kamar mandi, menuju tengah kamar.
Fira menoleh ke arah lemari pakaian. Sudut yang tadi ia lihat berbayang. Dalam kegelapan, ia melihatnya.
Sesosok siluet. Tinggi, kurus. Bergerak.
Siluet itu tidak terlihat seperti Revan. Siluet itu memakai semacam gaun panjang.
“Siapa di sana?” Fira memekik. Ia meraih lengan Revan yang masih mencoba meraih ponselnya. “Van! Ada orang di kamar!”
Revan tersentak, kepalanya membentur rangka ranjang. Ia mengeluarkan umpatan keras, tapi rasa sakit itu membuatnya sadar. Ia meraih ponselnya.
KLIK!
Lampu senter ponsel menyala, memuntahkan cahaya putih yang brutal ke dalam kamar.
Cahaya itu menyapu ruangan, memotong kegelapan seperti pisau.
Siluet di samping lemari pakaian… hilang.
Pintu kamar mandi tertutup rapat. Kamar itu kosong, kecuali mereka berdua.
Revan merangkak keluar dari bawah ranjang, napasnya memburu. Ia menggenggam ponselnya, tangannya gemetar.
“Tidak ada siapa-siapa, Fira,” kata Revan, suaranya sedikit gemetar. Ia mencoba mencari alasan logis. “Pasti itu bayangan jaketku yang tergantung di kursi.”
“Bukan, Van. Bukan bayangan. Aku dengar dia menangis. Dia… menangis di kamar ini.” Fira menangis, air mata membasahi pipinya. Rasa takutnya kini meluap.
Seprai yang Bergerak Sendiri
Revan memeluk Fira erat-erat. Ia mematikan lampu senter, takut cahayanya menarik perhatian yang tidak perlu. Ia membiarkan Fira menangis di bahunya selama beberapa menit.
“Oke, oke,” bisik Revan. “Kita tenang. Mungkin kita terlalu lelah. Kita baru saja… terlalu bersemangat di kamar yang dingin ini.”
“Dinginnya bukan biasa, Van,” bisik Fira balik, suaranya penuh rasa ngeri.
Saat mereka berpelukan, Revan merasakan sesuatu yang aneh di bawah mereka. Seprai ranjang king size itu, yang seharusnya diam karena ditindih berat badan mereka, terasa… bergerak.
Gerakannya bukan karena gesekan tubuh. Gerakannya adalah tarikan halus, dari ujung seprai di dekat kaki ranjang, ke arah kolong. Seperti ada seseorang yang menarik ujung kain itu, perlahan, sentimeter demi sentimeter.
Revan berhenti bernapas. Ia menoleh ke bawah, ke arah kakinya.
Ia bisa melihatnya. Di cahaya remang-remang dari jendela, seprai putih tulang itu tertarik ke bawah ranjang.
Revan melepaskan pelukannya dari Fira, bergerak menjauh ke pinggir ranjang, kakinya menggantung.
“Kenapa, Van?” tanya Fira, suaranya kini tinggal gumaman.
“D-dia bergerak lagi,” bisik Revan, matanya melebar. Ia menunjuk ke arah seprai yang terus ditarik.
Fira menoleh. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Seprai itu melipat ke bawah, seolah ada tangan tak kasat mata yang menariknya ke kegelapan di kolong ranjang.
Rasa dingin yang ekstrem kini berubah menjadi rasa dingin yang membakar.
Revan tidak lagi mencari alasan logis. Ketakutan purba itu menghantamnya.
Ia melompat dari ranjang, meraih lampu senter ponselnya, dan mengarahkannya ke bawah ranjang.
“Keluar kau! Siapa kau?!” teriak Revan, suaranya pecah karena panik.
Cahaya senter menyapu ruang sempit di bawah ranjang. Debu, sedikit remah-remah, dan… kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Tapi seprai itu, di depan mata mereka berdua, kini tertarik seluruhnya, hanya menyisakan kasur yang terekspos. Seprai itu seolah menolak untuk menutupi ranjang itu lagi.
Fira menjerit. Bukan jeritan panik, tapi jeritan ketakutan yang dalam.
“Itu bukan aku, Van! Aku enggak ngapa-ngapain!”
“Aku tahu, Fira! Aku tahu!” Revan balas berteriak.
Mereka berdua kini berdiri di sisi ranjang, telanjang dan ketakutan, hanya berbalut selimut yang mereka pegang erat-erat. Tempat tidur itu, ranjang king size yang tampak mewah, kini terasa seperti altar yang kotor.
Suara di Cermin
Revan menyalakan semua lampu yang bisa ia nyalakan. Lampu standing di sudut kamar, lampu baca di atas nakas (yang ia pukul agar menyala lagi). Ia butuh cahaya. Ia butuh untuk melihat.
“Kita keluar dari sini,” kata Revan, mencoba meraih celana dalamnya yang tergeletak di lantai. Tangannya gemetar begitu hebat sehingga ia harus mencoba tiga kali untuk meraihnya.
Saat ia membungkuk, Fira melihat ke cermin besar di dinding—cermin yang tadi memantulkan bayangan gelap saat mereka bermesraan.
Di cermin itu, Fira melihat dirinya yang pucat dan mata Revan yang dipenuhi teror.
Tapi di antara refleksi mereka, ada sesuatu yang lain.
Di pojok atas cermin, di mana cat dindingnya terasa lembap, Fira melihat bayangan itu lagi. Kali ini tidak samar.
Itu adalah pantulan seorang wanita.
Ia berdiri di belakang Fira, sangat dekat, sehingga Fira bisa merasakan hawa dingin yang mematikan di tengkuknya. Wanita itu mengenakan gaun hotel lusuh, sobek di sana-sini, dan kulitnya pucat, seperti direndam air kapur.
Tapi yang paling mengerikan, wajahnya. Wajah wanita itu tertutup.
Seprai putih kotor, yang penuh dengan noda merah yang sudah mengering, membungkus seluruh kepalanya, diikat erat di lehernya, persis seperti deskripsi mayat Nadira di laporan polisi tahun 2005.
Fira tidak bisa bergerak. Matanya terpaku pada refleksi mengerikan itu.
Wanita itu, Nadira, mengangkat tangannya yang pucat, jari-jarinya kaku dan bengkok. Ia tidak membuat suara. Gerakannya lambat, seperti boneka yang digerakkan oleh tali yang sudah tua.
Tangan itu bergerak… menuju bahu Fira.
Fira ingin berteriak. Ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tapi suaranya tercekat. Ia hanya bisa mengeluarkan suara parau yang menyakitkan.
Revan, yang baru berhasil mengenakan celananya, menoleh. “Fira, kenapa? Kamu lihat apa?”
Fira hanya menunjuk ke cermin, tangan gemetar, jarinya menuding lurus ke bayangan wanita yang kini hanya berjarak beberapa sentimeter dari bahunya.
Revan menoleh ke cermin.
Ia tidak melihat apa-apa selain pantulan Fira dan dirinya sendiri, diselimuti cahaya lampu yang berkedip.
“Fira, jangan bikin aku gila! Enggak ada siapa-siapa!” bentak Revan, yang sudah sampai di ambang histeria.
Saat Revan menoleh ke cermin, Nadira, si roh penasaran, menarik tangannya. Ia bergerak mundur, menuju kegelapan yang berada tepat di belakang Fira.
Fira kini merasakan dinginnya gaun basah itu menyentuh punggungnya. Ia merasakan bau anyir yang kuat kini membanjiri kamar. Bau darah segar.
Dan kemudian, ia mendengar bisikan. Bukan suara isakan lagi, tapi suara yang sangat jelas, sangat dekat, seolah dihembuskan tepat di belakang telinganya.
“Kau… sama saja…”
Bisikan itu adalah kombinasi dari kepedihan, amarah, dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Fira limbung.
Ia berbalik, berhadapan langsung dengan kekosongan. Wanita itu tidak ada.
Tapi di kasur, di tempat mereka tadi bermesraan, noda basah berwarna merah gelap mulai muncul di seprai putih tulang itu. Noda itu menyebar cepat, persis di area di mana tubuh Nadira dulu terbaring.
Ini bukan pertanda lagi. Ini adalah teror yang sangat pribadi dan sangat nyata. Kamar 111 menuntut korban baru, didorong oleh trauma pemerkosaan yang kembali terulang.