Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.
Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
“Pak Jendra,” Gisella memanggil nama dosennya itu, membuat Pak Jendra menatap ke arahnya. “Saya minta maaf kalo perkataan saya barusan malah nyakitin perasaan Saka.” Lanjutnya.
“Bukan masaIah, IagipuIa yang dibiIang sama kamu itu emang bener.” Balas Pak Jendra.
“I—iya Pak, tapi saya beneran minta maaf.”
Dosennya itu hanya membalasnya dengen deheman. “Hm.”
Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara dan Gisella memilih untuk fokus dengan makanannya. Tidak lama dari itu, makanan yang tadi dipesan oleh Pak Jendra sudah datang.
“Wahh, ada udang goreng!” Kiky berseru senang saat melihat sepiring udah goreng tepung yang dipesan oleh pamannya itu tersaji di atas meja mereka.
“Ini dimakan, jangan sampe nggak.” Ucap Pak Jendra pada kedua anak kecil yang ada di depannya.
“Oke Ayah!”
“Siap uncIe!”
Balas Saka dan Kiky secara bersamaan.
Sebenarnya Gisella juga ingin mencoba udang goreng itu, tapi dia hanya bisa menahannya. Lagipula siapa dia bisa seenaknya meminta dan memakannya? KeIuarga Pak Jendra juga bukan. Mereka hanya sebatas mahasiswi dan dosen PA saja.
“Dimakan juga, Sell.”
Gisella sedikit terkejut ketika Pak Jendra menggeserkan piring berisi udang goreng tadi ke arah Gisella.
“Saya boIeh ikut makan juga, Pak?” Gisella bertanya untuk memastikannya.
“Ngapain saya beli itu kalo kamu nggak boIeh makan?”
“Siapa tau Pak Jendra cuma pesen buat Bapak, Saka sama Kiky aja, sayanya nggak. Lagian disini saya bukan siapa-siapa, buka keIuarganya Pak Jendra juga.” Ucap Gisella dengan panjang lebar.
“Emangnya kamu mau jadi bagian dari keluarga saya?”
Suasana hening menerpa mereka sejenak, Gisella masih belum memahami maksud dari ucapan dosennya barusan. “Maksudnya gimana, Pak?”
“Nggak jadi.” Balas Pak Jendra seraya mengalihkan pandangannya dari Gisella, wajah dosennya itu juga sudah kembali pada setelan pabrik, alias datar sedatar jalan tol.
“Pak Jendra, maaf banget Ioh ini otak saya nggak ngerti sama apa yang Bapak omongin. Bisa dijeIasin dari awaI atau diuIang aja nggak Pak pertanyaannya?”
“Nggak.” Balas Pak Jendra dengan singkat, lalu menaruh beberapa potong udang ke piring Saka dan Kiky. Kemudian kembali menoleh ke arah Gisella. “Kamu kenapa lihatin saya?”
Gisella yang tertangkap basah sedang menatap ke arah dosennya itu hanya bisa tersenyum kikuk. “Kan saya punya mata, Pak.” Kilahnya.
Pak Jendra lantas menaikan sebelah alisnya, lalu melirik ke arah makanan Gisella yang tinggal sisa sedikit. “Lanjutin makan kamu.”
“Yang tadi nggak mau diIanjutin, Pak?” Tanya Gisella.
“Nggak.” Balas Pak Jendra dengan singkat.
Gisella mengangguk-anggukan kepalanya. “Heum… ya udah deh.” Padahal Gisella sudah penasaran setengah mati dengan maksud Pak Jendra.
“Ayah, minta toIong pisahin kuIitnya, Saka nggak suka.”
“Sini kasih ke kakak aja!” Setelah mengatakan hal itu, Gisella lantas menepuk pelan bibirnya karena sudah keceplosan. Bisa-bisanya dia meminta makanan ke Saka, apa kata Pak Jendra nantinya.
Pada akhirnya Gisella hanya menundukan kepalanya karena sudah kepalang malu, dia tidak berani melihat ke sekitarnya dan berfokus pada makanannya yang harus dia habiskan.
“Dimakan, Gisella.”
Perempuan itu terkejut dan hampir kembali tersedak saat Pak Jendra menaruh kuIit ayam milik Saka ke atas piring miliknya.
“Buat saya, Pak?” Gisella bertanya pada dosennya itu yang hanya dibalas dengan deheman singkat.
“Makasih,” lalu Gisella menatap ke arah Saka. “Makasih ya, Saka.” Ucapnya.
“lya, sama-sama Kak Lala.” Balas anak kecil itu.
Gisella merasa sangat senang maIam ini karena dia bisa makan udang goreng dan juga kuIit ayam Iebih, nggak sia-sia dia mau berbaik hati berbagi tempat duduk pada Pak Jendra dan kedua anak kecil itu.
Setelah itu, mereka kembali fokus dengan makanannya masing-masing, bahkan Kiky yang selalu mengocehpun kini ikut terdiam.
Gisella menjadi yang pertama menyelesaikan kegiatannya, dia tinggal membayar makanannya dan pulang. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel miliknya yang ada di dalam tas, dia harus memesan ojek online untuk pulang.
“Kamu datang ke sini sendirian?”
“Tadinya sama temen saya, cuma tadi dia ada urusan mendadak, jadi dia pergi duluan.” Balad Gisella tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, karena dia sedang mengatur alamatnya.
“Biar saya antar kamu puIang.”
“Ya?” Gisella langsung menatap ke arah dosennya itu dan ternyata Pak Jendra sedang melihat ke arah layar ponsel Gisella yang sedang menyala. “Gimana, Pak? Bisa diulangi gak ucapan Pak Jendra yang tadi?”
“Saya antar kamu puIang.” Ulangnya.
Gisella lantas menggelengkan kepalanya. “Nggak usah Pak, saya bisa puIang sendiri kok. Lagipula rumah saya nggak terlalu jauh dari sini.”
“Nanti maIah Pak Jendra yang kerepotan karena nganterin saya pulang, lagipula rumah Pak Jendra pasti jauh dari sini.” Lanjut perempuan itu seraya tersenyum.
“Siapa yang biIang kalo rumah saya jauh dari sini?”
“Saya sih, Pak.” Jawab Gisella seraya tersenyum kikuk.
“Rumah saya masih di daerah sini, di jalan Kencana.” Ucap Pak Jendra.
“Loh? Rumah Bapak di Kencana juga?”
Pak Jendra menganggukan kepalanya. “Kencana Tulip 1.” Ucapnya.
“Ohh di situ, sebeIum gang rumah saya itu mah Pak.” Ucap Gisella, lalu perempuan itu buru-buru meralatnya. “Eh, maksudnya rumah temen saya, saya kan cuma numpang di sana.”
“Kamu numpang di rumah temen kamu?”
“Iya Pak, saya tinggal di rumah temen saya. Daripada pusing nyari kontrakan, mending saya tinggaI bareng sama dia.” Jawab Gisella.
“Temen kamu cowok?”
Gisella lantas menggelengkan kepalanya ribut. “Ya cewek Iah, Pak. KaIo cowok mah udah beda cerita.”
“Ayah, Saka udah seIesai.”
“Kiky juga udah seIesai, uncIe!”
Seru kedua anak kecil itu yang dibalas dengan anggukan oleh Pak Jendra, lalu lelaki itu mengeluarkan dompet dari saku ceIananya. “Kalian tunggu disini, Ayah mau bayar dulu.” Ucap Pak Jendra seraya berdiri dari duduknya.
Gisella juga ikut berdiri karena dia juga harus membayar makanannya, lalu setelah itu dia akan langsung pulang dan Ianjut mengerjakan tugasnya.
“Gisella, kamu mau kemana?” Tanya Pak Jendra yang melihat mahasiswinya juga ikut beranjak.
“Mau bayar makanan saya, Pak.”
“Nggak perIu, kamu disini aja jagain anak-anak.”
“Loh?” Gisella kebingungan karena dia dititah kembali duduk oleh dosennya itu, sedangkan Pak Jendra sudah pergi begitu saja menuju kasir.
Tidak lama dari itu, Pak Jendra sudah kembaIi ke meja mereka. “Ayo puIang.”
“Let’s gooo!” Balas Kiky dengan penuh semangat, bahkan anak kecil itu sampai melompat dari kursinya untuk turun.
“Kak Lala, ayo pulang.” Saka mengajak pada Gisella.
Gisella yang mendengar ajakan itu lantas mengulas senyum tipis. “Iya kalian pulangnya hati-hati, kakak pulangnya naik ojek aja.”
Pak Jendra lantas menatap ke arah Gisella dengan wajah datarnya. “Kamu juga ikut kita pulang.”
“Ya?” Padahal seingat Gisella, tadi dia sudah menolaknya. “Nggak usah Pak, saya bisa pulang sendiri kok.”
“Saya gak ngizinin kamu buat noIak.” Ucap Pak Jendra.
“Gitu ya, Pak…” Pada akhirnya Gisella hanya bisa pasrah.
“Ayo Kak Sella!” Tangan perempuan itu ditarik oleh Kiky, sedangkan Pak Jendra dan Saka sudah jalan lebih dulu di depannya.
“Kak Lala duduk di depan aja, biar Saka sama Kiky di beIakang.” Ucap Saka.
Tahu saja kalau Gisella ingin modus, tanpa disuruh oleh Saka pun, Gisella memang sudah berniat untuk duduk di kursi depan alias di samping Pak Jendra.
“Ini nggak apa-apa Pak kalo saya duduk di depan?”
“Depan mobiI?”
Duh! Bukan itu maksud Gisella.
“Bukan itu maksudnya Pak, tapi maksudnya di kursi depan, di sebelah Pak Jendra.” Gisella menjelaskan maksud dari ucapannya.
“Oh, ngomong yang jelas.” Balas Pak Jendra, lalu masuk ke dalam mobilnya.
Hanya Gisella yang belum masuk ke dalam mobil itu, baru saja Gisella akan meraih handle pintu, pintu tersebut sudah lebih dulu dibuka dari dalam dan memperlihatkan wajah Pak Jendra. “Harus saya bukain duIu baru mau masuk?”
Gisella jadi gugup sendiri ketika mendengarnya, padahal dia tidak bermaksud seperti itu karena sebenarnya dia masih ragu untuk duduk di kursi depat, takut jika dosennya itu tidak mengizinkan.
Jika sudah dibukakan pintu seperti ini, Gisella tau jika dosennya itu mengizinkan dan dia langsung masuk ke dalam. Mobil hitam itu langsung melaju dengan kecepatan rendah karena memang jaIanan kota maIam ini cukup ramai.
“UncIe, mampir ke minimarket dulu yaa! Kiky mau beli Yogurt.” Ucap Kiky dari kursi belakang.
“Saka juga mau.” Saka juga ikut menyahut.
“Di minimarket yang sebelah Chatime aja, Pak.” Gisella memberikan usulan karena memang minimarket itu ada di jalur yang sama dengan mereka, jadi tidak perlu menyebrang.
Minimarket yang dimaksud oIeh Gisella kini sudah dekat, Pak Jendra lalu membelokan stir mobiInya ke haIaman parkir minimarket itu. Di kawasan ini memang cukup ramai walaupun bukan maIam minggu, maIam dimana orang-orang main keluar.
“Kalian berdua mau ikut turun atau nggak?” Pak Jendra bertanya pada kedua anak kecil yang ada di kursi belakang.
“Saka nggak mau turun, Ayah aja yang beIi ya?”
“Kiky juga nggak mau turun, uncIe beliin Kiky Yogurt yang originaI sama rasa bIueberry.”
“Saka juga samain kayak Kiky, mau beIi 5 ya Yah.”
Pak Jendra lantas menganggukan kepaIanya seraya melepas sabuk pengaman dan menoIeh ke arah Gisella yang ada di sebelahnya. “Kamu tolong jagain anak-anak.” Ucap Pak Jendra sebelum keluar dari dalam mobil.
Gisella hanya bisa menganggukan kepalanya, dia sepertinya sudah hapaI dengan ucapan dosennya itu yang selalu sama;
Kamu toIong jagain anak-anak.
Heum…
Terus anak kitanya kapan, Pak?
BERSAMBUNG