Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Pamit Pulang
Usai mengasihi baby Kenzo, Rumi menaruhnya di boks baby. Agar Mama Rissa yang katanya datang untuk menegok cucunya bisa bebas melihatnya. Kemudian, ia mengambil tas kecil yang sejak tadi sudah rapi, dan siap untuk dibawa pergi.
Mama Rissa dan Aulia sama-sama melirik wanita muda itu penuh dengan kecurigaan. Sedangkan Julian gegas beranjak dari duduknya.
“Bu Liora, saya permisi mau pulang,” pamit Rumi kepada Mama Liora.
Mama Liora lantas menarik tangan Rumi, dan membawanya keluar dari kamar, Julian pun turut keluar.
Mama Rissa dan Aulia saling pandang dengan menggidikkan bahunya.
Rumi mengikuti langkah Mama Liora yang masih menggandeng tangannya, menelusuri lorong hingga di ujung sana. Tepat di salah satu pintu, Julian membuka pintu itu. Mereka bertiga pun masuk.
Mama Liora melepas tangannya, pandangan matanya pun tertuju pada Julian.
“Julian, apakah kamu sudah mengambil keputusan? Sementara Kenzo sangat membutuhkan Rumi?” tanya Mama Liora terdengar ada nada kecewa.
Julian menarik napasnya dalam-dalam sembari melirik Rumi. “Aku udah bicarakan dengan Rumi, dan aku tidak bisa memaksakan kehendak kita, Mah. Tapi, aku akan mencoba bicara kembali dengan Rumi.”
Wanita paruh baya itu menatap sendu pada Rumi, seakan-akan harapan yang ia inginkan hancur seketika saat Rumi ingin berpamitan.
“Mbak Rumi, Ibu sangat berharap kamu mau membantu kami. Setidaknya sampai enam bulan, atau dua tahun memberikan asi eksklusif untuk cucu Ibu. Hanya kamu ... satu-satunya penolong buat baby Kenzo. Dia sudah nyaman sama kamu. Dan, Ibu rela memberikan apa pun yang kamu inginkan, asal kamu mau ada di sini.” Suara Mama Liora terdengar serak, menahan kepedihan yang tidak bisa ia tunjukkan.
Rumi bisa melihat keresahan di wajah Mama Liora, dan ia sendiri pun sebenarnya berat meninggalkan baby Kenzo. Namun, ada urusan yang harus ia selesaikan. Ya, masalah almarhum suaminya yang masih bergelut dipikirannya.
“Bu, maaf ... bukannya saya tidak mau. Tapi, saya juga punya urusan yang harus saya selesaikan. Dan, ada beberapa pertimbangan yang lain. Apalagi, Ibu dengan sendiri kan bagaimana besan Ibu sudah mencurigai saya. Dan, itu akan bisa menjadi masalah kedepannya nanti. Saya tidak mau menjadi pihak yang dituduh padahal saya tidak melakukan hal itu.”
Mama Liora melipat bibirnya seraya mengusap lembut lengan Rumi. “Ibu tidak peduli dengan omongan mereka. Mereka tuh hanya takut jika Julian berpaling dari istrinya, maka dari itu sikapnya selalu negatif dan curigaan terus. Dan ... ini adalah kediaman keluarga Julian, bukan kediaman mereka. Mereka tidak berhak mengatur Ibu dan Julian. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya, selagi kamu memang tidak melakukan apa pun,” imbuhnya.
Rumi tersenyum tipis.
“Mah, biarkan aku yang bicara dengan Rumi. Sebaiknya Mama temani mereka dulu,” pinta Julian dengan tatapan tegasnya.
Mama Liora mendesah tanpa melepaskan pandangannya. “Mbak Rumi, Ibu sangat ... sangat membutuhkanmu. Ibu harap ... kamu memikirkannya,” ucapnya sangat berharap sebelum meninggalkan ruang kerja Julian.
“Baik Bu, saya akan pikirkan kembali ... tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun, ya.”
Tak lama kemudian, tinggallah mereka berdua. Julian melangkah ke salah satu lemari besar dan membuka brankas yang ada di sana, kemudian kembali menutupi setelah mengambil satu ikatan uang berwarna merah.
“Ini uangnya sesuai yang saya janjikan semalam.” Julian menyodorkan uang itu.
“Terima kasih, Pak. Tapi, ini terlalu banyak ... berikan saja sesuai yang Bapak janjikan, saya tidak mau berhutang,” pinta Rumi.
Bukannya dikurangi, justru Julian mengambil tas Rumi lalu memasukkan uangnya ke dalam sana.
“Saya harap kamu bisa mempertimbangkan permintaan Mama saya. Demi Kenzo ... lagi pula di rumah pastinya kamu tidak mengurus apa pun. Suami dan anakmu juga tidak ada.” Suara Julian tidak meninggi, begitu stabil dan ada sirat memohonnya di balik wajah dinginnya.
“Mmm ... kalau begitu saya pamit dulu, Pak.” Rumi mengambil tasnya dari Julian, tapi tertahan.
“Rumi, bagaimana kalau nanti anak saya haus kembali? Apa kamu bersedia datang kembali.”
Rumi mendongak, “tadi saya sudah simpan stok asi saya. Dan minta Mbak Nia mencari dot yang menyerupai, setidaknya dicoba dulu. Karena, saya harus pulang.”
Ingin sekali rasanya Julian memaksa seperti semalam dengan nada tingginya, tapi ia menahan diri. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan rasa egoisnya. Ada baiknya mencari jalan lain agar wanita itu bisa tetap di mansionnya.
“Sopir yang akan mengantarkan kamu pulang. Dan, saya harap kamu bisa datang saat anak saya tidak mau kembali menyusu lewat botol.” Julian merenggangkan tangannya dan membiarkan Rumi mengambil tasnya.
“Terima kasih, Pak. Semoga saja baby Kenzo mau.” Rumi menahan untuk tidak terlalu sedih berpisah dengan baby Kenzo, tapi mau bagaimana lagi.
Wanita itu berbalik badan, melangkah menuju pintu. Namun, baru saja mau membuka handel, pintu itu telah terbuka.
Pria yang membuka pintu itu terkejut melihat sosok Rumi. “Pa-pagi, Tuan Julian.” Pria itu tergagap, seakan melihat hantu di depan matanya.
Rumi hanya tersenyum, lalu keluar dari sana.
“Masuk Derry! Kenapa kamu jadi gagal begitu,” tegur Julian sembari berkacak pinggang.
“Eh!!”
Asisten Julian langsung menoleh, dan kembali bersikap biasa saja.
“Tuan kenal dengan wanita barusan? Terus ... kenapa dia bisa ada di sini?” Meluncur lah pertanyaan dari Derry dengan tatapan penasaran nya, sekaligus masih tidak percaya saat melihat Rumi.
Julian menjatuhkan bobotnya di sofa single. “Dia ... ibu susunya Kenzo. Ketemu di rumah sakit.”
“Hah ... Ibu Susu!” Derry semakin terkejut.
Kening Julian mengernyit heran. “Kamu ini kok kayak orang terkejut begitu? Ada apa? Apa kamu kenal dengannya?”
“Ah, nggak kenal Tuan. Hanya kaget aja ada wanita cantik di sini bersama Tuan. Setahuku saya mana mau Tuan berduaan dengan wanita lain selain dengan Nyonya Tisya.”
“Mmm ... kebetulan kamu ada di sini, saya ingin kamu menyelidiki mengenai wanita itu. Dia tampaknya sangat susah untuk tetap berada di sini. Barusan saja dia mau pulang, Mama yang menahannya saja masih dipertimbangkan. Sedangkan Kenzo udah cocok sama Rumi. Anak saya alergi susu formula, bahkan isinya asi saja juga tidak mau,” keluh Julian.
“Saya harus tahu kelemahan dia biar mau tinggal di sini, dan turut mengurus Kenzo sampai istri saya siuman.”
Derry masih terdiam, tapi hatinya berkata, “ jangan-jangan tadi aku salah tebak. Tapi ... aku ingat betul wajah wanita itu ... dia sangat mirip dengan wajah—“ Derry menepis dugaannya, dan tidak mau berspekulasi sendiri.
“Eh, Derry, kenapa kamu jadi diam! Dengarkan, apa yang saya minta!” sentak Julian.
Lamunan Derry buyar. “Dengar Tuan, maaf tadi saya sedang ingat jadwal Tuan hari ini,” balasnya.
Bersambung ... ✍️