NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cheviolla tertarik

Jam kuliah pertama belum dimulai, namun ruang kelas sudah penuh bisik-bisik.

Semua mata tertuju ke satu titik: Cheviolla.

Gadis itu sudah duduk di tempat biasanya, dekat jendela, dengan rambut panjangnya yang disisir rapi. Tak seperti biasanya, kali ini tatapannya tajam dan penuh tekanan.

Ia tidak membuka buku. Tidak memainkan ponsel. Ia hanya diam, namun sorot matanya cukup untuk membuat beberapa mahasiswa menunduk, merasa canggung.

Cheviolla tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya.

Dan saat pintu kelas terbuka—semua kepala langsung menoleh.

Raka melangkah masuk.

Langkahnya pelan. Pelipis kanannya masih dibalut plester kecil. Kacamata bulatnya kini setengah patah, disambung dengan selotip bening. Bajunya masih tampak kusut, seolah belum sempat diganti.

Hening.

Tak ada yang tertawa seperti pagi tadi. Tak ada yang menyambut dengan cemoohan seperti sebelumnya.

Semua diam.

Mereka baru saja menyaksikan Cheviolla—gadis paling dingin di kampus, yang tak pernah peduli urusan siapa pun—menarik Raka ke UKS dan merawat lukanya sendiri.

Satu demi satu, mahasiswa mulai berbisik:

“Lo lihat nggak, waktu dia marah tadi?”

“Dia bela si cupu itu…”

“Seriusan, itu Cheviolla ngomong banyak kayak gitu? Pertama kalinya!”

“Jangan-jangan… mereka kenal deket?”

Raka hanya menunduk dan menuju bangku pojok belakang. Ia duduk diam, tanpa menoleh ke siapa pun. Tak ada reaksi. Seolah semua sorot mata itu tak berarti.

Namun dari arah jendela, Cheviolla melirik.

Hanya sekilas, tapi cukup lama untuk membuat beberapa mahasiswa lain menyadarinya.

"Dia masih periksa lukanya sendiri?" gumam Cheviolla dalam hati. "Harusnya dia istirahat, bukan malah balik kuliah."

Ia menggenggam pensilnya sedikit lebih erat.

---

Suasana kelas berubah. Orang-orang mulai menyadari, ada sesuatu yang tak biasa hari itu.

Beberapa mahasiswa yang sebelumnya menjebak Raka… kini mulai merasa resah. Pandangan Cheviolla pagi tadi masih membekas di pikiran mereka. Amarahnya. Kata-katanya. Tatapannya.

Mereka tak menyangka, satu lelucon busuk yang mereka rancang... malah membuat Cheviolla memperhatikan Raka.

Dan Raka sendiri?

Ia hanya mencatat pelajaran, pura-pura mencocokkan dengan materi. Namun di balik semua itu, pikirannya bergerak cepat.

"Pergerakan mereka mulai kacau. Tapi aku belum boleh membuka apa-apa. Masih ada potongan yang belum pas."

"Dan dia... Cheviolla. Kenapa kamu tiba-tiba seperti itu...".

.

. Jam menunjukkan kelas waktunya berakhir

Matahari mulai condong ke barat. Kuliah terakhir hari itu selesai.

Mahasiswa satu per satu keluar dari ruangan, sebagian langsung menuju kantin, sebagian ke parkiran. Raka membereskan bukunya pelan-pelan. Ia menunggu semua orang keluar lebih dulu, lalu berjalan pelan melewati lorong kampus yang sudah agak lengang.

Langkahnya menuju parkiran belakang, tempat ia biasa memarkir vespa bututnya. Vespa itu sudah seperti bagian dari dirinya. Bodi tuanya penuh karat, joknya sudah pernah disambung dengan lakban hitam, namun ia selalu merawatnya sebaik mungkin.

Tapi saat ia mendekat—

Langkah Raka terhenti.

Di bawah bayangan pohon mahoni, vespa tuanya sudah tak seperti semula.

Spionnya hilang. Joknya disayat-sayat dengan benda tajam. Stangnya dicongkel kasar, dan pelat nomornya dicabut. Bensin ditumpahkan ke tanah. Helm tuanya dibanting dan pecah di samping motor.

Hening. Terlalu sepi.

Raka berdiri terpaku.

Beberapa mahasiswa lain yang lewat hanya melirik sekilas. Tak satu pun berhenti untuk membantu. Tak ada simpati. Beberapa bahkan menahan tawa kecil dan pergi begitu saja.

Salah satu dari mereka sempat berbisik:

“Bener kan, udah cupu, sekarang tambah kasihan…”

Namun Raka tidak bereaksi.

Ia hanya menatap motornya. Tangannya mengepal di sisi celana.

Lalu sebuah suara menyela keheningan.

> “Mereka pikir ini lucu?”

Cheviolla.

Ia berdiri tak jauh dari parkiran, masih mengenakan tas selempangnya, wajahnya dingin. Ia berjalan mendekat, mata tajamnya menelusuri motor yang rusak itu.

“Ini perbuatan mereka, kan?” tanyanya pelan.

Raka tersenyum tipis. “Entahlah. Mungkin memang sudah waktunya motorku pensiun.”

“Jangan bercanda.”

Cheviolla menarik napas. “Tadi kau sudah dipukul. Sekarang motormu dirusak. Sampai kapan kamu diam saja, Raka?”

Raka tak menjawab. Ia hanya berjongkok di samping vespanya dan menyentuh jok yang sobek.

“Tak semua hal perlu dibalas langsung,” gumamnya. “Kadang lebih menyakitkan kalau kita tetap tersenyum.”

Cheviolla menatapnya lama.

Lalu ia mengeluarkan ponsel.

“Aku akan lapor ke petugas kampus. Ini bisa diproses. Ada CCTV di sudut sana.”

Namun Raka menahan tangannya. “Jangan.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu ini bukan soal motor. Ini soal aku. Dan aku tahu... siapa yang memulainya.”

Tatapannya tajam untuk pertama kalinya sore itu. Sebentar, lalu kembali tenang.

Cheviolla terdiam, seperti ingin mengatakan sesuatu… tapi ia mengurungkannya.

“Kalau begitu,” katanya akhirnya, “aku antar kau pulang.”

Raka mendongak. “Hah?”

“Naik mobilku. Kau tidak bisa naik motor dalam kondisi seperti ini.”

Raka tertawa kecil. “Kalau aku naik mobil bersamamu, besok yang rusak bukan cuma motorku.”

Cheviolla menarik napas panjang, lalu menatapnya tajam. “Lain kali, kalau kau tidak mau dibantu, setidaknya berhentilah menahan segalanya sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan pergi.

Raka menatap punggung gadis itu, lalu kembali menatap motornya yang rusak. Di balik kacamatanya yang patah, matanya menyipit tajam.

> “Permainan kalian terlalu dangkal... aih anak" ini jika bukan karena misi aku akan menghajarnya satu"

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!