NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:430
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 — Riset Berbahaya

RAYAN beranjak dari ruang santai keluarga, lalu menghilang ke kamarnya untuk berganti pakaian. Beberapa saat kemudian dia muncul lagi dengan mengenakan celana jeans dan jaket kulit. Sekali lihat saja orang tahu kalau jaket kulitnya tak mungkin dijual sepaket sama helm di toko onderdil.

Dia menoleh ke arah Tari. “Lo tadi pake sepatu?” tanyanya.

Tari sedikit mengangkat alisnya. “Nggak. Aku pakai sandal kulit.”

“Good. Berarti gue boleh pake sneakers merah,” ujar Rayan sambil mengambil sepatunya di rak. “Jangan tersinggung. Gue cuma nggak mau warna seragam kayak anak TK.”

“Di sekolah kamu pakai seragam,” gumam Tari.

“Itu versi palsu gue,” sahut Rayan enteng. “Tapi hari ini versi asli.”

Mereka berangkat dengan mobil Rayan yang cukup longgar untuk tiga orang. Mereka hampir-hampir tak saling bicara selama dalam perjalanan. Matahari siang bersinar terik. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11.13 WIB.

Rayan duduk tenang di belakang setir. Kali ini dia tak perlu pemandu jalan karena dia sudah hafal rutenya. Davin duduk di jok penumpang. Tapi tak seperti biasanya, dia tidak membuka laptop atau tablet. Dia hanya asyik memperhatikan ke luar jendela mobil.

Sedangkan Tari duduk di jok belakang. Dia sibuk memberi laporan di grup. Sasha, Naya dan Elisa melontarkan satu pertanyaan yang sama: Ngapain ke situ?

Tari tak bisa menjawab. Meskipun tujuan mereka jelas, namun alasan pergi ke kolam renang angker itu seperti diselimuti kabut.

Davin sendiri tidak tahu mengapa dia mendadak terdorong untuk kembali ke kolam renang angker itu. Misinya tak jelas. Dia bahkan tak membawa peralatan apa pun—kecuali kamera saku. Dan ditambah dengan kamera mirrorless Rayan.

Dia seolah bergerak hanya dengan teori liar yang gelap tentang kenapa Umbral nyaris muncul di situ. Tapi daripada terus memutar rekaman di layar laptop dan menebak-nebak di udara, lebih baik dia melakukan satu aksi nyata. Paling tidak, berada di lokasi akan memberi mereka data baru—atau minimal petunjuk samar—tentang pola kemunculan Umbral.

Mobil terus meluncur ke pinggiran kota—membawa mereka ke arah kolam renang yang entah akan memberi jawaban—atau justru menambah pertanyaan baru.

--

--

Rayan memarkir mobil di depan teras bangunan tua itu. Mereka turun mobil satu per satu—merasa datang ke sebuah tempat yang familiar. Tapi tanpa rasa tenang dan santai seperti yang seharusnya.

“Kita mau ngapain di sini, Prof?” tanya Rayan.

“Nggak ngapa-ngapain,” sahut Davin datar. “Kita cuma mau liat suasananya pada siang hari.”

Rayan mendengus pelan. “Of course.”

Mereka melangkah masuk ke area kolam renang melewati gerbang besi yang setengah terbuka. Cahaya matahari siang menerpa air kolam yang dangkal. Sekilas tempat itu tampak tak lebih dari bangunan tua yang terbengkalai. Namun mereka tahu, keheningan di sekeliling mereka sepenuhnya hanya menipu. Ke mana pun mata mereka memandang, setiap sudut area itu memicu ingatan mereka akan keganjilan dan suara-suara aneh di sana.

Seperti dipandu sesuatu, Davin melangkah ke samping tribun di mana simbol Umbral muncul. Tapi tak ada gambar apa pun di sana. Bahkan lantainya tampak kotor dan berdebu. Dia mengeluarkan ponselnya. Dia membuka file gambar. Di layar, tampak lingkaran yang nyaris sempurna. Jelas sekali garis-garisnya tertanam di lantai semen.

Mereka saling bertukar pandang.

“Oke, say something, Prof,” ujar Rayan dengan nada cukup serius.

Davin menoleh ke arah sahabatnya. “Lo pengen gue bilang apa?”

“Apa saja.”

“Kalau menurutku,” ujar Tari pelan, “ini kayak magis. Bukan distorsi persepsi. Karena simbolnya beneran ada. Kita semua melihatnya kemarin malam. Dan ada buktinya di foto. Tapi sekarang simbol itu hilang nggak berbekas.”

“Tapi siapa yang bikin simbol itu? Umbral—atau….?” Rayan tak melanjutkan kalimatnya. Tapi dia tahu bahwa mereka paham maksudnya. Bahkan pada siang hari rasanya tak enak menyebut sosok lelaki tua itu.

“Gue lagi muter otak tentang “apa,” “bagaimana,” dan “kenapa” simbol itu muncul di sini kemarin malam,” gumam Davin.

Rayan mengerutkan alis. “Bahkan apa arti simbol itu lo nggak tahu?”

“Nggak. Kebanyakan simbol di buku catatan Papa tanpa penjelasan. Kalau Papa nggak tahu, mustahil otak gue bisa sampai pada definisi baru.”

Mereka beranjak dari samping tribun.

Sejenak Davin berdiri di depan tribun sambil melayangkan pandangannya ke gedung tua. Dia seperti setengah berharap ingin mendengar bunyi “BRAKKK!”—atau suara aneh apa saja—dari bangunan lantai dua itu. Tidak ada tanda-tanda anomali apa pun. Hanya suara samar desir angin. Tapi dia tahu, di kolam renang angker ini, apa pun bisa berubah dalam hitungan detik.

Rayan mendekati papan loncat di mana kepala anak kecil mengintip dalam tangkapan kamera ponselnya. Dia tersenyum agak sinis ketika teringat pada ejekan siswa-siswa tentang visual efek “kreasi”-nya. Hhh, seharusnya mereka datang sendiri ke sini.

Tari berjalan perlahan di tepi kolam utama. Meskipun dia tak menoleh kanan-kiri, namun perhatiannya tak pernah lepas dari Davin dan Rayan. Matanya menelusuri permukaan air seakan mencari riak yang bukan akibat angin.

Davin dan Rayan bergabung dengan Tari di bibir kolam.

“Nggak ada anomali apa-apa,” ujar Rayan sambil memandangi setiap sudut kolam yang penuh lumut. “Kalau portal Umbral beneran ada, mungkin titiknya bukan di sini.”

“Mungkin,” sahut Davin singkat dan datar. Dia melemparkan sebuah batu kecil ke genangan air. Terdengar bunyi “plup” pelan, lalu muncul riak-riak kecil.

“Tapi kemarin malam dia muncul… dan aku yakin karena ada kamu di sini, Dev,” gumam Tari. “Aku nggak tahu apa hubungan kalian, tapi beberapa kali aku mendengar nama kamu—bukan lewat telinga.”

Rayan melirik ke arahnya. “Maksud lo… kayak bisikan?”

Tari menggeleng pelan. “Bukan suara. Tapi kayak sesuatu yang langsung ditanam di kepala.”

Rayan menghela napas. “Gue nggak ngerti maksud lo. Tapi oke, gue nggak akan nanya lagi.”

Selama beberapa saat hening. Tribun, tiga kolam renang, gedung tua, ruang pompa air, ruang loker—semua diam membisu.

“Sttt,” desis Davin tiba-tiba sambil mengangkat sebelah tangannya.

Rayan menoleh agak tegang. “What?”

“Kalian dengar suara desahan lirih itu? Kayak kemarin malam….”

Sebelum Rayan dan Tari sempat bersuara, sesuatu yang begitu ganjil terjadi. Hawa dingin dengan cepat menyelimuti sekeliling mereka. Gigitan rasa dingin pada kulit mereka terasa amat kontras dengan terik matahari.

Tari berdiri terpaku. Bulu kuduknya meremang. “Dev?”

Rayan mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut area kolam dengan tegang. “Siang-siang begini? Really?”

Davin tak menanggapi. Dengan waspada dia memandangi genangan air keruh—seakan di situlah sumber hawa dingin itu. Riak-riak kecil dari batu yang dilemparnya tadi sudah hilang. Namun permukaan air kolam tetap bergetar samar seolah ada sesuatu yang menggerakkannya dari bawah.

Davin merogoh ponselnya, lalu cepat membuka aplikasi pengukur suhu.

Dua puluh derajat Celsius. Lebih rendah daripada kemarin malam. Belum ekstreme. Tapi jelas anomali.

“Prof, apa kita dalam radius berbahaya?” desis Rayan dengan suara bergetar, makin tegang. “Come on, say something! Do something!”

Davin menoleh pada Tari.

Tari balas menatapnya. Wajahnya yang pucat tampak tegang. “Aku… nggak ngerasa apa-apa.”

Davin masih terpaku di bibir kolam renang. Kakinya terasa amat berat untuk digerakkan—seperti ada sesuatu yang menariknya dari genangan air keruh….

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!