NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:751
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25 SUARA YANG TERBELAH

Artikel daring bermunculan sepanjang malam setelah konferensi pers. Foto Amara berdiri dengan mata berkaca-kaca di depan kamera menjadi headline di berbagai media. Judulnya bervariasi:

“Amara Bantah Gosip: Saya Tidak Akan Diam”

“Istri Muda Keluarga Atmadja Tunjukkan Ketegaran”

“Benarkah Amara Hanya Bermain Drama?”

Komentar publik terbelah.

“Aku salut dia berani bicara, padahal difitnah habis-habisan.”

“Ah, semua bisa diatur dengan uang keluarga Atmadja.”

“Kalau benar dia bohong, kenapa tampil di depan media? Itu bukti dia berani.”

Amara membaca komentar itu dengan jantung berdebar. Setiap kalimat terasa seperti pedang—ada yang melukai, ada yang menyembuhkan.

Bagas masuk ke ruang kerjanya dengan koran pagi. Ia meletakkannya di meja tanpa banyak kata. “Kau sudah melakukan bagiannya. Sisanya biar publik menilai.”

Amara menatapnya. “Tapi gosip ini masih terus berputar. Rasanya seperti tidak ada habisnya.”

Bagas menatap lurus. “Dan justru di situlah kau harus lebih kuat. Gosip akan mati sendiri kalau kau terus berdiri.”

Di kampus, suasana semakin panas. Papan pengumuman dipenuhi poster anonim baru: “Apakah orang seperti ini pantas menyebut dirinya mahasiswa?” Dengan foto Amara yang dicetak hitam putih, coretan merah menutup matanya.

Mahasiswa berkerumun, sebagian mengolok, sebagian hanya diam.

Selvia berdiri di tengah kerumunan, memegang selebaran. “Inilah buktinya! Kampus kita tercoreng karena satu orang. Bagaimana kalau nama universitas jatuh hanya gara-gara dia?”

Rani, mahasiswi yang sering membela Amara, berdiri maju. “Selvia, hentikan. Kau terlalu jauh. Bukankah kemarin sudah jelas audit membebaskan Amara? Ibumu sendiri yang menyebarkan gosip baru ini, kan?”

Wajah Selvia merah padam. “Kau tidak punya bukti!”

Indra ikut bersuara. “Justru Amara punya bukti. Aku lihat sendiri ibunya sehat. Semua gosip itu bohong.”

Kerumunan mulai riuh. Beberapa mahasiswa tampak goyah, tidak semua lagi berdiri di pihak Selvia.

Amara yang mendengar percakapan itu dari ujung koridor merasakan dadanya bergetar. Ia ingin maju, tapi memilih menahan diri. Biarlah kali ini suara orang lain yang berbicara untuknya.

Sore harinya, Amara duduk di balkon rumah aman. Ibunya duduk di kursi, menatap langit sore. “Mar, kamu yakin bisa menanggung semua ini? Aku takut kau terlalu lelah.”

Amara menggenggam tangan ibunya. “Aku lelah, Bu. Tapi aku juga tahu kalau aku menyerah, mereka akan menang. Aku tidak bisa biarkan itu terjadi.”

Ibunya tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan biarkan air matamu jatuh untuk orang-orang yang tidak layak. Simpan hanya untuk doa dan kekuatanmu sendiri.”

Air mata Amara kembali mengalir, tapi kali ini ia menunduk, mencium tangan ibunya dengan rasa syukur.

Malam menjelang, Bagas memanggilnya ke ruang kerja. “Ada kabar baru,” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop. Di dalamnya, ada foto Amara yang diambil diam-diam di kampus—wajahnya tampak letih, matanya sembab.

“Ini beredar di forum gosip mahasiswa. Mereka bilang kau hanya berpura-pura kuat, padahal rapuh. Mereka ingin menjatuhkanmu lewat kelemahanmu sendiri.”

Amara menatap foto itu lama. Lalu ia menggeleng. “Biarkan mereka bilang apa pun. Aku memang rapuh. Tapi aku tidak berhenti. Itu yang membuatku berbeda.”

Bagas menatapnya lama, lalu untuk pertama kalinya tersenyum samar. “Kalau kau terus berpikir begitu, tidak ada yang bisa menghancurkanmu.”

Larut malam, Amara membuka buku catatannya. Ia menulis dengan tinta yang sedikit bergetar.

“Hari ini aku mendengar suara-suara yang terbelah. Ada yang membela, ada yang menghina. Tapi untuk pertama kalinya, aku tahu aku tidak lagi berdiri sendiri. Rani, Indra, bahkan Ibu… mereka berdiri di sisiku. Mungkin itulah yang disebut kekuatan.”

Ia menutup buku itu, menatap jendela yang berembun. Di kejauhan, kota masih berisik, tapi hatinya mulai menemukan tenang di tengah badai.

Seorang mahasiswi yang belum pernah bicara dengannya sebelumnya menghampiri, menyodorkan buku catatan. “Amara, aku tahu kau sedang sulit… tapi aku ingin kau tahu, tidak semua orang percaya gosip itu. Ada yang masih percaya padamu.”

Amara tertegun, menerima buku catatan kecil itu. Di dalamnya tertulis kata-kata sederhana: “Kuatlah. Suaramu dibutuhkan.” Air matanya hampir pecah, tapi ia menahannya. Ia tersenyum kecil dan membalas, “Terima kasih.”

Di sudut ruangan, Selvia melihat kejadian itu. Wajahnya mengeras. Ia mendekati beberapa mahasiswa lain, berbisik dengan nada tajam. “Jangan tertipu. Itu hanya akting. Dia ingin kalian percaya supaya citranya bersih. Padahal semua tahu, gosip tentang ibunya itu benar.”

Namun kali ini, bisikan Selvia tidak mendapat sambutan besar. Beberapa mahasiswa hanya mengangkat bahu, bahkan ada yang menjawab, “Kalau cuma gosip, lebih baik kita fokus belajar. Lagipula, dia sudah berani tampil di depan media. Kamu sendiri berani?”

Wajah Selvia memerah. Ia menggigit bibir, lalu berbalik meninggalkan perpustakaan. Untuk pertama kali, serangannya tidak berhasil.

Sore itu, Amara menerima pesan dari pihak yayasan. Laporan kegiatan kelas desain anak-anak sudah dipublikasikan, lengkap dengan dokumentasi foto. Di layar ponselnya, ia melihat wajah anak-anak kecil tersenyum sambil memegang karya dari barang bekas.

Komentar publik di media sosial yayasan pun bermunculan:

“Salut, di tengah gosip, mereka tetap bekerja.”

“Anak-anak terlihat bahagia. Itu bukti nyata.”

“Mungkin gosip hanya gosip. Yang penting hasilnya ada.”

Amara menatap foto-foto itu lama. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dadanya terasa lapang. Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Inilah alasan aku bertahan. Mereka. Anak-anak itu.”

Malam menjelang, Bagas masuk ke ruang kerjanya dengan ekspresi berbeda. Tidak lagi dingin, ada kelelahan bercampur rasa bangga di wajahnya. Ia meletakkan laptop di meja, memperlihatkan laporan media terbaru.

“Lihat ini,” katanya singkat. “Sebagian besar media mulai menulis tentang program yayasan, bukan lagi gosip. Konferensi pers kemarin mengubah fokus.”

Amara menatap layar itu, matanya berkilau. “Jadi… semua usahaku tidak sia-sia?”

Bagas menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Tidak sia-sia. Kau mulai mengubah arah.”

Ada hening sesaat. Amara merasa dadanya bergetar. Kata-kata sederhana itu jauh lebih berarti daripada seribu pembelaan.

Larut malam, ia kembali membuka buku catatannya. Tinta pena menari dengan mantap.

“Hari ini aku melihat suara-suara yang terbelah. Ada yang mencibir, ada yang membela. Tapi aku mulai sadar: aku tidak lagi berdiri sendirian. Selvia boleh berteriak, Meylani boleh berencana, tapi aku punya alasan untuk terus berjalan. Anak-anak, Ibu, dan segelintir orang yang percaya. Itu sudah cukup.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap keluar jendela. Bulan tampak bundar penuh, cahaya redupnya menembus tirai. Amara menarik napas panjang. Badai belum reda, tapi kali ini ia merasa memiliki perisai—bukan hanya dari orang lain, tapi dari keyakinannya sendiri.

Ketika hendak menutup buku catatannya, Amara mendengar ketukan pintu pelan. Ibunya masuk, membawa segelas susu hangat. “Kamu menulis lagi?” tanyanya lembut.

Amara mengangguk. “Hanya cara kecilku untuk tetap waras, Bu.”

Ibunya tersenyum samar. “Kalau begitu, teruslah menulis. Setiap kata adalah doa. Dan doa orang yang teraniaya… cepat sampai ke langit.”

Amara memeluk ibunya erat. Untuk sesaat, seluruh tekanan dari luar terasa menjauh. Ia tahu badai masih menunggu, tapi malam itu, pelukan hangat ibunya cukup untuk membuatnya percaya: besok ia akan kembali berdiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!